Hai hai hai! Selamat soreee!!!!Absen hadir duluuu!!!
Siapa yang puasaaa???
*****
Belakangan ini, Meta terlihat sibuk sekali. Entahlah, padahal biasanya dia lebih suka menjadi orang paling malas di alam semesta. Namun, dia begitu semangat melakukan aktivitasnya beberapa hari ini. Meski sebetulnya, dia sempat menolak untuk melakukan itu. Faktanya, Meta hampir tidak pernah menjilat ludahnya sendiri. Namun, entah kenapa, dia mau melakukan tindakan bodoh itu kali ini. Dan Meta tahu bahwa tindakan itu cukup merepotkannya. Tetapi sekali lagi, Meta merasa antusias sekarang. Ya, dia mengingkari ucapannya sendiri.
Belakangan ini juga, Meta merasa kalau Pradipta telah menjauhinya. Dari mulai membatasi interaksi dengannya, sampai cowok itu harus pindah ke bangku paling belakang dan meninggalkannya sendirian.
Meta bukanlah golongan manusia yang tidak peka. Iya, Meta tahu kalau Pradipta cemburu. Dia tidak mengacuhkan cowok itu beberapa hari ini, dan memilih sibuk dengan urusannya sendiri–tanpa melibatkan Pradipta lagi.
"Dip, menurut lo, cerpen yang gue kirim tadi pagi udah bagus atau belum?"
Benar. Seminggu ini, Meta sangat sibuk mengurus cerpennya untuk diikutsertakan lomba tahunan SMA Bakti Utama. Spesialnya di sini adalah–Mario yang memberikan tantangan itu. Sehingga, euforianya terasa lebih menantang dibanding tahun lalu yang Meta ikuti karena iseng.
Kali ini, Meta berdiri di samping bangku Pradipta seperti orang bodoh. Dua macam pertanyaan sudah dia lontarkan, tetapi Pradipta masih belum mau meresponsnya.
"Kenapa, sih?" Meta mengembuskan napas kesal. "Kalau ada masalah tuh cerita, jangan silent treatment kayak gini," lanjutnya, berlagak tidak tahu apa yang terjadi.
"Bentar lagi Bu Hani masuk tuh. Kerjain PR minggu lalu yang belum selesai, jangan ngocehin cerpen mulu di depan gue." Pradipta akhirnya buka suara. Namun, tatapannya masih terpaku ke arah buku yang terbuka lebar di hadapannya. Dia terlihat segan untuk sekadar menatap wajah sahabatnya itu.
Meta merengut sebal. Dia menyilangkan tangannya di depan dada, masih enggan beranjak untuk menuruti perintah dari Pradipta. "Gue nggak mau balik sebelum lo kembali jadi temen sebangku gue," selorohnya dengan tegas.
Pradipta menghela napas panjang. Akhirnya, dia pun menatap ke arah Meta. Sorot sendu yang biasanya menghiasi iris gelapnya kini berubah menjadi dingin. Seolah berkata bahwa dia sangat tidak ingin berurusan dengan Meta untuk saat ini.
"Kelarin urusan lo dulu, gue nggak mau ganggu," ketus Pradipta.
"Kenap–"
"Ya... nggak kenapa-kenapa. Emang salah, ya, gue menghindari hal-hal yang bikin perasaan gue nggak nyaman?"
Meta diam di tempatnya.
"Udahlah, Ta. Jangan bikin pertahanan gue goyah lagi. Gue juga lagi berusaha buat sadar kalau hubungan kita nggak lebih dari sekadar teman." Pradipta mengulas senyum tipis di akhir kalimatnya. Detik berikutnya, ketika sadar bahwa suasana di antara mereka mulai awkward, Pradipta pun memutuskan untuk berdiri. Untuk sesaat, dia memperhatikan Meta yang masih mematung di hadapannya, sebelum memilih pergi untuk menenangkan hatinya yang sedang kacau.
*****
"CIEEE!!"
"JIAKHHH, ADA YANG MESAM-MESEM NGGAK JELAS NIH!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Metafora
Teen FictionMenjadi penulis terkenal adalah keinginan Meta sejak lama. Tahun demi tahun yang dia lewati, rupanya belum cukup untuk membuat impiannya terwujud. Di ambang keputusasaannya, Meta semakin dibuat benci oleh salah satu penulis yang namanya tengah ramai...