9. Sebuah Seni Mengabadikan Diri

32.4K 9K 4.6K
                                    




Hai hai hai!

Cimol apa kabar?

Absen hadiirr ☝🏻

*****

Cinta itu narkoba.
Kamu akan gila saat kehilangannya.

Butuh waktu yang lama untuk sembuh saat kamu berniat meninggalkannya.

*****

Kenapa Meta benci PA?

Meta mengumpat pelan karena dadu pertamanya mendapatkan angka tiga. Itu artinya, dia harus menjawab pertanyaan yang tertera di sana. Dan sekarang ini, Mario tengah menatapnya serius, seolah benar-benar penasaran kenapa ia bisa sangat membenci cowok itu.

Sejujurnya, Meta menyesal telah datang ke sini. Namun, gengsinya terlalu tinggi untuk tidak datang dan mendapatkan cap "cupu" dari seseorang yang amat dia benci. Jadi, mau tidak mau, karena sudah telanjur, lebih baik Meta segera menyelesaikan permainan konyol yang sudah Mario siapkan.

Namun, apakah Meta harus mengatakan yang sejujurnya? Sepertinya tidak. Hal itu bisa mempermalukan dirinya sendiri.

Lalu, apakah berbohong adalah langkah terbaik di situasi genting seperti ini? Tidak juga. Itu bukan langkah terbaik, tapi sebuah penambahan rakitan dosa.

"Benci tanpa alasan," jawab Meta ogah-ogahan. Ya, Meta memilih dosa dibanding harus mengatakan yang sejujurnya.

Mario hanya tertawa kecil setelah mendengar jawaban dari Meta. Tanpa membalas jawaban cewek itu, dia memilih untuk melempar dadu. Angka enam pun muncul di sana. Mario lalu menjalankan pionnya hingga mencapai angka dari kelipatan milik Meta.

"Lo kurang kerjaan apa gimana, sih? Masa iya pagi-pagi ngajak main ginian," sungut Meta masih berusaha untuk mengeluarkan kekesalannya.

"Iya," balas Mario singkat. "Sekalian PDKT."

Mendengar ucapan Mario, Meta justru semakin mengeratkan kepalan tangannya. Sebab, dia tahu kalau Mario tidak serius mengucapkan itu. Lagi pula, Meta juga sudah menekankan kalau dia bukan golongan cewek yang mudah leleh dengan rayuan yang Mario lontarkan. "Ah, gue nggak mau main lagi!"

Meta tiba-tiba berdiri. Menepuk rok bagian belakangnya yang sedikit kotor ketempelan rumput, lalu membalas tatapan bingung Mario dengan pelototan mata andalannya. "Apa?!" sinisnya.

"Calm down, Forysthia." Mario memainkan dadu dengan jarinya. Wajahnya yang santai itu sangat kontras dengan ekspresi Meta yang menggebu-gebu. "Karena lo nggak mau ngelanjutin permainan ini, jadi gue kasih tantangan seru. Kali ini, lo nggak bisa nolak."

"Apa lagi? Lo pikir, hidup gue segabut itu buat ngeladenin cowok nggak jelas kayak lo?"

"Sepuluh September, lomba cerpen tahunan akan diadain lagi. Gue nggak pernah ikut selama ini, dan gue tahu lo menang tahun kemarin." Mario menipiskan bibirnya sambil terus memperhatikan gelagat Meta. Lewat tatapan gelisah yang disembunyikan, gerakan tubuh yang terlihat seperti orang gugup, dan topeng ekspresi yang Meta tampilkan, Mario tahu kalau sebenarnya cewek itu merasa gugup ketika berhadapan dengannya. Meta berusaha terlihat galak agar dia tidak bisa membaca perasaan cewek itu sekarang. Namun, langkah yang Meta ambil justru semakin membuat cewek itu terlihat takut dan ingin lari menghindarinya.

"Terus?" tanya Meta.

Mario mengembuskan napasnya panjang sebelum menjawab, "Kalau lo menang, kita pacaran. Tapi kalau lo kalah, serius lo bakalan kalah dan dianggap remeh semua orang?"

MetaforaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang