Jeno terbangun dari tidur saat tenggorokannya benar-benar terasa kering. Menyadari Mommy-nya sudah tidak ada di sisinya setelah semalaman menemaninya tidur, barangkali sudah pindah ke kamar Ayah, pikirnya.
Adalah hal yang sangat tabu saat Jeno yang berusia 17 tahun masih ingin tidur ditemani Taeyong. Kecuali karena Jeno sedang dalam keadaan lelah semalam. Baik pikir maupun batin seakan diperas memikirkan masalah yang seolah tidak ditemui ujungnya. Kembali ke dalam kamar setelah mengambil minuman di kulkas, Jeno sudah mendapati sosok lain yang masuk dalam kamarnya. Hari masih pagi, dan sungguh Jeno tidak ingin berdebat dengan kakaknya lagi sebelum dia menemukan jalan keluar.
"Kau baik-baik saja?" Sapa Mark. Sengaja diacuhkan Jeno dengan cara berbaring membelakanginya.
"Kuharap kau memikirkannya semalam bagaimana cara Mom merawat dan khawatir terhadapmu." Mark yang bicara pelan, berharap kesadaran adiknya perihal kasih sayang orang tuanya. Terutama Mom-nya.
"Kau pun juga bisa membayangkan bagaimana jika air matanya akan tumpah saat mengetahui kelakuanmu nanti."
"Lalu kenapa tidak kau saja yang bilang pada mereka semalam?" Jeno membantahnya sebal. Apa maksud kakaknya ketika pagi sudah membuat gara-gara. Mark hanya perlu mengatakannya pada orang tuanya dan semuanya akan selesai saat itu juga.
"Aku?" Bertanya pada diri sendiri. "Kau sungguh ingin aku begitu?" Mark balik menantangnya.
Mark memang tidak menceritakan masalah Jeno pada orang tuanya. Hal yang kemarin sempat membuat Jeno panik bukan main. Kendati dia belum siap dengan resiko yang ada. Jeno pun masih tidak ingin kehilangan kasih sayang orang tuanya dalam sekejap diganti oleh kekecawaan.
"Aku mungkin saja menjadi baik saat menyatakan kebenarannya, tapi itu akan membuatku menjadi kakak yang buruk." Ungkap Mark membuat Jeno mengernyit. Lantas mendekat ikut duduk di tempat tidurnya.
Di saat normal, mereka biasa tidur bersama, bermain game, juga bercerita sosok cantik di sekolah. Tapi keadaan sedang rumit sekarang. Inilah pertama kalinya kedua saudara itu ditimpah jarak, jika bukan saudara tertua yang mengalah, siapa lagi?
"Aku sudah mendengar tentangmu dan Jaemin, ngomong-ngomong." Lanjutnya mengingat pertemuannya dengan Donghyuck kemarin beserta cerita dari sudut pandangnya. "Aku pun menyesal sudah bertindak jauh tanpa berpikir panjang."
"Sedikit penyesalan, aku merasa bersalah tidak menjadi kakak yang baik untukmu karena tidak bisa memberikan contoh yang baik."
"Bukan salahmu." Sahut Jeno cepat. Tidak mau berlama-lama dalam percakapan melankonis seperti ini.
"Kau mencintainya bukan?"
Jeno terdiam. Tidak mampu menjawab.
"Kau mencintainya untuk itulah kau sampai sakit sekarang." Tebak Mark langsung.
Sangat sulit mengaku cinta pada orang yang terbiasa bersama. Begitu pun Jeno kepada Jaemin. Jeno bisa saja meninggalkan Jaemin seketika, namun tidak menyangkah adiknya itu masih menyimpan kepedulian. Terbukti dari Jeno yang diam-diam mengikuti Jaemin, mengawasi di depan rumahnya dan itu semua dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Mark tahu bahwa secara diam-diam dirinya juga mengikuti Jeno. Sehingga sedikitnya dia merasa lega karena adiknya tidak sebrengsek itu. Jeno hanya terlalu muda sekaligus khawatir akan resiko besar yang menimpahnya nanti. Dan tugas Mark sebagai kakak haruslah mendampinginya bukannya memukulnya dengan babak belur seperti kemarin.
"Kak...- Jeno berucap lirih, membalikan tubuh agar menatap wajah Mark secara keseluruhan. Sebuah raut yang tidak bisa diprediksi. Jeno yang biasanya tangguh kini seolah membutuhkan perlindungan. "Aku takut...."