"Apa yang kau yakini benar, belum tentu sama menurut orang lain. Karena setiap orang punya sudut pandang yang berbeda."
~FEARFUL~
•••
Selama lima hari tidak datang sekolah, tentu banyak hal yang Allea lewatkan. Rasa gugup membuatnya berdiri cukup lama di depan kelasnya. Ia menghela nafas panjang, lalu memasuki kelas. Obrolan beberapa siswa di ruangan itu seketika terhenti saat melihatnya. Kedatangan Allea disambut seperti melihat setan yang muncul tiba-tiba.
Hening sejenak, suasana seakan mencekam. Hanya terdengar langkah kaki gadis itu. Beberapa detik berlalu, suasana tetap seperti itu. Hingga seseorang berdehem untuk menetralkan suasana. Baru setelah itu suasana kembali normal.
Allea berjalan cepat menuju bangkunya. Ia memandang Riska dan Caca yang sudah ada di tempatnya masing-masing.
"Hi, Allea! Luka lo udah sembuh?" Caca berdiri menyapa gadis itu.
Allea mengangguk sambil melirik lututnya yang tertutupi plester.
Caca tersenyum tipis. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu saat melihat Riska menatap tak suka saat ia menyapa Allea. Teringat peringatan Riska agar menjauhi dan jangan berteman dengannya.
Saat Allea ingin duduk di kursinya, Riska malah meletakan tasnya di sana. "Tempat ini punya orang lain."
Kening gadis itu mengerut bingung. Ia melirik Caca meminta penjelasan.
"Ris, itu kan tempat duduk Allea," ungkap Caca berusaha membantu.
"Saat dia ga datang sekolah, udah ada yang ngisi tempat duduk ini. Gue udah nyaman sama orangnya."
"Kok, gitu?" protes Allea mulai kesal dengan tingkah Riska.
"Eh, itu orangnya datang!" Tunjuk Riska pada siswa yang baru saja masuk kelas. "Rosi, sini!"
Mereka menoleh pada siswa perempuan yang tersenyum melambaikan tangan ramah pada Riska.
"Terus Allea gimana, dong?"
"Bodoh amat!" Riska tak peduli.
Helaan nafas panjang Allea terdengar. Ia lelah, kesal, ingin marah, tapi tahu diri karena Riska lah yang memberinya tempat duduk itu. Meski kursi itu sudah miliknya, tapi gadis itu tak mau memperpanjang masalah.
Ia mengedarkan pandangan mencari tempat kosong.
"Di belakang ada kursi kosong!" Beritahu Caca.
Tanpa kata, Allea ke belakang kelas. Terdapat bangku paling pojok yang di tempati seorang siswi. Kursi di sampingnya kosong.
"Ada yang punya?" tanyanya pelan.
Siswa perempuan itu menggeleng, membuat Allea duduk di sana sambil mengucapkan terima kasih. Siswi itu langsung menggeser kursinya menjauh. Allea mendengus pelan, menertawai nasib buruknya.
Setidak suka itukah orang-orang padaku?
Allea meletakan tas di atas meja, lalu meletakan kepala di atasnya. Ia ingin tidur sejenak sebelum bel masuk berbunyi. Namun, kedatangan seseorang yang meletakan beberapa buku tulis di mejanya, membuat gadis itu terpaksa mengangkat kepala.
"Lo kenapa duduk di belakang?"
"Tanya sama mantan lo!" gerutu Allea kesal.
Orang itu melirik Riska yang sedang bercanda bersama teman sebangku barunya.
"Dia nyuruh lo pindah?" Terdengar kemarahan dari suaranya.
"Nggak, gue yang mau pindah sendiri." Bohong Allea tak mau mencari masalah. "Buku-buku ini kenapa disimpan di meja gue?" lanjutnya sambil menggeser buku tersebut.
"Buat lo salin! Ada tugas dan catatan selama lo sakit."
"Makasih, Riko!"
Senyum terbit di bibir tipis gadis itu. Ia mengambil buku itu dengan senang hati, lalu memeriksanya. "Ternyata ini buku-buku Raka. Kirain punya lo sendiri."
Pemuda itu terkekeh. "Emang, hahaha!"
Allea mendengus pelan. Tidak habis pikir dengan tingkah si Aligator yang random. Meski begitu, ia tetap senang dengan inisiatif-nya. Ia memeriksa buku itu satu persatu. Memandang kumpulan tulisan panjang, yang pasti akan membuat tangannya kebas menulis.
