05: Berharap

24 3 0
                                    

Kalau mau ganteng, ya udah gak papa.
Tapi jangan manis juga, itu namanya serakah.

Cyberplum'

•••

Pulang hari ini, Sheila sudah meminta Yudha untuk tidak pulang bersama. Ia butuh waktu sendiri, tapi Yudha memaksa karena ini sudah menjadi tanggung jawabnya.

"Gue yang bawa, ya gue yang mulangin". Sekiranya begitu ujar Yudha tadi.

Sheila hanya bisa pasrah saat Yudha menarik tangannya menuju kuda besi. Anggap saja kali ini bonus, setelahnya mungkin ia akan merajuk kepada Yudha.

"Mau mampir dulu?". Tanya Yudha saat Sheila melangkah menaiki motornya.

"Nggak, gue capek".

Sebenarnya ia tak tega melihat air muka Sheila yang tampak murung, ada apa? Apa yang baru aja terjadi pada gadis itu?

Sejenak ia diam memikirkan banyak asumsi di kepalanya, apa karena ia memaksa untuk pulang bersama dengan embel-embel tanggung jawab, jadi Sheila marah?.

"Lo marah sama gue, Shei?".

"Gak".

"Serius?".

"Hmm".

"Tapi kok mukanya gitu? Jawabnya sok cuek lagi".

"Gue capek Yud, mending buruan pulang". Pinta Sheila memaksa.

Yudha menghembuskan napas pasrah, kemudian menancap gas motornya untuk pergi dari area sekolah. Ia yakin, pasti ada sesuatu. Tak biasanya Sheila begini.

Sampainya di rumah, Sheila tak berujar apapun, bahkan untuk sekedar mengajak Yudha mampir seperti biasa. Gadis itu memberikan helmnya kemudian melangkah pergi.

"Harusnya Lo cerita sama gue". Gumam Yudha, sembari menatap punggung kecil Sheila yang perlahan menjauh dari pandangannya.

Sheila menutup pintu kamarnya, ia lempar tasnya asal asalan. Duduk di bibir ranjang, kakinya bergerak melepas sepatu. Kemudian berbaring tengkurap dengan memeluk boneka beruang kesayangannya.

Padahal hati sudah riang gembira di ajak ketemuan di rooftop sebelum pulang oleh Iraga. Ia berasumsi bahwa Iraga akan mengutarakan perasaannya di sana, tapi setelah melihat aura dingin dari pria itu Sheila jadi urung untuk berharap lebih.

"Ada apa ngajak ke sini?".

"Lupain kejadian di koridor".

"Kenapa?". Sheila tampak kecewa dengan topik pembicaraan kali ini.

"Gue gak mau Lo mikir yang macem macem".

"Tapi-".

"Gue cuma gak sengaja nolong, lupain aja anggap gak pernah kejadian"

Nyussss

Hati kecil Sheila kecewa mendengarnya.

Tak terasa air matanya mengalir tanpa ijin, lama memikirkan hal tadi sedikit membuatnya pusing. Ia benci hal seperti ini, kenapa tuhan menghadirkan Iraga jika pada akhirnya untuk di lupakan. Kenapa harus dia, kenapa bukan orang lain saja? Dan... Haruskah ia mengikuti kemauan Iraga untuk melupakan?

Suara ketukan pintu terdengar mengusik telinga, Sheila segera mengusap air matanya dan turun dari ranjang. Menyiapkan diri agar tak terlihat kusut, ia melangkah mendekati pintu.

Cklek

"Ayah?".

Vian tak menjawab apapun, dirinya masih menelisik wajah Sheila yang terlihat sembab dengan mata sedikit berair. Ia yang baru saja pulang, langsung di buat khawatir oleh ucapan Arin yang katanya Sheila tidak keluar kamar sedari tadi. Bahkan untuk sekedar makan, gadis itu tak menampakkan wajahnya.

"Kenapa gak turun?". Tanya Vian menatap tajam wajah putrinya.

"Gak enak badan". Jawab Sheila pelan, ia langsung menunduk tak berani lagi menatap wajah Vian.

