Honeymoon Bukan Bulan Madu

69 11 6
                                    

Krauuuk!

Keisya ketagihan memasukkan bola kuning Chiki ke dalam mulutnya yang menganga hingga ia tak sadar itu adalah bola terakhir yang ada di dalam bungkus snack kesukaan anak Indonesia, termasuk dirinya. Lebih tepatnya sudah bungkus ketiga. Keisya benar-benar jadi anak micin gara-gara tidak diacuhkan oleh suaminya yang sudah setengah hari ini hanya sibuk berkutat di depan laptop. Ia jilat satu-persatu jari-jemarinya untuk menyesap sisa-sisa bumbu yang menempel di sana. This is the best part dari makan Chiki.

Keisya mendengus kesal untuk kesekian kalinya. Bahkan dua film HBO saja sudah selesai ia tonton. Kenapa suami barunya ini sama sekali tak bergeming dari posisinya. Apa leher dan punggungnya tidak terasa kaku dan pegal? Keisya saja dari tadi entah sudah berapa kali ganti posisi rebah.

Diam-diam sambil berpangku tangan, Keisya menilik wajah serius suaminya. Dida memang tampan dilihat dari posisi mana juga. Hidungnya yang mancung kalau kata novel-novel seperti perosotan tanpa tikungan, bola matanya yang coklat tua dibingkai dengan bulu-bulu lentik di atas-bawah, bibirnya yang merah dengan belahan di bagian bawah yang terlihat cipokable dan memang seperti minta dicipok, rambutnya yang gondrong tanggung persis Lee Dong Wook di Tale of Nine Tailed, persis! Rasanya tangan Keisya gatal ingin menyugar helai-helai rambutnya yang jatuh menutupi beberapa bagian kacamata minus pria itu.

Damn, he's hot!

Keisya menggigit bibir bawahnya gemas.

Ah, secara sah menurut agama dan negara, semua bagian itu sudah jadi hak milik Keisya sepenuhnya. Halal diapain juga! Jadi Keisya boleh kan kalau sekarang nekat ingin menyentuh wajah tampan itu? Beneran boleh kan?

"Kenapa lihat-lihat?"

"Ehem!" Keisya jadi salah tingkah perbuatannya disadari oleh sang objek perhatian. Langkahnya yang berusaha mendekat terhenti.

"Emmm ... Mas Did, jadinya kita kapan jalan-jalannya?" Keisya mengalihkan, sebelum niat jorok di otaknya benar-benar ketahuan oleh sang suami.

Ya walaupun ini sudah yang keempat kalinya Keisya menanyakan hal yang sama.

Reaksi pertama hanya, "Nanti."

Reaksi kedua hanya, "Bentar."

Reaksi ketiga hanya, "Sabar."

Dan sekarang ... reaksi keempat adalah ... Takk. Sepertinya ia baru saja menekan tombol enter menggunakan tenaga.

"Kamu lihat kan saya sedang apa?" Matanya setengah memicing dari balik kacamatanya.

"Ya kali Kei nggak punya mata," sahut Keisya kesal.

"Kalau sudah tahu, ngertiin dong."

"Mas Did yang nggak ngertiin! Kita tuh lagi honeymoon. Orang-orang kalo bulan madu pada spending time sama pasangannya, bukan sama layar datar."

"Honeymoon kita bukan bulan madu. Kamu sudah tahu itu kan?"

Kata-kata Dida barusan merajam kesadaran Keisya akan arti bulan madu yang sedang mereka jalani. Sebulan yang lalu, Dida memang sudah bilang pada Keisya untuk tidak berharap lebih padanya tentang momen bulan madu yang umumnya digambarkan sebagai momen intimate pasangan pengantin baru.

Mereka berdua memang sudah kenal sangat lama tapi tidak pernah sedekat itu, tidak pernah seintim itu. Sebagai teman pun tidak. Jadi pernikahan ini akan menjadi proses yang saaangat panjang untuk mereka berdua. Dida juga sudah mengatakan bahwa ia akan disibukkan dengan banyak urusan kerjaan karena menjelang akhir tahun perusahaan akan tutup buku. Cuti hanya sebatas tulisan di atas kertas. Jadi Dida sudah terlebih dahulu menegaskan pada Keisya, jangan pernah berharap honeymoon mereka akan jadi bulan madu semadu-madunya madu. Realita memang pahit.

I Can Make You Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang