Bab 4 : Nantikan lembaran kisah kita yang baru, ya.

17 4 0
                                    

"Pokok kandungan surah An-Nisa yang utama itu adalah syirik akibat kekafiran pada hari kiamat,hukum poligami,mahar,memakan harta anak yatim,dasar hukum warisan (faraidh),perbuatan keji dan hukum lain nya, wanita yang haram dinikahi, larangan memakan harta secara batil,hukum syiaqaq dan nusyuz." Afzan menjelaskannya dengan begitu fasih dan lantang.

"Selain itu, surah ini juga berisikan arti pentingnya kesucian lahir batin dalam salat, hukum membunuh orang dalam islam dan masalah kalabah."

"Kamu mau saya menjelaskan bagian mana? Tentang hukum poligami, mahar, wanita yang haram dinikahi, atau yang lain. Ayo sebutkan." Afzan menodong Arasya dengan pertanyaan yang membuatnya pusing.

"Ah, apa hukum berpoligami saja? Mau saya jelaskan? Jadi, didalam islam, poligami it---"

"Sudah, cukup!" Arasya menutup kedua telinganya yang terbalut hijab dengan tangannya.

"Kenapa?" tanya Afzan keheranan.

Arasya membuang nafas lelah. "Sudah, cukup segitu saja," ujarnya lemah.

"Lho, bukannya belum semua, ya? Haditsnya saja baru saya bacakan dua, itupun belum dengan isi pokoknya, dan sekarang saat saya mau menjelaskan ini, kamu malah meminta saya berhenti?" Afzan menggeleng tak percaya.

"Kamu mempermainkan saya?" tuduh Afzan secara tiba-tiba.

Arasya menggeleng kuat. "Nggak!" Arasya berpaling. Ekor matanya diam-diam melirik Afzan.

"Kalau bukan mempermainkan, kenapa seperti itu?"

Arasya kicep. Tak mampu menjawab. Sebenarnya syarat itu hanya akal-akalannya saja. Ia ingin melihat sampai dimana kemampuan Afzan. Arasya ingin tau seberapa serius Afzan dengan niatnya itu. Arasya ingin menghilangkan seluruh keraguan dihatinya dengan cara memberikan syarat itu pada Afzan.

"Saya...masih ragu," ucapnya dengan suara pelan.

"Baru kali ini ada orang yang ragu sama niat baik saya," sahut Afzan menyugar rambutnya. Hal itu membuat Arasya reflek berdecih. Afzan terlihat songong dan menyebalkan.

"Semuanya tiba-tiba, tanpa aba-aba, gimana saya nggak ragu, coba."

Afzan mengerti. Tapi, rasa percaya dirinya benar-benar tinggi. Jawaban yang ia harapkan pasti akan memuaskan, Afzan yakin seratus persen. Sudah menabung do'a dari umur belasan, tidak mungkin allah tidak mengabulkan. Afzan berpikir seperti itu.

"Menurut kamu, laki-laki yang baik dan idaman itu seperti apa?" tanya Afzan.

"Menurut aku?" Arasya menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, menurut kamu."

Tanpa berpikir panjang Arasya langsung menjawab. Karena jawaban ini, sudah bersemayam lama di otaknya.

"Laki-laki yang baik itu, yang meminta diri saya langsung kepada orang tua saya. Tidak pernah berkoberkomitmen, tidak tinggi ucapannya, " Arasya menjeda ucapannya. Nampak tengah berpikir. "Lalu, dia sopan, adabnya benar-benar bagus. Kamu tau? Orang yang memiliki adab sudah tentu sempurna akalnya." Arasya tersenyum tipis.

Afzan mengulum senyum. Seperti sedang melihat dirinya ketika Arasya menceritakan bagaimana sosok laki-laki yang baik dan idaman menurutnya.

"Satu lagi,"ujar Arasya berseru.

Kening Afzan mengerut. Seolah mengerti bahwa Afzan sedang menunggu ucapannya, Arasya mengucapkan nya dengan lantang.

"Karakter fiksi!"

Afzan tergelak. Gadis ini rupanya tidak jauh berbeda dengan yang berada diluar sana. Terpincut dengan makhluk tidak nyata dan ciptaan manusia.

"Jadi, menurut mu begitu?"