"Kalau gak enak badan ya makan". Nada sedikit membentak membuat Sheila semakin grogi.

"Iya, ayah".

Sheila langsung menuruni tangga, bahkan hingga kini seragamnya belum juga berganti. Masih lengkap dengan atribut dasi, ikat pinggang dan kaus kakinya.

"Astaga, anak bunda belum mandi?". Tanya Arin menatap horor penampilan Sheila.
Bukannya malu, gadis itu malah tersenyum lebar menunjukkan gigi ratanya.

"Lagi gak mood".

"Mandi nunggu mood dulu?".

"Hehe".

•••

Di sebuah lapangan basket umum, Iraga, Alan, Gerry, Kevin, dan jangan lupakan Najib yang kini tengah latihan basket untuk besok. Kelima lelaki itu tampak tertawa saat tak sengaja bola melayang balik mengenai kepala Najib, niat hati ingin memasukkan ke ring, tapi salah sasaran. Malah mengenai tiangnya dan melesat balik ke arah kepalanya dengan keras.

"Makanya kalau belum masuk jangan sok-sokan!". Ejek Gerry melihat air muka kusut milik Najib.

"Pake segala ngadep belakang lagi!". Alan menyahuti.

"MAMAM TUH BOLA!". Timpal Kevin tak suka dengan Najib yang banyak gaya. Melempar bola basket ngadep belakang segala lagi. Tidak tidak, bukan karena itu, tapi karena senyum menjengkelkan di wajahnya.

"Ck! Bukannya di tolongin malah ngejek!". Najib tak terima.

Semua tertawa melihat Najib yang mengeluh mendengar teman temannya tertawa ngakak. Iraga yang merasa hari makin larut, ia segera melihat jam tangannya. Tak ingin, Alan di marahi orang tuanya karena ketahuan pulang malam.

"Jam 9, pulang gak nih?".

"Ayo deh". Sahut Alan segera menepi mengambil tas dan jaketnya.

"Lo pulang gak, Jib?!". Teriak Gerry memekakkan telinga.

"IYE!".

Kevin menepuk bahu Iraga, menatap raut wajah lelaki itu dengan cahaya remang remang. Ia akui, kehebatan Iraga tak jauh beda dengannya. Keren, hampir setiap tembakan yang di buat begitu memuaskan penonton dan teman satu anggotanya.

Iraga menoleh, menatap air muka Kevin dengan alis terangkat sebelah.

"GOOD LUCK BUAT BESOK GUYS!".

Perlahan semuanya hilang, Gerry, Najib, Alan... Bahkan kini Kevin sudah berjalan melewatinya, berhenti tepat di depannya, menatap dengan senyum manis yang Kevin punya.

"Masih mau disini?".

Ia mengangguk, ia ingin sendiri untuk kembali merasakan tenang.

Kevin pergi, dirinya menatap tempat dimana beberapa hari lalu ia sempat duduk sendirian. Dan bertemu dengan sosok yang ia akui cantik parasnya, memiliki cahaya yang ia inginkan. Entah apa yang membuatnya melakukan hal bodoh ini, kembali duduk menunggu sosok itu datang kepadanya.

"Ga, Lo kenapa sih jauhin gue?!"

"Emang sejak kapan kita deket?".

Sejenak ia teringat percakapannya disini, saat itu.

Ia lelah, ia butuh sandaran. Ia juga menyesal telah membuat gadis itu kecewa, ia benar benar jahat mengatakan hal demikian.

Tunggu, berharap?

Tidak, hanya saja ia memastikan, apakah gadis itu akan keluar setiap malam? Atau...
Entahlah, ia bingung menjabarkan perasaannya sendiri. Ia benci dalam posisi ini.

Entah mengapa ia tersenyum sembari merasakan degup jantungnya yang tak selaras saat mengingat dimana gadis itu tersenyum ke arahnya, padahal ia tau gadis itu tengah cemberut karena di hukum panas panasan. Ia harap senyuman itu tulus untuk nya, itu saja.


"Dasar gila!".

She-Raga[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang