Arasya terus saja mengubah posisi tidurnya yang dirasa serba salah. Percakapannya dengan sang Ibu beberapa hari yang lalu, berhasil membuatnya gundah.
"Beberapa hari sebelum kepulangan kamu, ada keluarga yang datang kerumah. Mereka menyampaikan niat baik bahwa anak mereka ingin melamar kamu. Ibu belum bisa kasih jawaban, Ibu hanya bilang harus menunggu kamu pulang. Dan, mereka setuju, tapi Ibu yang ragu untuk ngasih tau kamu. Maaf, kan , ibu ya, Ra."
Dan yang membuat Arasya semakin resah, keluarga pihak laki-laki yang melamarnya segera meminta jawaban! Arasya menggigit bibirnya bingung. Percakapan serius sudah ia lakukan bersama Ibunya. Rania bilang, ia harus mengikuti kata hatinya, sholat istikharah meminta petunjuk. Namun hingga saat ini, Arasya masih ragu akan jawaban sebenarnya.
Dia, Arasya tidak mengenalnya. Laki-laki yang melamarnya itu, Arasya tidak mengenalnya sama sekali. Lantas, bagaimana ia harus menghadapi situasi tak terduga ini?
***
Satu minggu waktu yang dibutuhkan Arasya untuk memperoleh jawaban yang sebenar-benarnya. Dan, hari ini pula ia akan memberitahukan perihal jawabannya. Karena itu, sejak pagi, Ibunya begitu kalang kabut mengabari pihak keluarga laki-laki tersebut.
Dan siang ini juga, keluarga itu akan datang ke rumahnya. Benar-benar, semuanya terjadi dalam waktu yang begitu singkat.
Arasya menatap pantulan dirinya di cermin kamarnya tidak percaya. Belum sampai sebulan lulus pondok, udah ada yang melamar. Plot twist apakah ini?!
"Sayang, mereka sudah datang. Ayo keluar."
Seruan dibalik pintu kamar yang ia tutup rapat memecahkan pikirannya. Arasya sekali lagi menatap pantulan dirinya dengan lamat-lamat. Tangannya terkepal erat.
"Aku udah dapet jawabannya, jadi nggak perlu ragu lagi, ya," ujarnya berbicara pda dirinya.
sendiri.Arasya merasa gugup. Untuk pertama kalinya ia gugup seperti ini. Arasya yang sebenarnya adalah perempuan yang tak kenal rasa takut. Terlambat masuk kelas saat di pondok dulu, santai. Paling dihukum, toh, hukumannya juga nggak berat. Gadis ini memegang prinsip untuk selalu santai. Santai, namun disiplin.
"Rasanya perasaan ini nggak cocok sama akuuu," rengeknya kemudian.
Langkah kakinya memelan saat menuruni tangga. Ia menggenggam sisi gamisnya erat. Rasanya ia ingin menangis saja, terlebih saat suara cengkrama dan tawa pelan terdengar dari lantai bawah. Arasya terlalu larut dalam pikirannya, hingga ia tidak sadar bahwa ia sudah berada dipenghujung tangga.
"Arasya, sini, nak."
Arasya terkesiap. Tubuhnya menegang. Langkahnya spontan menjadi cepat saat mendengar suara Ibunya. Senyum manis terpatri diwajah cantiknya. Ia menatap pasangan paruh baya yang terlihat begitu damai.
"MashaAllah...cantik sekali," puji wanita paruh baya tersebut.
Arasya menunduk, meraih punggung tangan wanita tersebut dan mengecupnya.
"Syukron, tante," ucap Arasya diselingi senyum.
Perempuan itu, mengelus pucuk kepala Arasya dengan lembut. "Umi Hanum, kamu bisa panggil saya, umi."
Mendengar itu Arasya tersenyum canggung. "Ah, i-iya um-umi," katanya gugup.
Lalu, pandangan Arasya jatuh pada pria paruh baya yang terlihat begitu gagah. Ia menangkup kan kedua tangannya didada, menyapa pria yang Ia kira adalah suami Umi Hanum. Namanya Ayah Azhar. Ia sudah diminta untuk memanggil mereka seperti itu.
Pertemuan ini, tanpa basa-basi langsung membahas hal inti.
"Arasya sudah tau, bukan, maksud dari kedatangan kami kesini?" Suara bariton itu membuat Arasya spontan menggenggam kedua tangannya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
أدب المراهقينYou, always you. -Akmal Afzanka Al-Ikhsan *** Tidak boleh ada yang meragukan perasaan seorang bocah berusia lima belas tahun.