Arasya mengangguk. Sementara Afzan, pemuda itu seperti sedang berpikir. Entah apa yang dipikirkan nya, namun seperti nya benar-benar serius.

"Pembicaraan ini melenceng dari janji yang seharusnya," ucap Afzan membuat Arasya tersadar.

Gadis itu menepuk jidatnya. "Nggak apa-apa, sudah cukup dengan syaratnya."

"Maksud kamu?"

"Sudah cukup dengan syaratnya, kamu lolos."

Mendengar itu, Afzan tak bisa menyembunyikan senyumnya. Rasanya seperti ada bunga yang bermekaran dihatinya, kupu-kupu yang melintas terbang lalu hinggap diantara bunga-bunga tersebut. Afzan merasa bahagia.

"Kalau sudah lolos, berarti kamu tau jawabannya, kan?"

Afzan spontan mengangguk. Arasya tersenyum simpul.

"Kalau kamu sudah tau, berarti saya tidak perlu mengatakan nya lagi," ujar Arasya.

Rasanya pemuda itu ingin berteriak sekencang mungkin. Kedua tangannya mengepal. Afzan menunduk berusaha menyembunyikan ekspresi yang kini terpatri di wajah tampannya.

Cuacanya begitu cerah, awan putih menghiasi langit biru. Semilir angin membuat pepohonan bergerak kesana kemari. Bunga mawar dengan berbagai warna yang bermekaran indah di halaman belakang rumah Arasya. Benar, mereka mengobrol di sebuah gazebo kecil di rumah Arasya.

"Ra," panggil Afzan pelan.

Arasya menyahut tanpa menoleh, gadis itu sibuk menatap langit.

"Nantikan lembaran kisah kita yang baru, ya. Yang didalamnya hanya ada aku...dan kamu."

***

Lamaran sudah dilakukan. Kini, kedua insan itu tinggal menunggu hari dimana mereka akan resmi menjadi sepasang suami-istri. Berbeda dengan Arasya yang kerap kali overthinking, Afzan---pemuda itu sama sekali tidak bisa mengontrol perasaan tak sabarnya. Ngebet pengen nikah!

"Yaelah, bro. Sabar dikit napa," ujar Zaki.

"Nggak bisa dikontrol lagi sabarnya, Zak. Soalnya udah bertahun-tahun nunggu," balas Rama yang langsung mengundang gelak tawa Zaki. Kedua pemuda itu sama-sama tertawa.

Afzan menatap kedua sohibnya itu dengan tatapan tajam. Tak menghiraukan sama sekali godaan kedua temannya.

"Ngomong-ngomong nih, Zan." Rama memajukan tubuhnya, menatap Afzan dengan intens. Sontak, hal itu membuat Afzan bergidik dan mendorong kening Rama dengan kasar.

"Jaga jarak."

Rama mencibir pelan. Ia duduk seperti semula. "Maksud lo adek kelas kita waktu mts itu apa? Gue masih nggak tau cewek yang bakalan jadi istri lo itu yang mana," tutur Rama.

"Yang sering dipalakin uang jajannya sama si Afzan, bego!" tukas Zaki nge-gas.

"Yeuuu...biasa aja dong, bang," ucap Rama kesal.

"Orangnya cantik, manis, lucu, dan pastinya hatinya baik," ujar Afzan tiba-tiba.

Kedua temannya itu melongo. Jarang-jarang denger Afzan muji perempuan. Biasanya kalau ada yang deketin, dianya cuek pake banget. Belum juga perempuan itu ngomong, langsung diusir.

"Gila, apakah ini efek jatuh cinta?" Rama menatap Afzan dengan ekspresi tak percaya.

"Keren, sih, itu cewek. Bisa bikin Afzan yang anti perempuan jadi begini," timpal Zaki.

"Jadi nggak sabar liat bininya Afzan."

"Kalo udah liat mau apa, lo?" tanya Afzan sewot.

"Kalem, Zan," ujar Rama mengangkat kedua tangannya setinggi dada.

Afzan berdecih. Apapun yang berkaitan dengan gadisnya, ia selalu saja sensitif. Kedua pemuda itu kembali tertawa. Seperti melihat kembali sosok Afzan saat diusia belasan. Selalu nyolot, tak mau kalah, kasar dan cuek. Tapi, kalau sikap cueknya terbawa sampai sekarang, sih. Hanya sikap buruknya saja yang tertinggal.



ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang