42: Manusia paling bodoh

15 1 0
                                    

Mengetahui kenyataan di hidup Rere, hati Gerry berdenyut nyeri. Ia tak Setega itu membiarkan seorang gadis di sakiti, tapi mengingat Rere yang tak berperasaan menyakiti sepupu dan sahabatnya membuat ia sakit hati.

Ayah Rere di keluarkan dari penjara, giliran kedua orang tua Rere yang di masukkan ke jeruji besi. Rere? Gadis itu mendapat penanganan mental dari anggota psikologis. Gerry dengan lapang dada menerima kenyataan bahwa hatinya sempat tak salah memilih gadis.

Rere, gadis yang terlihat kejam dengan aura negatifnya membawa pedih di hatinya. Rere gadis kuat dan bringas itu, nyatanya tak berubah dari Rere yang dulu.

Gadis dengan tutur kata lemah lembut, mental dan fisik yang lemah. Yang semakin membuatnya merasa bersalah adalah, mengapa ia tak tau jika kehidupan Rere sekeras itu. Ia yang menjabat sebagai kekasih Rere malah tak tau jika Rere selalu mendapat kekerasan dari orang tua tirinya.

Rere tak bercerita apapun, gadis itu hanya tersenyum saat ia bertanya apakah dua orang di rumahnya itu orang tua Rere. Mungkin saat itu Rere tak Sudi menyebut mereka orang tuanya, tapi...

"Gerry, aku gak mau ada di sini. Aku mau pulang ketemu ayah". Ujar Rere yang duduk bersebelahan dengan Gerry di bangku taman RSJ.

"Aku takut gejala mental kamu kambuh".

"Aku gak gila, aku baik baik aja. Aku waras! Aku cuma pengen hidup bahagia sama ayah, Tapi kenapa kamu makin memperkeruh kehidupan aku sih?!".

"Aku sayang sama kamu! Aku gak mau kamu kena serangan mental lagi gara gara keinget sama masa lalu kamu. Aku takut kamu kenapa-kenapa, rasa trauma kamu belum sembuh Rere".

"Aku bisa atasi ini, ayo pulang aku mau ketemu ayah..."

"Oke! Tapi aku mau kamu jangan nolak saat aku minta buat dokter cek kamu setiap hari".

"Of course... I'm promise".

•••

Keluarga Sheila kembali lengkap, ayahnya Letnan Vian si pengasuh ayam warna warni pulang dengan senyum di wajahnya. Beruntungnya Vian pulang membawa kemenangan, ia pulang dengan keadaan baik baik saja itu sudah cukup untuk Sheila dan Arin.

"Astaga... Sejak kapan kamu buntingin Leni?!" Kaget Vian saat tau anak ayamnya sudah tumbuh dewasa, belum lagi ia melihat Leni yang mengerami 7 telurnya.

Liam, si ajam jantan itu hanya diam duduk di samping Leni yang tidur sembari mengerami telur mereka. Bodoh amat dengan ocehan Vian yang tak terima ayamnya di perawani, Liam malah memejam mata membuat Vian geleng kepala.

"Yah, makan dulu yuk". Ajak Arin.

Vian langsung bangkit dari posisi jongkoknya yang sempat melihat kandang ayam di belakang rumah itu. Keduanya berjalan masuk rumah, mereka melihat Sheila yang tengah menata makanan di rantang.

Vian yang baru datang langsung duduk, membiarkan Arin mengambilkannya makan. Dirinya? Kini tengah menatap sang putri yang malah sibuk sendiri.

"Buat apa itu?". Tanya Vian.

"Sheila mau jenguk, Aga. Sekalian aja bawain sarapan".

"Di sana kan udah di makan, gak mungkin para suster biarin dia mati kelaparan". Protes Vian sedikit sinis.

"Kasihan ayah..."

"Ngapain dikasihani? Bocah tengil kaya dia udah pantes diam di sana aja sampai tua".

"Hus! Ga baik". Tegur Arin melirik suaminya yang kini melahap nasi dengan kesal. Gemash.

"Kamu gak makan dulu?".

"Nggak usah, sekalian aja nanti di sana".

Arin mengangguk kemudian menjulurkan tangannya untuk di cium, kemudian Sheila pergi keluar rumah dengan balutan Hoodie coklat membawa motor Vespa kesayangan si ayah.

Melewati malam yang lumayan ramai karena hari ini malam Minggu, Sheila menikmati udara malam menuju rumah sakit. Hatinya entah mengapa merasa begitu deg degan setelah kejadian kemarin. Mengenai perasaan, kapan Sheila harus jujur dan memulai semuanya dari awal?

"Kok deg degan ya?".

"Tenang, Shei. Semua baik baik aja".

Setibanya di rumah mewah itu, Sheila ditemani Rio menuju kamar tuan mudanya. Tak ayal, Sheila sedikit canggung untuk kesana.

Di sana, Iraga tampak duduk bersandar pada kepala ranjang, termenung menatap keluar jendela dengan keberadaan Jordi di bibir ranjangnya. Raut wajah keduanya seakan menunjukkan bahwa telah terjadi obrolan sensitif yang baru di utarakan satu sama lain. Atau mungkin hanya sepihak?

"Permisi".

Jordi menoleh, lelaki itu menatap Sheila dengan tatapan dingin sedikit... Sedih? Sheila mendekat, Jordi menepuk bahunya kala keduanya berpapasan.

"Jaga dia baik baik untuk saya".

Sheila hanya diam, hingga akhirnya Jordi keluar kamar ditemani Rio menuju ruang kerja. Sheila meletakkan rantangnya di atas nakas, kemudian duduk di bibir ranjang dengan hati bergemuruh.

"Hiks..."

Tertegun, satu tarikan ingus itu mampu Sheila dengar dengan jelas. Iraga menangis? Bohong, tak mungkin kan? Kenapa lagi lelaki itu?

"Ga, Lo kenapa?".

"Keluar".

"Ga..."

"Sekarang kamu boleh pergi, Shei. Aku gak akan tahan kamu lagi, toh semua akan ninggalin aku kan? Hiks.."

"Tapi, Ga...".

"Bunda udah pergi, ayah bentar lagi juga bakal pergi sama istri barunya, terus pasti kamu juga bakal pergi kan? Jadi... Kalau kamu mau pergi, mending dari sekarang. Lebih cepat lebih baik kan?".

"PERGI, LA! Kamu pasti malu kan kalau punya cowok lemah kaya aku? Jadi mending kamu pergi! Percuma! Aku cuma beban buat kamu!".

"Kalau itu yang kamu mau, aku pergi Ga. Tapi ingat, gak semua hal itu gampang, butuh proses. Kayak aku yang gak mudah buat ngutarain perasaanku ke kamu. Semua ada alasannya, karena aku menghargai perasaan orang lain, karena aku gak mau satu saat kamu sakit hati karena kita berjarak. Aku lagi usaha, dan sekarang kamu ngusir aku? Semudah itu? Jangan cuma karena aku diam waktu kamu bilang suka ke aku, terus kamu pikir aku nolak? Nggak! Aku lagi usaha buat runtuhin ego aku, Ga!".

"Shei, maaf..."

"Udahlah, kayaknya emang aku gak jahat sama kamu"

"La..."

"Aku bawa makanan, jangan lupa dimakan".

Setelah kejadian itu, Iraga dan Sheila saling menjauh. Tak lagi ada yang namanya bertukar pesan atau apapun. Berulang kali Iraga ke rumah Sheila, tapi Sheila menolak kedatangannya.

Dihidupnya tinggal Sheila, hanya gadis itu yang ia punya. Lantas mengapa ia sebodoh itu membiarkan gadis yang memiliki hati tulus untuknya malah ia usir begitu saja.

Bodoh, manusia bodoh di dunia ini sepertinya adalah Iraga.

Tak cukupkah penolakannya untuk Sheila berulang kali? Hati gadis mana yang sekuat itu berjuang untuknya dengan banyak penolakan darinya?

Wajar jika Sheila menjauh, mungkin gadis itu mulai lelah dengan sikapnya yang egois. Memikirkan dirinya sendiri, selalu memaksa gadis itu untuk tetap dengannya. Padahal dirinya tau, Sheila tak mudah mencintai.

She-Raga[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang