43: ENDING!

51 1 0
                                    

Semua kembali berubah menjadi tawa, Gery kembali dengan Rere, Alan dengan Karina, Kevin dan Ummu, Najib dan Gianna yang masih menjomblo, kemudian... Iraga dan Sheila yang masih dalam kerumitan.

Di kafe maniak, dua kubu remaja itu saling melempar canda mengiringi acara makan siang hari ini.

"Gimana kalau kita mainan truth or dare?"

"Ayo!". Seru Karina menyetujui ujaran Gery.

Mengingat Rere tak ada disini, pantas saja Gery berani memulai permainan. Ia rasa tak ada yang di khawatirkan, sekarang semua sudah tak lagi ada pada masalah yang rumit. Semua kembali ke jalan masing masing, dengan hidup masing masing.

"Gue mulai?". Tantang Alan di setujui Karina yang tampak menjadi personel paling antusias.

Botol langsung diputar dengan kencang, lama semuanya merasakan kegugupan. Takut jika botol itu mengarah ke arah mereka.

"Yaaaaa! Kena juga Lo!". Ujar Karina menunjuk wajah tegang Kevin.

"Ck, pertanyaan aja lah". Ujar Kevin pasrah.

"Yes!". Seru Karina, memang sedari tadi dirinya mengincar Kevin untuk ditanyai masalah hubungannya dengan si gadis berhijab itu.

"Jujur, kalian pacaran kan?". Tudingnya dengan mata berbinar, berharap ucapannya ini nyata.

"N-nggak kok, aku...". Kenapa jadi Ummu yang gugup?

"Gue sama Ummu udah nikah".

"Loh, kok? Kapan?".

"Ck, pertanyaannya cuma boleh satu". Ujar Kevin kemudian meraih botolnya untuk ia putar.

Sssrrrr...

"Hey, boy". Goda Najib dengan alis centilnya. Iraga hanya mengindikkan bahunya acuh, geli rasanya melihat wajah Najib sekarang.

"Apa?".

"Tantangan atau... Pertanyaan?".

"Dua duanya".

"Wih.... Sangat impresif ya teman teman".

Semua tertawa mendengar ucapan Najib yang entah mengapa terdengar kelakar. Mata Najib memancarkan sebuah kejahilan fatal.

"Pertanyaan sekaligus tantangan, Lo cinta gak sama Sheila? Kalau iya, gue tantang Lo cium pipinya aja. Kalau enggak, kasih alasannya".

Iraga tampak berpikir keras, setelah kejadian tempo hari mana mungkin ia berani mencium Sheila? Bisa digaplok nanti. Tapi... Hingga kini ia tak berani berbohong. Ia tak pernah berbohong masalah perasaan, mana mungkin ia berani mempermainkan perasaan gadis itu lagi.

Ia tak mau kehilangan, kalau ia cium nanti Sheila marah tidak ya?

"Ayo buruan!". Seru Gery semangat.

"G-gue mau ke toilet". Ujar Sheila segera bangkit dengan terburu-buru.

Belum sempat pergi, Iraga sudah mencekal tangannya. Lelaki itu segera bangkit dan menariknya lebih dekat.

Cup

"DUNIA SERASA MILIK BERDUA, YANG LAIN NGONTRAK!".

"EGO AKHIRNYA HANCUR DI HANTAM KENYATAAN!".

"DIAAAAAAAM! KALIAN SUKA BANGET SIH BIKIN DARAH TINGGI!? GUE MAU PULANG!".

"Shei! Maaf..."

"Gak perlu maaf maaf lagi".

Sheila berlari keluar kafe, tak lupa Iraga mengejarnya. Hujan di luar membuat suasana semakin terasa. Sakit hatinya kembali menguar.

Baru beberapa hari lalu Irga menolaknya, dan sekarang secara tidak langsung lelaki itu mengutarakan perasaannya di depan teman teman yang lain. Sial, hatinya hancur. Semudah itu Iraga mempermainkan perasaannya.

Berhenti di taman belakang kafe, tubuh Sheila terasa lemas. Dirinya menopang badan di antara lutut.

"GAK ADIL! KENAPA SELALU DIA YANG BERHASIL NGATUR ALURNYA!? KENAPA BUKAN GUE, GUE JUGA MAU MAKSA DIA INI ITU SEMAU GUE! BRENGSEK! KENAPA CUMA HATI GUE AJA YANG DIBIKIN BERANTAKANNN?!".

"Hiks... Gak cukup dia bikin gue sakit hati? Ditarik ulur semaunya, dipaksa ini itu semaunya! GUE BENCI SAMA LO! AGA BRENGSEK! KENAPA HARUS SAYANG SAMA LO SIH?! GUE MALUUU! GUE CAPEK!".

Semua teriakan yang mengundang pasang mata para pengunjung itu berhasil membuat hatinya lega. Hingga rintikan air hujan tak lagi terasa, ia mendongak. Payung hitam berhasil melindunginya dari hujan, dari belakang Iraga merangkulnya untuk pulang.

•••

Di apart Iraga, Sheila berdiri di balkon dengan jendela terbuka. Hujan mulai reda. Dirinya sendirian di kamar, Iraga masih mandi di lantai dasar.

"Kenapa gue gak bisa benci sih sama Lo? Bodoh tau gak, bisa bisanya gue diem aja kaya gini".

Sheila tersenyum, ia menatap kosong kearah luar jendela. Cahaya kota memanjakan hatinya yang gundah.

"Dalam banget sakitnya, dalem juga cintanya. Kalau gini gue ngaku kalah, Ga. Gue cinta sama Lo, gue sayang..."

Iraga yang baru masuk jadi tertegun, Sheila mencintainya? Masih? Kalau boleh ia ingin sekali memeluk erat gadis itu, tapi naas ia tak mau membuat hati Sheila di tarik ulur lagi. Ia harus tegas, bukan begini.

"GUE BENCI JADI PENGECUT! GUE SAYANG LO GAAAA!".

"Yakin?".

Jantung Sheila berpacu tidak normal, ia berbalik badan. Dimana kini Iraga tengah berdiri dengan segelas air susu di tangannya.

"Iraga?".

Iraga masih diam mencerna semuanya, lelaki itu meletakkan segelas susu hangat di atas nakas. Kemudian berjalan melangkah mendekati Sheila. Niatnya tadi sekalian saja dari lantai dasar setelah mandi ia bawakan gadis manis itu susu untuk menghangatkan badan.

"Ulangi, aku mau denger sekali lagi". Ujar Iraga membuat Sheila meremas ujung kausnya.

Iraga mendekat, membuat kakinya reflek melangkah ke belakang. Jantungnya kian berdisko, belum lagi wajah Iraga yang entah mengapa malam ini terlihat...

"Ulangi...". Bisik Iraga setelah mengungkung keberadaan Sheila dengan kedua tangan di sisi badan gadis itu.

"G-gue..."

"Aku udah dengar semuanya, kamu boleh bicara sekarang". Suara berat itu semakin membuatnya gelisah, ia ingin segera pergi sebelum wajahnya kian memanas dengan jantung abnormal.

"G-gue..."

"Ayo pacaran".

"Tapi, Ga..."

"Apalagi? Aku udah tau semuanya tentang perasaan kamu, sekarang kamu masih mau begini? Situasi gak jelas yang bikin kita canggung?".

"G-gue gak-".

"Aku gak butuh penolakan, aku maksa".

Grebb!

"Sekarang kamu punyaku, jangan nakal nakal ya manis..."

She-Raga[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang