Dalam waktu semalam Arasya menjadi seorang istri, ia seperti merasakan hal-hal yang begitu baru. Saat bangun tidur, bukan bantal guling lagi yang ia lihat, melainkan lelaki tampan dengan senyuman manisnya. Ia menjadi makmum dari seorang imam yang akan menuntunnya menuju surga. Biasanya selepas tahajjud ia tertidur lagi, namun untuk kali ini tidak. Ia membaca Al-Quran bersama sang suami hingga subuh datang. Semuanya benar-benar terasa baru.
Kini, keduanya tengah berada diantara ribuan kendaraan dengan berbagai tujuan. Setelah pulang dari hotel, mereka melimpir terlebih dahulu kerumah Umi Hanum dan Ayah Azhar untuk berpamitan, setelah itu barulah kerumah sang istri.
Afzan melirik gadis yang duduk disamping kemudi,tampak masih sesegukan karena tadi menangis saat berpamitan dengan sang ibu. Dalam waktu yang singkat, Afzan langsung memboyong Arasya kerumah baru mereka. Sejak awal, Afzan memutuskan untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya dan mertuanya.
"Jangan nangis lagi," ujar Afzan begitu perhatian.
Arasya tak menggubris, ia masih menangis sesegukan.
"Eumm...kita beli makanan aja gimana?" tawar Afzan. "Kamu suka apa? Makanan manis, atau pedas?"
Sembari mengusap air matanya dengan hijab yang dikenakannya, Arasya menjawab pelan.
"Mau jajan aja."
Afzan tak bisa menyembunyikan senyumnya. Kenapa istrinya lucu sekali? Satu tangannya terulur mencubit gemas pipi istrinya. Arasya melotot, ia menatap tajam pelaku pencubitan terhadap pipinya.
"Jangan pegang-pegang," katanya ketus.
"Kamu itu lucu, makanya mau pegang-pegang terus," balas Afzan dengan senyum menyebalkan.
"Dasar tukang modus!"
"Sama istri sendiri, jadi ya aman-aman aja."
Arasya tak lagi membalas. Gadis itu memalingkan wajahnya menatap puluhan kendaraan yang melaju. Saat mobil yang di kendarai nya berhenti Arasya tersentak. Lebih terkejut lagi saat Afzan turun dan membukakan pintu mobil untuknya.
"Ayo." Afzan meraih tangan sang istri, menggenggam nya dengan lembut. Arasya mengikuti langkah kaki Afzan yang membawanya pada sebuah minimarket.
Tiba di dalam, Afzan menyuruh Arasya untuk membeli apapun yang gadis itu mau. Arasya nampak ragu, ia menatap Afzan yang juga sedang memperhatikan nya.
"Kamu...yang bayar?" tanya Arasya pelan.
"Kenapa harus tanya, sih, Ra. Aku ini suami kamu."
Arasya menggigit bibirnya. "Siapa tau cuma ngomong begitu doang, kan. Dulu, kan, kamu suka malakin uang jajan aku." Arasya memelankan suaranya.
Afzan berdehem. Kilasan memori itu benar-benar buruk. "Maafkan suamimu yang nakal ini ya, Ra."
Arasya tertawa pelan. "Tapi, kalau diingat-ingat lucu juga."
Menemani sang istri memilih makanan ringan membuat Afzan bisa begitu banyak mendengar cerita yang keluar dari pemilik wajah cantik itu. Saat gadis itu meminta pendapatnya mana jajanan yang paling enak, saat gadis itu bertanya perihal makanan apa yang disukainya,tentang ceritanya sewaktu awal masuk pondok pesantren, dimana jajanan yang dibawanya dari rumah selalu cepat habis karena berbagi, dan masih banyak lagi.
Afzan begitu intens menatap pahatan wajah ciptaan Tuhan yang satu ini. Do'a nya sudah terjawab, mulai saat ini ia berjanji akan menjaga apa yang selama ini dimintanya. Melindungi tawanya, senyum manisnya, dan bahagianya.
***
Arasya menatap kagum pada interior bangunan yang ia masuki. Benar-benar mewah sekali menurutnya, meskipun hanya satu lantai. Pandangannya jatuh pada Afzan yang sibuk membawa koper menuju kamar mereka. Arasya ikut kemana Afzan menujukan langkahnya.
"Kamar aku dimana?" Arasya bertanya tiba-tiba dengan polosnya.
Afzan yang baru saja membuka pintu ruangan tersebut tersentak. Ia berbalik, menghadap istrinya yang tengah menatapnya juga.
"Maksud kamu?"
