Waktu terus bergulir. Hari demi hari yang ia lewati Arasya gunakan untuk mempersiapkan diri. Gadis itu belajar untuk mengubah kebiasaan buruknya, gadis itu berusaha menerima takdirnya. Dan hari ini, hari yang paling ia takutkan. Hari ini, sebentar lagi dalam hitungan menit, ia akan resmi menjadi seorang istri. Istri dari laki-laki bernama Akmal Afzanka Al-ikhsan.
Arasya duduk termenung. Menatap pantulan dirinya dicermin seraya tersenyum kecut. Suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh. Disana, dia mendapati sosok sahabatnya tengah menatapnya dengan senyuman manisnya.
"Ciee...yang tiba-tiba nyebar undangan," goda Nadila---sahabat Arasya selama di pondok.
Arasya memberengut. Air matanya turun begitu saja, ia lantas mengusapnya kasar.
"Eh, pelan-pelan. Rusak nanti make up nya." Nadila mendekat, meraih selembar tisu lalu menghapus air mata Arasya dengan pelan.
"Kamu kenapa, sih, Ra?" tanya Nadila lembut.
"Nggak tau," jawab Arasya dengan suara tercekat.
Nadila menghela nafas. "Kamu memutuskan untuk menerimanya, bukan?" tanya Nadila dan respon Arasya mengangguk membenarkan. "Sekarang aku tanya, kenapa perasaan ragu dan terpaksa kamu masih ada disini?" Nadila menunjuk dada Arasya, tempat dimana hatinya berada.
"Aku..."
"Denger, ya, Ra. Pernikahan itu sakral. Saat kamu memutuskan untuk menerimanya, itu tandanya kamu sudah siap. Keraguan dihati kamu harusnya sudah menghilang karena kamu sudah memutuskan untuk menerimanya. Bagaimana dia nanti, lihat saja nanti selama waktu masih bergulir. Tujuan menikah itu untuk saling melengkapi, Ra, saling menerima, saling menyayangi, saling menjaga."
Arasya mendengarkan setiap untaian kata tersebut.
"Katamu dia baik, kan?" tanya Nadila kemudian. Arasya kembali mengangguk. "Kamu juga katanya sudah mengenalnya,tidak ada alasan untuk kamu takut terhadapnya, Ra. Aku yakin dia orang yang sangat baik. Baik sekali." Di akhir kalimatnya, Nadila tersenyum. Senyum yang memiliki sebuah arti. Dan Nadila tak paham apa maksud senyum tersebut.
Berkat perlakuan Nadila, akhirnya Arasya bisa tenang. Hatinya tidak segelisah tadi.
"Aku temenin sampe Ibumu datang, ya."
Nadila menggenggam hangat tangan Arasya. Persahabatan keduanya memang terjalin begitu erat. Nadila yang dewasa dan Arasya yang terkadang keras kepala.
***
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril mazkur haalan. Wallahu waliyyu taufiq." Ucapan tegas dan lantang itu berhasil membuat orang-orang merasa kagum.
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah!"
Ungkapan syukur bergema. Afzan tak bisa menampik bahwa saat ini ia gugup. Bahkan, tangannya itu bergetar saat menjabat tangan penghulu. Jantung nya berdebar tak karuan, terlebih lagi saat melihat gadis yang sudah sah menjadi istrinya itu berjalan mendekat didampingi dengan Ibunya.
Saat Arasya sudah duduk berdampingan dengan sang suami. Penghulu mengisyaratkan agar Arasya meraih tangan suaminya. Maksudnya bersalaman. Meskipun terlihat gugup, Arasya perlahan meraih tangan kekar Afzan. Mengecupnya dengan perasaan tak karuan. Lagi, air matanya kembali menetes. Saat Arasya melepaskan tangannya, detik itulah Afzan memegang pucuk kepala Arasya. Membaca sebuah do'a dan Arasya mengaminkan di dalam hatinya.
Setelah dikira sudah selesai dan tak ada hal-hal aneh lagi, Arasya dibuat terkejut karena perlakuan Afzan selanjutnya. Laki-laki itu mengecup keningnya begitu lama. Arasya mematung, pipinya memanas. Arasya dapat merasakannya, kecupan tersebut penuh rasa dan kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Teen FictionYou, always you. -Akmal Afzanka Al-Ikhsan *** Tidak boleh ada yang meragukan perasaan seorang bocah berusia lima belas tahun.