"Gimana bisa ada orang yang ngga suka makan sayur?"
Afzan tak menghiraukan ucapan istrinya itu. Ia terus saja menyingkirkan beberapa helai daun yang istrinya sebut itu sebagai sayur. Afzan memang tak begitu menyukai sayur. Dirinya cukup pemilih terhadap makanan.
"Dicoba sedikit aja nggak bisa?" tanya Arasya sembari menahan jari jemari Afzan yang sejak tadi menyingkirkan sayur tersebut.
"Nggak bisa," jawab Afzan.
Arasya menghela nafas pelan. "Ini masakan aku, lho," ujarnya berusaha merayu.
"Maaf, tapi aku emang nggak bisa."
"Yaudah, deh."
Arasya juga lupa mencari tau apa yang suaminya itu tidak suka. Ternyata dan ternyata suaminya itu tidak suka sayur dan Arasya baru mengetahuinya.
"Aku bisa makan sayur," ujar Afzan.
"Kalo bisa, kenapa yang itu ngga dimakan?"
"Tergantung jenis sayurnya."
Arasya melongo. Sifat Afzan ini seperti bunglon. Iya, bunglon. Suka sekali berubah-ubah. Terkadang ngeselinnya minta ampun, tiba-tiba setelah itu jadi dingin seperti kulkas. Kan, Arasya jadi bingung. Mana sebenarnya sikap asli suaminya itu? Ini baru memasuki hari kedua, lho, nggak lucu kalau Arasya frustasi duluan karena sikap suaminya.
"Kalo bayam, aku masih bisa makan, kalo kangkung? Nggak, deh kayaknya."
"Mulai sekarang aku punya misi, deh, kayaknya," ucap Arasya.
Afzan mengernyit bingung. "Misi apa?"
"Misi untuk bikin kamu suka makan sayur."
Afzan tergelak. Lucu sekali melihat ekspresi wajah Arasya. Menjalani hari kedua hidup bersama Arasya, Afzan berencana akan menghabiskan waktu dirumah saja. Karena cuaca hari ini benar-benar panas, Afzan enggan membawa istrinya keluar. Ia diberi tahu oleh Rania---Ibu Arasya, bahwa Arasya tidak tahan dengan teriknya panas matahari.
"Ra," panggil Afzan setelah meletakkan piring dan sendok kotor ke wastafel.
Arasya yang tengah duduk biasa di meja makan menyahut, "iya?"
"Kamu udah suka aku belum?"
"Hah?"
Arasya ngebug. Maklum, otaknya ini otak udang jadi kadang agak lola.
"Apa kamu bilang tadi?" Arasya megusap telinganya yang terbalut hijab.
"Bukan apa-apa."
Arasya mencebik. Kepo diujung tanduk karena tadi ia benar-benar tidak mendengar ucapan Afzan. Serius, deh, nggak bohong.
Afzan hanya memandang istrinya itu dengan senyuman tipis. Perihal pertanyaannya tadi, tidak ada maksud apa-apa hanya sekedar ingin bertanya. Jika Arasya tidak suka, untuk apa dia menerima lamarannya, kan? Positif thinking saja. Sekalipun Arasya memang benar belum memiliki perasaan khusus untuknya, Afzan akan berusaha membuat rasa itu hadir di hati istrinya. Ia ingin membuat tempat tersendiri bagi dirinya di hati Arasya.
Afzan tak pernah berfikir bahwa perjuangan nya sudah selesai saat berhasil membuat gadis itu menikah dengannya. Perjuangannya masih ada, yakni membuat istrinya itu cinta padanya.
Afzan tidak mau jatuh cinta yang ia dapat hanya sepihak.
***
"Keren!" Pujian itu, Arasya berikan untuk semua hasil karya suaminya itu. Di samping kamar mereka, terdapat sebuah ruangan yang baru Arasya tau bahwa itu adalah ruangan pribadi milik Afzan
Dan saat Afzan menawarkan untuk melihat-lihat isi ruangan tersebut, Arasya dibuat terpana.Beberapa lukisan terpajang dengan rapi. Karya tiga dimensi yang terlihat indah, terlebih lagi lembaran foto-foto yang menurut Arasya sangat aesthetic itu. Cantik sekali.
"Ini kamu yang buat?" tanya Arasya dengan tatapan kagum.