"Eh, tadi gue liat kakak kelas yang namanya Nando."
Aktifitas Allea terhenti. Buku yang dipegangnya jatuh. Nama itu sudah tidak pernah terdengar lagi selama beberapa minggu lamanya. Allea hanya memikirkannya beberapa hari setelah kepergiannya, lalu berusaha menghilangkannya dari pikirin. Rasanya begitu asing saat mendengar namanya lagi.
Ia mengangkat pandangan, menatap ke arah Riko yang terlihat tidak merasa bersalah telah mengungkit luka lama.
"Dimana?" tanyanya berusaha terlihat datar.
Riko memandang Allea. "Gue liat dia di lapangan."
"Oh!" Gadis itu berusaha tidak peduli.
"Masih kepikiran? Lupain aja kali. Cowok kayak gitu gak pantas dipikirin. Ninggalin, hilang tanpa kabar, brengsek banget cowok kayak gitu."
Sebuah buku melayang ke wajah pemuda itu. Allea melemparnya dengan tega. Ia mendorong Riko pergi dari bangkunya.
"Sana pergi!"
"Dih, baperan."
Tangan Allea mengambil kembali buku yang digunakannya melempar pemuda tadi. Ia memukul-mukul kepalanya pelan dengan buku itu untuk menghilangkan pikirannya tentang seseorang yang berusaha dilupakannya.
"Lo beruntung."
Allea berhenti memukul kepala saat mendengar suara di samping. Ia menoleh pada teman sebangku barunya.
"L-lo bicara sama gue?" tanya Allea mastikan.
Siswa itu mengangguk. "Lo sangat beruntung!"
Padangan Allea meneliti orang di sampingnya. Di name tag-nya terdapat nama Susan. Seragamnya terlihat kotor di beberapa bagian. Siswa itu berkacamata tebal dengan rambut yang di cepol satu. Wajahnya kusam dan ada banyak jerawat kecil-kecil. Tubuhnya sedikit berisi.
"Tau ga apa persamaan kita?"
Allea menggeleng tidak tahu.
"Kita sama-sama pendiam." Ada kesedihan dari suaranya. "Bedanya lo cantik dan gue JELEK! Gue selalu iri ngeliat lo."
"Kenapa harus iri? Hidup gue ga sebahagia itu sampai lo bisa iri sama gue."
"Pernah dengar istilah, lo good looking, lo aman? Setengah masalah hidup lo akan terselesaikan kalau lo good looking."
Allea tertegun sejenak, lalu tersenyum miris. "Andai! Andai memang begitu kenyataannya. Tapi, itu hanya omong kosong!"
Orang-orang hanya menilai dari luarnya saja. Banyak masalah yang menimpa Allea, tapi tak ada yang bisa diselesaikannya dengan mudah. Semua masalahnya ia lalui dengan tangis dan sisa-sisa semangat hidup yang entah sampai kapan ia sanggup bertahan.
Mata Susan sedikit berair. "Nyatanya lo lebih beruntung daripada gue."
"Padahal lo tahu gue ga punya teman," ucap Allea mulai tak nyaman.
"Pfftt, hahaha ... lo ga punya teman, tapi punya tiga sahabat cowok yang loyal dan perhatian. Lo memang pendiam, tapi orang-orang selalu penasaran sama lo, karena lo cantik. Saat ada siswa kelas lain yang datang ke kelas, mereka pasti menyempatkan diri untuk memperhatikan lo karena lo terkenal pendiam dan cantik. Sedangkan gue, ngelirik gue aja mereka enggan. BEAUTY PRIVILAGE IS REAL!"
Mulut gadis itu bungkam. Tidak tahu membalas perkataan Susan. Yang dikatakannya ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya.
Apakah masalah-masalah yang menimpanya juga karena Beauty privilage?
Sepertinya bukan.

KAMU SEDANG MEMBACA
FEARFUL (End)
Roman pour AdolescentsAlleana Zanara dan Segala Permasalahan Sosialnya. Si gadis pendiam, introvert, dan cenderung antisosial. Perpaduan sempurna yang membuatnya kesulitan bersosialisasi. Hidupnya berjalan monoton, nyaris tanpa warna. Beruntung, ia masih memiliki sahabat...