Perjalanan cinta yang tadinya telah usai
18. Marah?
Pukul lima sore Aira sudah berada di rumah, ia membaringkan tubuhnya yang terasa pegal pada kasur empuk yang berada di kamarnya. Di tatap langit langit kamar sambil memegangi kepala yang terasa nyeri, hari ini ia terlalu lelah bekerja sebab toko semakin ramai apalagi tadi Hanin izin untuk menemani adiknya menerima nilai raport dari sekolah. Aira menghela napas kasar, dia teringat lagi dengan ajakan Radit untuk menikah kini ia semakin ragu. Walau Aira percaya pada Radit, tapi ucapan Mira masih terngiang-ngiang. Siapa tahu itu benar.
Aira menggeleng pelan lalu mengusap wajahnya kasar, rasa tidak terima memenuhi diri Aira. Ia jadi benci dengan Mira, padahal gadis itu bukan siapa-siapa Radit tapi mengapa laganya seperti dia ada hubungan dengan Radit? Aira juga memikirkan apa benar Radit akan memulangkan Mira dan Bi Dila? Radit tidak akan setega itu, bisa jadi Radit menyewa apartement atau rumah untuk mereka tinggal?
"Yaampun Aira, kayaknya kamu butuh suasana baru deh, di kamar bikin kamu mikir aneh aneh!" jeritan Aira tertahan. Mungkin ia harus melakukan sesuatu agar pemikiran buruk dan sakit kepalanya hilang.
Gadis itu bangkit dari tidurnya, ia berjalan pada almari bercat putih kemudian membukanya, di sana terdapat banyak sekali dress dan baju rajut buatannya. Aira memang suka sekali merajut, ia membuat baju hangat, cardingan, tas dan hiasan rumah lainnya.
Aira mengambil dress berwarna pink lalu memakainya, rambutnya ia ikat setengah dengan ikat rambut pita. Aira melihat dirinya di pantulan cermin.
"Mau kemana ya?" tanya Aira pada dirinya sendiri, baju ini sangat cocok untuk datang ke sebuah acara pesta dan sebagainya, tapi sekarang Aira sedang tidak ada acara apapun, bahkan tidak ada undangan pesta. Tapi Aira sangat ingin memakai dress ini sebab dress ini belum pernah Aira pakai, ini adalah pemberian dari Nenek Deana saat mereka masih tinggal di kota sebrang.
"Mau kemana cantik sekali?" tanya Nenek di ambang pintu, Aira tersipu malu ia menggigit bagian dalam pipinya menahan senyum.
"Gaktau, cuman mau nyoba bajunya. Cantik Nek." Nenek tersenyum hangat, ia berjalan ke arah Aira setelah berada di depan Aira ia mengusap bahu Aira pelan. "Tanpa kamu pake baju itu sudah cantik, banyak yang tergila gila sama kamu Nak," puji Neneknya membuat Aira menggeleng tidak membenarkan.
"Ada banyak baju Nenek dulu, mau lihat?" Aira langsung mengangguk antusias, memang baju zaman dulu Aira begitu suka, apalagi Neneknya penggemar dress sepertinya. Aira tahu sebab Nenek selalu bercerita tentang dirinya saat dulu.
Aira dan Nenek ke luar dari kamar, tapi getaran ponsel yang ada digenggaman Aira menghentikan langkah keduanya. "Radit, Nek."
Nenek tersenyum ia berjalan lebih dulu, memberi ruang untuk Aira dan Radit mengobrol. Dengan ragu-ragu Aira mengangkat panggilan video dari Radit, terlihat Radit tengah duduk sambil bersandar pada tembok warna cream. Radit melempar senyum tipis segaris pada Aira.
"Mau pergi ya?" tanyanya. Ia melihat setengah dress yang dikenakan Aira begitupun wajah Aira yang terdapat polesan make up tipis.
Aira menggeleng pelan, gadis itu tiduran di kasur dengan posisi miring. "Kamu di mana?" tanya Aira heran, sebab tidak ada pemandangan di belakang Radit hanya ada tembok saja.
"Di hotel," jawab Radit. Lelaki itu berpindah duduk ke ranjang samapi Aira bisa melihat pemandangan kaca besar yang menampilkan jalan dan gedung gedung besar lainnya.
"Kapan pulang?" tanya Aira kemudian melipat bibir salah tanya, jelas sudah tahu jawabannya.
