Ini bukan pertama kalinya bagi Taeyong untuk mendatangi tempat yang dipenuhi dengan anak-anak berseragam dengan sepatu kets sehingga dia hafal dimana letak masing-masing tempat, -dimana ruang guru, perpustakaan atau kelas anaknya. Hanya saja jika dulu ia dipanggil untuk membicarakan prestasi anak pertamanya, namun tidak untuk kali ini dimana ia dipanggil untuk kenakalan anak bungsunya, Jeno.
Bukan bermaksud membanding-bandingkan, tapi kadang sebagai Ibu, Taeyong pun tak mengerti bagaimana jalan pikiran Jeno. Ia sering membolos, ketika ditanya alasannya dia hanya menjawab bosan. Padahal Jeno bukan anak bodoh yang kesulitan memahami pelajaran. Jadi walaupun sering membolos, nilai pelajarannya pun selalu stabil bahkan cenderung tinggi. Soal ini Taeyong sempat khawatir dan menawarkan Jeno untuk pindah sekolah saja. Tapi tawaran itu langsung ditolak karena alasan dia malas bersosialisasi lagi.
"Sepuluh tanpa keterangan dan tiga puluh kali tidak mengikuti pelajaran." Begitu guru BK Jeno, Doyoung saat membacakan poin pelanggaran Jeno kepada orang tuanya. Sungguh Taeyong tidak tahu lagi, padahal setiap pagi ia selalu menemukan Jeno berangkat ke sekolah dengan motornya.
"Bagaimana pun aku khawatir kepadanya. Ini masih semester satu dan ia sudah seberani itu melakukan banyak pelanggaran." Jelasnya lagi.
"Apa pelanggarannya hanya sekitar itu?"
"Beberapa anak melihat Jeno merokok. Hanya saja itu dilakukan di luar sekolah tanpa menggunakan seragam. Jadi aku tidak akan memasukkannya pada buku pelanggarannya." Jelas Doyoung lagi. Membuar Taeyong lagi-lagu terkejut, sejak kapan anaknya menghisap nikotin.
"Aku tidak mengerti mengapa dia sangat berbeda dengan kakak...-
"Tidak ada yang berbeda Doyoung, dia terlahir dari orang tua yang sama." Sahut Taeyong lugas, sebelum pernyataan perbandingan kedua anaknya itu keluar dari sosok di depannya. Mark yang memenangkan banyak olimpiade dan diterima di kampus favorit Canada, sementara Jeno si biang rusuh yang kerjaannya hanya membolos.
Tidak ada yang suka dibandingkan. Dari dulu Taeyong tidak pernah membeda-bedakan anaknya. Mark ya Mark, Jeno ya Jeno.
"Oh baiklah." Doyoung menyadari kesalahannya. Ngomong-ngomong keduanya adalah mantan teman sekelas dan juga satu sekolahan dengan Jaehyun dulu. Itulah alasannya mengapa Taeyong bisa begitu lugas.
"Hanya saja untuk kali ini aku tidak bisa diam saja. Aku harus memberikan surat peringatan agar selama tiga hari ini dia bisa belajar di rumah."
"Dia di skors?"
Doyoung mengangguk.
"Mengapa masih ada tradisi seperti ini, bukankah lebih efisien Jeno menjalani pembelajaran intensif yang terpisah dengan teman-temannya di sekolah?"
"Maaf Nyonya Jung, kadang skorsing juga bertujuan agar orang tua memonitor anak mereka sendiri, sehingga mereka bisa tahu bagaimana perkembangannya seharusnya dan tidak membebankannya pada guru."
Seperti diserang secara halus, Taeyong seakan tak berkutik mendengar keputusan itu. Diambilnya surat peringatan itu, meminta izin untuk segera keluar. Rasanya ia ingin bertemu Jeno, memanggilnya dari ruang kelas lalu menjewernya habis-habisan. Tapi tahu tindakan itu tidaklah berguna. Ia bahkan ragu anaknya itu sedang berada di kelasnya saat ini.
Lalu pada kenyataannya ia membenarkan Doyoung bahwa mendidik adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya orang tua mau pun guru di sekolah.
"Mom?"
Sebuah suara menyapanya dari koridor sekolah. Bukan Jeno, melainkan sosok manis yang sedari dulu sering mengunjungi rumahnya yang sudah ia anggap anaknya sendiri, bahkan diizinkannya dia memanggilnya dengan panggilan yang sama layaknya anak kandungnya.