Hancur.
Seperti gelombang yang datang tanpa diprediksi. Tekanan yang kuat membuat siapapun di tempat itu menjadi limbung terseret arus. Mengerahkan segenap kemampuan untuk berenang ke tepian, naasnya tetap dibutuhkan pelampung untuk bertahan hidup.
Sama halnya dengan seseorang di sini yang membutuhkan alat medis dalam kondisinya yang sedang kritis.
Bagaimana suasana tegang di ruang tunggu. Saat orang nomor dua di keluarga mereka baru saja masuk ruang ICU. Beberepa dokter disertai perawat baru saja masuk, berkata akan melakukan yang terbaik untuk keselamatannya. Sementara tiga orang dari keluarga pasien itu masih bersitegang saling diam.
Mark yang pertama berjalan ke arah Ayahnya. Melihat wajah pias juga cemas, sebagaimana seorang suami yang takut kehilangan istri. Lalu disusul Jeno. Masih dengan wajah babak belur ikut mendekat ke arah Ayahnya. Sayangnya Jaehyun lekas memalingkan muka.
Marah, kecewa, sakit hati, bercampur menjadi satu. Anak yang dia besarkan, dia banggakan, kini menjadi bentuk bajingan yang menghancurkan keluarga mereka dalam sekali malam. Tak sudi memandangnya bahkan ketika Jeno sudah berlutut di bawahnya.
Penampilan anak itu bahkan jauh dari kata layak. Lebam, darah dan bekas air mata dimana-mana. Sampai seorang perawat menawarkan pengobatan tapi Jeno tolak karena tidak ingin meninggalkan keluarganya.
"A-ayah...?"
Ucapan lirih itu, sama seperti saat Jeno mengejah satu nama itu sewaktu kecil. Lalu Jaehyun akan merasa berseri-seri, menggendong dan memutar-mutar badannya kesana kemari.
Namun berbeda dengan Jaehyun yang mendengarnya. Seolah itu adalah hal menyakitkan, yang mengingatkannya pada kebodohan terbesar mempercayai anaknya sendiri.
"Kau... Bukan lagi anakku...!"
"Ayah!" Mark menyelahnya. Seolah itu adalah kata-kata yang sakral, mustahil untuk diucapkan semarah apapun keadaannya.
"Pergi dari hadapanku sekarang juga sebelum aku menghabisimu dengan tanganku sendiri."
Ungkapan bernada berat, tegas dan lugas. Jaehyun masih sosok tangguh, yang dimana emosinya tidak bekerja terutama saat melihat air mata Jeno yang turun deras. Jeno lebih terima jika Ayahnya menghajarnya dengan membabi buta dari pada ditikam dengan perkataan menyakitkan seperti ini.
"Ayah tolonglah... Jeno juga darah daging Ayah sendiri."
"Kau membelanya Mark?" Atensi Ayahnya beralih pada dirinya. "Kau juga bukan anakku jika kau membela bajingan seperti dia."
Apa-apaan Ayahnya ini? Bukankah itu terdengar tidak masuk akal? Mark melihat Jeno menggeleng pelan, seolah memberi pengertian bahwa dia tidak apa-apa dan tidak ingin kakaknya menambah beban untuknya. Ayolah, Jeno mengerti akibat dari perbuatannya ini. Reputasi Ayahnya hancur, kesehatan Mom-nya yang drop. Jika bukan salah satu anaknya yang menenangkannya, siapa lagi?
"Kemasi barang-barangmu dan pergilah sejauh mungkin sampai aku tidak pernah melihatmu lagi."
"Ayahhh....?" Suara Mark yang lebih mirip rengekan, bahkan air matanya ikut turun deras sekarang.
Seorang saudara kandung akan dipisahkan secara paksa, mana yang lebih menyakitkan dari pada itu?
Jeno pun sudah tidak dapat melakukan apapun. Perintah Ayahnya adalah mutlak. Menyadari bahwa perbuatannya sudah keterlaluan bahkan tidak memikirkan dampak apa kedepannya. Inilah yang menjadi sifat dasar manusia sekarang. Senang berbuat namun lupa akan menanggung resiko.
Pun dengan Jeno menyentuh kaki Ayahnya, keputusan Ayahnya masih tidak berubah. Mark yang tidak tega pun hanya bisa memalingkan muka.
"Ayah...?" Lirihnya dalam tangis. "Aku tahu seberapa besar maafku tidak akan mungkin bisa meluluhkan hatimu. Tapi itu tidak sedikit pun melunturkan perasaan bangga bahwa aku telah dibesarkan olehmu."