Tentu saja Afzan mengangguk disertai perasaan narsis dan bangganya. Pamer skill dulu sama istri.
"Nggak nyangka bocah kayak kamu bisa bikin yang beginian," kata Arasya sembari berjalan melihat lembaran foto yang dipajang itu.
Afzan terbelak. Tingkat kepercayaan dirinya mendadak turun saat mendengar kata "bocah kayak kamu", Afzan sangat sensitif terhadap ucapan itu.
"Meragukan kemampuan saya?"
Arasya tergelak mendengar cara bicara Afzan yang berubah. Dia kembali menyebut dirinya sendiri dengan kata saya.
"Cuma nggak nyangka, bukan berarti meragukan kemampuan kamu," tutur Arasya menjelaskan. "Kamu itu, kan, dulu urak-urakkan. Masih mts padahal, tapi kelakuannya kayak preman, untung aku sabar dan kuat mental ngadepin kamu tiap hari. Bayangin, selama satu tahun penuh itu, aku nggak pernah absen dipalak kamu. Mana suka bully lagi," sambung Arasya.
Afzan meringis ditempat. Ingin rasanya ia membekap mulut istrinya itu agar tidak kembali menceritakan masa lalu kelam tersebut. Tapi tidak mungkin, yang ada Afzan kena amuk tujuh hari tujuh malam.
"Ra," panggil Afzan pelan.
"Kenapa." Arasya memandang polos wajah suaminya yang terlihat tertekan. Astaga, Arasya tak kuasa menahan tawanya. Lucu sekali melihat wajah suaminya itu.
"Kenapa ketawa?" tanya Afzan.
"Kamu lucu," jawab Arasya saat tawanya mereda.
Ups! Ada yang malu tapi bukan kucing. Ada yang merah tapi bukan buah. Daripada ketahuan sedang salting, Afzan memilih untuk diam. Hening menyapa pasangan itu. Saling berdiri berhadapan dengan jarak berkisar dua langkah. Arasya masih tak lepas menatap wajah suaminya itu. Sementara Afzan yang tadi membuang pandangan kini hanyut dalam tatapan tersebut.
"Kamu..." Afzan maju satu langkah. "Perasaan kamu itu, apa sama seperti aku?"
"Hm?" Arasya mengernyit.
"Ra, coba tatap mata aku."
Arasya memilin ujung hijabnya dengan perasaan gugup. Membiarkan bola matanya berkeliaran menatap kesana kemari.
"Apa perasaan kita sama, Ra?"
Arasya menunduk dalam. Membiarkan pikiran dan hatinya bergelut mencari jawaban. Arasya tidak siap dengan pertanyaan itu. Arasya belum memiliki jawaban, sampai saat ini Arasya masih berusaha mencari.
"Aku nggak tau," jawab Arasya pelan. Sangat pelan, nyaris seperti berbisik.
Ditempatnya, Afzan menyunggingkan senyum kecil. Kenapa tiba-tiba hatinya terasa sakit? Meskipun sudah memiliki seutuhnya, Afzan tetap merasa bahwa Arasya begitu jauh sampai ia tidak bisa menggapai perasaannya.
Tidak ingin terlihat menyedihkan, Afzan menaikan tangannya, menepuk-nepuk puncak kepala Arasya dengan senyuman tipis.
"Ya, kalau begitu aku juga punya misi, sama seperti kamu," ucap Afzan. Netra yang terus menatap sembari memuja gadisnya itu menyimpan tatapan penuh makna.
"Misi? Misi apa? Kamu ikut-ikutan juga?" tanya Arasya bertubi-tubi.
Afzan mengangkat bahu. "Misi aku beda sama kamu."
"Oh, ya?" Arasya agak berseru. Dia penasaran apa misi itu sebenarnya.
"Iya." Netra itu masih tetap memandang Arasya dengan penuh makna. Sembari menggenggam hangat pemilik tangan mungil itu, Afzan berkata, "Misi aku itu...buat istriku yang cantik ini jatuh cinta pada suaminya."
-tbc
omg😱😱😱😱 (ekspresi author sendiri setelah nulis part ini)
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Teen FictionYou, always you. -Akmal Afzanka Al-Ikhsan *** Tidak boleh ada yang meragukan perasaan seorang bocah berusia lima belas tahun.