Jeno berdiri di tepi peron, mengecek jam tangannya kesekian kali. Kereta malam ini pasti terlambat. Baru saja terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa terjadi kecelakaan di jalur tiga.
Ia memutuskan menunggu sambil duduk di bangku besi, di samping sosok yang mengenakan sweeter abu-abu. Sedikit khawatir bahwa udara malam telah membuatnya kedinginan, maka ia memutuskan menyerahkan jaket kulit yang ia kenakan untuk melapisi tubuhnya.
"Pakailah." Ucapnya. Tidak ada istilah tidak enak atau apapun. Pertemanan mereka yang sudah lama membuat ia tidak ragu lagi untuk menerima sesutu yang diperlukan.
"Terima kasih." Jawab Jaemin. Terlihat wajah lelah masih menyelimuti dirinya. Pun kantong mata yang ia sembunyikan melalui kacamata bening. "Kau masih menunggu Kak Mark?" Sambungnya bertanya.
Antara anggukan dan tidak, sejujurnya Jeno sendiri tidak terlalu berharap. Hari ini tepatnya keputusan besar akan diambil. Keduanya telah dikeluarkan dari sekolah, tidak ada harapan untuk diterima keluarga secara baik-baik. Tapi Jeno masih memiliki satu pilihan. Seorang teman kenalannya menawarkan sebuah rumah di desa untuk keduanya memulai kehidupan baru. Sepi, nyaman tanpa hiruk piruk kota besar. Tidak ada yang diberi tahu rencananya itu kecuali kakaknya, yang setidaknya masih memiliki kepedulian. Tapi Jeno memutuskan tidak memberi tahu lokasi desa lebih jelasnya. Dia ingin menjalani hidup dengan benar selagi dia berusaha menebus kesalahannya.
"Kak Mark pasti kemari." Kata Jaemin meyakinkan. Dan itu terbukti dengan pandangannya dari jauh memperhatikan sosok berkaos hitam yang terlihat kebingungan. Jeno yang memanggil namanya keras, sampai mata ketiganya akhirnya bertatapan. Mark lekas berlari ke arahnya. Melewati kerumunan yang tidak seberapa penuh, mengingat ini adalah keberangkatan malam hari.
"Aku memberikanmu makanan untuk bisa kau makan nanti." Menyodorkan dua bungkus makanan cepat saji favorit adiknya, cheese burger beserta minumannya.
Ekspresi terima kasih tergambar jelas dari keduanya. Kakaknya benar-benar tahu jika dia sedang lapar.
"Jadi kalian memutuskan pergi kemana?" Mark tahu bahwa adiknya sudah sepakat tidak memberi tahu kemana tujuan mereka pergi. Bahkan oleh orang tua Jaemin sendiri yang memutuskan menyerah dengan mereka.
"Kau sudah tahu tahu jalur keretanya, haruskah aku memberitahukan lebih detail lagi?" Keluh Jeno. Kereta yang mereka tumpangi melewati jalur ke arah barat. Setidaknya Mark nantinya bisa menebak-nebak di desa manakah adiknya tinggal. "Aku hanya memberi tahukan padamu kak. Jadi tolong hargai keputusanku."
"Asal keputusan ini didapat dengan kepala dingin dan pertimbangan matang." Mark menyetujuinya. Aksi ini bukan semata-mata penebusan kesalahan melainkan pembelajaran bagaimana adiknya kelak menyikapi hidup.
"Kau sudah membawa uang?" Tanyanya.
Jeno mengangguk. Harga action figure yang dikoleksinya lebih dari cukup untuk kehidupan satu bulan ke depan bersama Jaemin. Dia memang tidak mengambil sepeser pun uang dari kartu kredit yang dimilikinya. Begitu pun Jaemin yang juga sepakat menjual koleksi tas dan outfit mahalnya.
"Kau yakin dengan ini?" Lagi-lagi Mark bertanya. Khawatir sekali dengan adik satu-satunya ini.
"Hubungi aku setiap hari." Sambungnya menuntut.
"Aku mungkin tidak bisa datang ke pernikahanmu kak?" Sesal Jeno. Ingin sekali dia datang di hari bahagia kakaknya, setelah pesta pertunangannya ia buat berantahkan.
"Kau masih bisa mengucapkan selamat padaku nanti." Mark tidak mempermasalahkan itu. Ia justru merasa pasrah atas apa yang terjadi di hidupnya kelak. "Hei, jangan menangis. Kau tidak malu Jaemin melihatmu." Bisiknya.
Jauh dari dugaan Jeno yang mengusap matanya kasar. Mata adiknya itu memerah dan terlihat bulir air mata di setiap ujungnya. Jeno menangis. Tangisan yang langsung disembunyikannya dalam pelukan kakaknya.