Arasya sedikit berdecak. "Kamar aku dimana, yang mana, ini, kan kamar kamu."
Kening Afzan tampak mengerut. "Kita sekamar," ujarnya datar.
Arasya terbelak. "Apa!?" pekiknya kaget. "Se-sekamar?" tanyanya dengan nada pelan.
"Memang ada orang yang sudah menikah tidur terpisah? Konsep dari mana itu? Kamu terlalu sering membaca hal yang tidak berguna."
Arasya tidak mampu menjawab. Ia hanya bisa meringis pelan. "Maaf."
Afzan tak lagi membalas. Laki-laki itu berlalu memasuki sebuah ruangan yang Arasya pikir bahwa itu adalah kamar mereka. Arasya hanya mengikuti saja, pandangannya tak pernah lepas dari sosok dihadapannya. Suaminya itu secara tiba-tiba menampilkan raut wajah datar. Saat Arasya bertanya berapa kamar dirumah ini, dimana dapurnya, pakaiannya ingin diletakkan dimana, Afzan hanya menjawab singkat.
Arasya tersenyum masam. Jadi begini rasanya menghadapi pasangan yang sedang ngambek? Arasya bingung, tidak berpengalaman dalam membujuk lelaki yang sedang ngambek.
"Ekhem..." Arasya berdehem pelan. Ia mengeluarkan suara batuk berkali-kali namun pelan.
"Kenapa kamu?"
Yes! Arasya girang, akhirnya suaminya itu berbicara.
"Enggak," jawab Arasya semalem mungkin.
Afzan hanya melirik Arasya sekilas, lalu beranjak meninggalkan istrinya dikamar. Arasya memberengut sebal, ia mengikuti langkah kaki suaminya itu.
"Udah gede, ambekan, huuu," cibir Arasya di belakang suaminya.
Afzan berhenti. Ia berbalik menatap Arasya yang tengah bersedekap dada memandangnya.
"Kamu bilang apa tadi?"
Eh, Arasya baru sadar. Ia gelagapan membuang pandangannya. "Hah? Enggak, kamu salah denger mungkin," ucapnya gugup.
Tatapan Afzan begitu tajam, nyalinya menjadi ciut seketika. Dalam hati ia berteriak ketakutan. Suaminya kenapa seram sekaliiii!
"Yaudah maaf," kata Arasya pelan. "Gitu banget natapnya, bikin orang takut aja." Ia berbicara dengan kepala tertunduk. Arasya tak berbohong bahwa dirinya memang takut pada Afzan. Laki-laki itu tak seperti dulu saat mereka bertemu di madrasah yang sama. Saat Afzan memalak uang jajannya, Arasya tentu berani melawan dan menolak. Namun sekarang, semuanya terasa berbeda. Sosok Afzan remaja seperti sudah hilang.
Lain halnya dengan Afzan yang malah berusaha menahan senyumnya. Tangannya turun mengusak gemas kepala sang istri yang terbalut hijab. Arasya jelas terkejut.
"Kamu takut?" tanya Afzan dengan suara lembut.
Arasya yang masih terkejut pun reflek mengangguk.
"Jangan takut, aku mana mungkin bisa marah sama kamu," balasnya dengan tersenyum kecil.
"Terus tadi?"
"Ngetes doang." Afzan menjawab santai tanpa tau bahwa sang istri mati-matian menahan rasa kesalnya.
"Astagfirullah..."
Afzan tersenyum lebar. Mulai hari ini, menjahili Arasya akan menjadi hobinya. Seperti candu melihat mulai melas istrinya itu. Menggemaskan.
"Aku bingung, mana bisa aku bujuk orang yang lagi marah, apalagi laki-laki." Arasya berujar tiba-tiba.
"Aku juga sama."
Tatapan Arasya memicing seolah tidak percaya. "Masa?"
"Iya, Ra. Semuanya terasa baru bagi aku." Afzan menjeda ucapannya, "Sekarang, aku udah punya makmum, sholatnya ngga sendirian lagi aja itu termasuk hal baru bagi aku. Apalagi makmumnya itu temennya aku sampai ke jannah-Nya nanti."
Tak taukah Afzan bahwa ucapannya itu membuat euforia di perut Arasya beterbangan. Rasanya hal seperti ini tidak baik untuk kesehatan jantung. Afzan mencubit pelan pipi sang istri. Gemas rasanya. Hal baru yang ia rasakan ini, akan selalu menjadi alasan bahagianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Teen FictionYou, always you. -Akmal Afzanka Al-Ikhsan *** Tidak boleh ada yang meragukan perasaan seorang bocah berusia lima belas tahun.