Mark mengendarai mobilnya secara serampangan mengikuti mobil ambulance di depannya yang bergerak tak kalah cepat membela jalanan tengah malam. Keringat dinginnya menetes, pun bekas darah di kameja nya. Tidak ingin kejadian buruk menimpah keluarganya untuk kedua kalinya.
Tepat di dalam sana, seorang yang disayanginya sedang melawan maut akibat dari peluru yang ditembakkan pada kepalanya. Hampir tidak percaya bahwa itu dilakukan oleh Ayahnya sendiri. Seorang Jung Jaehyun yanh kokoh, yang kuat dan tak terkalahkan justru memilih bunuh diri di depan anaknnya sendiri.
Apa yang dipikirkan tentang hal buruk sengaja dienyahkan jauh-jauh. Mark masih berkonsentrasi menyetir walau isakan kecilnya tidak dapat disembunyikan. Justru terjatuh, luruh bersama keringat dinginnya. Sebagaimana bayangan dari ambulan di depannya, seorang petugas sedang berusaha melakukan CPR, di samping Mom nya yang sedang panik yang suaranya pun bisa Mark dengar dari sini.
Sampai ambulance itu tiba di depan pintu masuk rumah sakit. Di mana sudah banyak petugas bersiap mengeluarkan Ayahnya lalu segera membawanya ke ruang ICU. Begitu pun Mark dan Taeyong yang turut mengikuti. Tangannya menggenggam erat tangan suaminya seolah memberi kekuatan untuk bertahan. Dengan di tutupnya pintu itu, meninggalkan hanya mereka berdua. Sepasang Ibu dan anak yang masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Demi langit yang diatasnya masih ada langit, bisakah mukjizat itu nyata untuk hari ini? Bisakah Mark memohon maaf untuk dosa-dosanya, agar Mom nya bisa kembali sudi menatapnya? Bisakah semuanya kembali sehingga dia mendapat kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki segalanya.
Karena sungguh Mark telah merasa bersalah untuk itu.
"Mom...?" Panggil nya lirih. Tak ada jawaban atas reaksi tubuh berpaling Mom nya sehingga membuatnya memeluk dari belakang.
Tapi sayang seribu sayang. Taeyong justru menolak dengan menepis tangan Mark begitu saja. Untuk pertama kalinya Mom lebih memilih membuang muka dari pada membalas pelukan anak sulungnya itu.
---------------------------------
Keluarga adalah tempat terbaik untuk belajar sebuah pengorbanan.
Itu adalah pemahaman yang Mark dapat ketika usianya 17 tahun. Dimana hari-hari disibukkan dengan olimpiade dan ujian semester. Ayahnya mendiktenya untuk meraih peringkat satu, seolah-olah tak pernah cukup puas pada banyaknya piagam yang Mark persembahkan.
Kamarnya sudah seperti menyatu dalam dirinya. Dimana setiap hari ia habiskan untuk belajar, membaca, belajar lagi. Walau Mom nya sudah melarangnya agar jangan terlalu keras —dengan membawanya untuk berjalan-jalan ke mall dengan adiknya. Tapi setelah itu Mark akan kembali disibukkan dengan buku-bukunya.
Sampai hari penerimaan rapot itu tiba. Ayahnya sendiri lah yang mengambilkan rapotnya. Cukup terkejut dengan peringkat anak sulungnya yang hanya menempati urutan dua.
Bagi Jaehyun Si Ayah perfeksionis, angka dua tidaklah berarti. Neil Amstrong dikenal karena dia adalah orang pertama yang mendarat di bulan. Orang-orang tidak akan peduli pada nomor kedua, ketiga dan seterusnya. Jaehyun yang saat itu langsung mengajak Mark pulang, walau Sang Guru jelas berkata bahwa nilai Mark tidak mengalami penurunan, tetapi persaingan yang memang lebih ketat.
Jaehyun mengurungnya. Mengatakan bahwa Mark tidak boleh keluar rumah. Bahkan dia sendiri yang menyusun daftar studynya. Katakanlah Mark memang hampir gila waktu itu. Disaat teman-temannya sedang menikmati masanya untuk berkencan, bersenang-senang, Mark justru disibukkan dengan kumpulan soal kalkulus di mejanya. Tak ada yang cukup mengerti dirinya, sekali pun Mom yang hanya melihat tanpa melakukan apa-apa.
Pada aksi protes yang terbuka, dengan sengaja Mark membanting laptopnya. Tak peduli berapa banyak file penting di dalamnya. Hal itu diketahui Jaehyun secara nyata, tepat di depan matanya. Mark bahkan sudah siap dengan pukulan Ayahnya walau jelas-jelas Ayahnya tak pernah main tangan. Yang justru dilakukan Jaehyun justru menyuruh istrinya keluar sebentar, meminta waktu bersama sulungnya.