Hai hai hai!!Selamat malam cimillll
Absen hadir duluuuu
Semoga komentarnya penuh, aamiin haha
*****
Meta berangkat ke sekolah dengan mata yang sembab pagi ini. Dia terlihat begitu menyedihkan. Pemandangan langka seperti ini membuat siswa-siswi lain yang melihatnya tentu tidak ingin melewatkan kesempatan. Jarang-jarang mereka bisa melihat wajah gembel milik Meta. Sebetulnya, Meta juga sudah berusaha untuk menutupi wajahnya dari para manusia kepo itu. Namun, mereka tetap saja tidak sungkan untuk terang-terangan melongok ke arahnya.
Kesalahan terbesar yang Meta lakukan tadi malam adalah... membaca mahakarya milik Mario. Ya, dia membaca novel Lentera Biru yang cowok itu berikan kepadanya.
Sungguh, Meta tidak pernah menyangka kalau cowok itu mampu mancabik-cabik perasaannya hanya melalui rentetan kalimat saja.
Bu? Kalau masa hidup seseorang bisa ditentukan sendiri, mungkin anakmu sudah memilih untuk cepat pulang....
Bu? Aku rindu rumah lamaku.
Rumah yang sekarang sudah tidak hangat.
Bu? Aku tidak tahu apa yang salah denganku. Sampai-sampai... aku selalu merasa sepi di tengah keramaian.
Meta refleks menutup telinganya saat kalimat-kalimat menyakitkan itu terus berputar di kepalanya. Seolah berbisik lembut melalui telinganya.
Meta kira, novel yang Mario tulis akan bercerita tentang percintaan monyet para remaja saja. Namun, kenyataannya, dia salah besar. Lentera Biru benar-benar jauh dari bayangannya. Setiap kata yang Mario torehkan selalu berhasil menghadirkan sesak yang memenuhi rongga dadanya.
"Kenapa tuh mata?"
"Anjir lo!" Meta langsung mengelus dadanya karena kaget dengan kehadiran Pradipta yang tiba-tiba ikut berjalan di sampingnya. "Ngagetin aja!"
Pradipta menampilkan cengirannya. Saat ini, dia sudah mengubah posisi jalannya menjadi mundur karena matanya masih terpaku ke wajah Meta. "Berantem sama bokap nyokap?" tanyanya menebak.
Meta menggeleng pelan. Sejujurnya, dia malu untuk berkata jujur. "Abis baca Lentera Biru," jawabnya dengan memasang wajah masam.
Langkah Pradipta mendadak berhenti, pun dengan Meta yang kebingungan.
"Punya... dia?" tanya Pradipta. Air mukanya berubah drastis saat ini.
Meta akhirnya mengangguk tanpa ragu. "Iya. Kenapa?"
"Bisa plin-plan juga lo." Pradipta tertawa hambar. Bola matanya bergerak gelisah memandang sekitar. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan untuk kembali memutar tubuhnya. Kemudian tanpa aba-aba, dia segera melangkah pergi meninggalkan Meta yang masih bertahan di koridor lantai satu.
Melihat itu, Meta justru mengedikkan bahu cuek. Dibanding menyusul langkah Pradipta di depan sana, dia lebih memilih untuk mengambil ponselnya dari saku rok abunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metafora
Teen FictionMenjadi penulis terkenal adalah keinginan Meta sejak lama. Tahun demi tahun yang dia lewati, rupanya belum cukup untuk membuat impiannya terwujud. Di ambang keputusasaannya, Meta semakin dibuat benci oleh salah satu penulis yang namanya tengah ramai...