Radit kembali tersenyum. "Sudah punya jawaban ya?" Radit malah bertanya, mungkin Radit berpikir jika Aira sudah mempunyai jawaban mau tidaknya ia menikah dengan Radit.
Aira segera menggeleng cepat, dan Radit menampilkan wajah masamnya membuat Aira gigit bibir, apa lelaki itu kecewa? "Mau Ai, please."
Aira diam saja tak menjawab, ia bingung harus menjawab apa sedangkan dirinya tengah dilanda dengan keraguan. Radit menghela napas pelan, ia tiduran di kasur sambil terus menatap wajah Aira dari layar ponsel.
"Terserah kamu Ai, maaf terlalu memaksa. Jangan dipikirin terus nanti jadi beban. Udah dulu mau tidur." Panggilan langsung terputus begitu saja, mata Aira memanas sambil menatap nanar layar ponselnya.
***
Sudah satu minggu lamanya Radit tidak pernah menghubungi Aira, hingga timbul pemikiran buruk dalam kepala Aira. Apa sekarang hubungan mereka terputus lagi? Aira terlalu gengsi untuk sekedar menelpon, pekerjaannya juga sampai tidak fokus karna banyak melamun. Sudah memikirkan semuanya jika Aira mau menikah dengan Radit walau masih ragu, ia tidak mau Radit kembali membencinya.
Aira duduk di kursi lalu menelungkupkan kepalanya pada meja, toko sama sekali belum dibuka padahal sudah pukul tujuh pas waktunya toko buka, tapi Aira seperti enggan membuka tokonya. Aira menginap empat hari di toko, memang tokonya diperbesar untuk membuat satu kamar agar Aira bisa beristirahat di sana.
Mata Aira terlihat sembab, beberapa hari ini Aira habiskan untuk menangis hanya karena Radit tidak menghubunginya, kemarin ia juga pergi ke rumah Radit dan mendapat sambutan tak mengenakan dari Bi Dila dan Mira. Mereka mengusirnya, ia kira Bi Dila adalah orang baik namun ternyata sama saja ia melontarkan kata-kata lebih kasar daripada Mira untuk Aira. Wanita itu marah sebab Radit akan memecatnya dan menyalahkan Aira atas segalanya.
Pintu belakang toko di ketuk, terdapat suara Hanin memanggilnya. Aira segera mengusap air mata yang kembali menetes. Ia berjalan terburu buru ke pintu belakang, terdapat Hanin tengah keheranan sebab toko belum di buka. Mata dia melotot saat melihat tampilan Aira yang acak acakan.
"Mbak kenapa? Abis nangis ya?" tanya Hanin memdorong Aira masuk lagi ke dalam, mereka duduk lagi di kursi yang menghadap jendela.
"Mbak bingung Nin," lirih Aira ia kembali menangis, ini pertama kalinya ia menangis di depan Hanin, sebab saat bersama Hanin Aira selalu baik baik saja walau sebenarnya tidak.
"Tenang dulu, bentar aku ambilin minum." Hanin bangkit dari duduk ia mengambil segelar air putih di kamar Aira, ia kembali lagi lalu memberikannya pada Aira.
"Radit ngajak nikah, dia kasih Mbak waktu satu minggu buat kasih jawaban. Tapi Mbak ragu banget kalo dia ngebahas itu di telpon. Mbak gak semangat, terus dia bilang terserah dan gak pernah hubungin Mbak lagi sampe sekarang." Hanin terlihat berpikir, memang gadis itu sudah tahu tentang Aira dan Radit, dan sekarang ia baik baik saja malah mendukung hubungan Aira dan Radit agar terus berlayar.
"Ia sih, menurut aku Pak Radit terlalu memaksa. Kasian ke Mbaknya jadi gak fokus karna harus mikirin itu. Tapi mungkin juga Pak Radit punya aasan, Mbak 'kan banyak yang suka, mungkin Pak Radit takut Mbak kecantol sam yang lain. Makanya cepet cepet mau nikahin."
Aira menampol kepala Hanin pelan, ia jadi tertawa sambil menangis gegara lelucon Hanin. Namun ia juga merasa tenang sebab sudah bercerita pada Hanin.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY (End)
ChickLitRaditya Prawira kembali dibuat marah oleh seorang gadis yang dulu pernah menjadi bagian dari kisah hidupnya, bagaimana tidak gadis itu kembali begitu saja setelah dulu pergi dan membuat hati Radit terluka. Lebih parahnya sekarang gadis itu bekerja d...