17. Prasangka Buruk

26K 6.4K 4.7K
                                    



Hai hai hai!

Selamat malam semuanyaaa

Apa kabar kalian???

Absen hadir dulu!!

****

Ramein komennya yaaa xixxix

****


"MARIO!"

"Gapapa, kan, Yo?"

"Kok bisa sih, Bang?"

"Alah, telat lo semua!" sembur Mario bebarengan dengan tatapan matanya yang menghunus tajam. Untuk apa juga empat sahabatnya itu datang kalau para berandal yang sempat menyerangnya tadi kini sudah pergi? "Udah ada mereka," lanjutnya sembari menunjuk empat orang cowok yang berada di belakangnya.

"Loh? Preman-preman ini lagi?!" Bola mata Gavie membeliak kaget ketika menyadari siapa saja yang bersama Mario saat ini.

"Preman mata lu," sungut salah satu anggota yang kalau Gavie tidak salah ingat, namanya adalah Canva. Ya... si manusia aplikasi yang kini tengah memakai kembali helm di kepala.

"Temen lo mungkin udah mati kalau kita nggak dateng, yeu," lanjut Canva sambil merapikan jaket kulit yang membungkus tubuhnya.

"Songong amat lo, jelek," cibir Gavie. Tanpa memedulikan ocehan Canva lagi, dia pun mendekat ke arah Mario yang sudah duduk di jok motor. "Kenapa bisa dikeroyok?" tanyanya.

"Nggak tahu. Mungkin mereka nggak terima karena gue salip," seloroh Mario memberi tahu sahabatnya itu. Saat di jalanan tadi, dia memang sempat menyalip gerombolan anak geng motor yang lumayan memenuhi jalan. Alhasil, mungkin karena tidak terima, mereka mengejarnya sampai mentok ke jalanan tikus. Untungnya, ada Samuel dan teman-teman yang sempat berkenalan dengan anak Tongkrongan 55 di Pangkalan Seni beberapa waktu lalu.

"Dih, lo lagi." Marvel, cowok yang berwajah masam itu melirik sinis ke arah Zale yang berdiri santai sambil bersedekap dada.

"Sinting." Zale memutar bola matanya malas. Mungkin manusia di hadapannya itu masih tidak terima dengan insiden terjengkang gara-gara dia membuka pintu depan waktu lalu.

"Udah, nggak usah ribut," tegur Samuel, sang ketua Diamond Gang yang terlihat paling sangar. Kemudian, dia mengalihkan tatapannya ke arah Marvel. "Kalau mau temenan ama dia, monggo. Nggak usah gengsi. Kayaknya kalian klop kalau disatuin."

"OGAH!"

"Nggak dulu."

Baik Marvel maupun Zale, keduanya sama-sama membuang pandangan. Tak sudi menatap wajah satu sama lain.

Tera tertawa kecil melihat itu. "Lucu deh kalau batu sama batu temenan. Kira-kira, apaan yang mau dibahas, ya?"

Ailaan mengetukkan telunjuknya di pelipis, tanda bahwa ia sedang berpikir. "Ah, kenapa gue jadi mikirin hal-hal nggak berguna," celetuknya ketika sadar kemudian reflek menyikut perut Tera, sebab cowok itu terlampau dekat dengannya saat ini.

Tera memekik kesakitan. Mulutnya yang sudah terbiasa berbicara kasar itu pun tak segan untuk menyumpah serapahi Ailaan yang ia rasa bahwa semakin hari malah makin tengil.

Canva menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah para makhluk hidup di hadapannya. "Balik aja yuk, capek gue. Orang lagi meriang malah disuruh pukul-pukulan," ucapnya diakhiri ringisan pelan.

Areksa mengangguk setuju. "Iya, makin malem. Agak angker di sini," gumamnya sambil menatap ke sekitar. Tidak ada siapa pun yang ada di sana selain mereka. Memangnya siapa juga yang mau lewat jalanan bekas rel kereta api yang sudah lama terbengkalai?

MetaforaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang