24: Obat penawar

14 3 0
                                    

Kadang takdir membawa skenarionya sendiri, disaat lakon meminta kebahagiaan disitu takdir membawa kenyataan.

Cyberplum'

Malam hadir membawa keheningan dan kegelapan, pikiran berkecamuk mencoba abai pada situasi bukanlah hal baik. Ia masih memiliki perasaan sayang pada Papanya, ia masih merasa bersalah atas kejadian tempo lalu. Sikapnya terlalu kekanak-kanakan, hanya karena Jordi bersikap acuh padanya.

"Ma... Sekarang aku udah besar, aku bisa masang sepatu sendiri, aku bisa masak sendiri. Lihat deh, ulangan fisika Minggu lalu aku dapat nilai 9. Keren kan?".

Air mata Iraga jatuh, tatapan sendu terpancar tapi senyuman lelaki itu tak sedikitpun pudar. Ia membutuhkan usapan penenang, ia butuh kata kata penyemangat dari orang lain, ia juga butuh pelukan yang hangat.

"Aku kangen Mama... Aku gagal bahagiain Mama, aku gak bisa tanpa Mama... Papa baru keluar dari penjara karena tuduhan palsu itu, hiks... Aku pengen Mama disini..."

Ia letakkan kertas ulangan itu di atas meja balkon dengan kasar, ia mengusap air matanya seraya terus marapalkan doa. Semoga kegagalannya untuk bahagia, tak membuat Mamanya kecewa.

"Raga! Buka pintunya!".

Perintah mutlak yang selalu membuat dirinya muak, ia benci keadaan ini. Ia ingin bebas dan jauh dari Jordi. Tapi naas, keadaan berkehendak lain.

"Ngapain kesini?". Tanya Iraga tanpa melirik ke arah Jordi barang sedikitpun.

Tak heran jika Jordi bisa masuk ke apart nya. Sandi nya juga tanggal lahir Luna, Mamahnya.

"Ayo pulang ke rumah". Ujar Jordi meminta.

"Gak perlu".

"Pulang sekarang!".

"Aku pasti pulang, tapi gak sekarang". Ujar Iraga mengunci kamarnya berdiri di belakang pintu kamar, tubuhnya merosot dengan perasaan berkecamuk.

Ia remas rambutnya yang kian berantakan, hampir semua yang ia mau hancur karena Jordi. Hobinya membaca pun hampir tak pernah ia lakoni lagi, semua novel dan komik yang ia punya hangus di bakar tak bersisa.

Takdir macam apa ini? Sesulit itukah untuk hidup bebas seperti remaja lain?

Suara bel berbunyi, ia enggan untuk bangkit. Tapi... Suara seseorang berhasil menggali kerinduannya. Bahkan ia tak peduli bagaimana Sheila bisa tau alamat apart-nya.

Secepat mungkin, Iraga membuka pintu apartemen dan tampaklah seorang gadis berdiri dengan kotak bekal kuning kesayangannya.

"Ga, ini dari bun-"

Belum selesai berbicara, Sheila lebih dulu di tarik masuk. Hampir 4 hari ia tak menemui gadis ini. Ia rindu, ia pikir setelah mengatakan untuk menjauh Sheila akan benar menjauhinya. Nyatanya tidak begitu.

Greb!

"La... Kangen...."

Tak pernah Iraga bersikap seperti ini sebelumnya. Memeluknya tanpa persiapan, benar benar memicu adrenalin. Ia takut tak bisa keluar dari jeratan Iraga, meski nyatanya itu mustahil.

"Lo kenapa sih?".

"Jangan tinggalin gue, cukup Mama aja...".

Untuk kali pertama ia melihat Iraga menangis, menangis dalam pelukannya. Lelaki itu memintanya untuk tetap ada di samping lelaki itu? Tak sadarkah hatinya diskoan hanya karena kalimat singkat? Gila! Bisa gila kalau begini!

"Ayo pacaran?".

"Apa sih Ga?!". Sheila mendorong bahu Iraga membuka pelukannya terlepas.

Ia letakkan kotak bekal itu, kemudian kembali menatap Iraga tak percaya. Ia masih tak bisa menerima semuanya, ia sudah berusaha untuk jauh 2 hari belakangan, dan semudah itu Iraga memintanya untuk menjadi pacar? Ini terlalu mendadak.

She-Raga[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang