10. Aksara yang Berpencar

31.4K 8.8K 5.6K
                                    

Hai hai hai!

Cimol apa kabar?

Ketik hadir dulu sebelum baca, ya!

Semoga selalu di sini sampai akhir 🤍

*****

"Ini jebakan! Dasar orgil!"

Ailaan menggebrak meja saat diskusi tengah berlangsung. Empat seniornya kompak melempar tatapan tajam. Tendangan maut di tulang keringnya pun dia dapatkan dari Tera. Mengaduh. Meringis. Kemudian menampilkan cengiran bersalahnya saat sadar kalau yang baru saja dia ejek, bukanlah orang biasa. Itu Mario, sang ketua, yang harusnya ia hormati.

"Maaf, Bang. Gue kebayang Jarjit, makanya refleks ngatain," alibi Ailaan, berharap Mario tidak marah kepadanya.

"Terus kalau sama gue, lo berani ngatain?" tanya Tera yang merasa tidak dihargai karena Ailaan seolah memperlakulan dirinya dengan cara yang paling berbeda.

"Itu karena kamu spesial, Mas Ter."

Huek! Tera memperlihatkan raut wajah ingin muntah. Jawaban Ailaan terasa sangat menjijikkan untuknya. Cowok tengil itu memang suka sekali mengganggunya. Tera jadi semakin yakin kalau kelahiran Ailaan memang hanya untuk membuat dirinya kesal.

"Nggak ada Ilan, lo juga sedih, Ter. Galau menggebu-gebu," ucap Mario sambil menegakkan tubuhnya yang sempat menumpu pada meja bundar yang mereka lingkari. Apa yang dia katakan memang benar. Setiap Ailaan tidak ada, Tera pasti selalu menanyakan. Begitu juga sebaliknya.

"Ngarang lo!" sergah Tera, dia terlihat panik sekarang. Apalagi ketika melihat Ailaan yang kepedean setelah Mario membuka kartunya. Bocah imut itu bahkan tengah menaik-turunkan alis untuk menggodanya. "Gue sebenernya udah muak. Bener-bener muak!"

"Berisik kalian." Gavie menggosok telinganya kasar dengan tangan. Wajahnya yang galak terlihat semakin menakutkan karena dia merengut. Gavie merasa kesal karena keributan selalu saja terjadi di tengah diskusi. Kedamaian memang sempat tercipta saat mereka tengah seksama mendengarkan cerita Mario. Meski hanya bertahan sepuluh menit.

"Nggak asik lo, Gav!" cecar Tera. Entahlah, dia merasa kalau Gavie memang tidak satu frekuensi dengan dia dan Ailaan. Cowok itu selalu saja menghancurkan momen pertengkaran seru yang tengah terjadi di antara mereka.

Gavie hanya melempar tatapan sinis sekilas lalu kembali menghadap Mario. "Lo serius ngasih tantangan itu ke Meta?"

Mario mengangguk santai. "Iya."

"Suka-suka dia kali." Tera memutar bola matanya malas lalu mengalihkan fokusnya dengan memainkan rubik yang dia rebut dari tangan Zale.

"Buang-buang weekend gue." Gavie berdecak sebal. Dia kira, Mario mengajak mereka berdiskusi di Pangkalan Seni adalah untuk membahas pembicaraan serius. Rupanya masih seputar Meta yang masih tak jelas motif hidupnya. "Lo beneran tertarik, apa cuman penasaran?"

Pertanyaan dari Gavie berhasil membuat Mario diam tak berkutik.

*****

Pradipta tak pernah ingkar. Upaya yang cowok itu lakukan selalu berhasil membuat Meta merasa senang. Meski tegas dan memiliki sikap yang menyebalkan, dia tetap menjadi orang favorit yang Meta temukan di sekolah. Tanpa Pradipta, entah apa jadinya Meta saat ini. Bagi Meta, seberat apa pun masalah hidupnya, sebanyak apa pun tugas sekolahnya, sesulit apa pun jalanan menuju impiannya, selagi ada Pradipta, Meta tidak akan pernah menderita. Terkesan hiperbola, tapi memang benar kenyataannya.

MetaforaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang