Malam Kedua

91 14 4
                                    

Keisya terduduk lemas di atas ranjang sembari melakukan peregangan pada kedua kakinya yang sudah kebas dan lelah gara-gara bertahan dengan heels 7 cm yang harus dikenakannya selama tiga jam tadi. Terutama pada sepasang tumit kecilnya yang diharuskan menopang bobot 49 kg-nya.

"Pegel ih," keluhnya pelan.

Kasihan sekali nasibmu, tumit...

Untung saja tubuhnya masih size S meskipun tadi pagi dan siang nafsu makannya mengalahkan kalapnya orang puasa seminggu. Coba lihat Dida, andai postur tubuhnya sebesar suaminya ... tiba-tiba Keisya tak kuasa menahan tawa saat otaknya iseng traveling membayangkan Dida yang mengenakan gaun pengantin dan high-heels.

"Hahahahaha..."

Dida yang sedang berdiri melepas jas hanya mendesah lemah melihat kelakuan istrinya yang tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba tertawa kencang seperti orang kesurupan mbak kunti.

"Hahahaha..." dan tawanya masih berlanjut hingga babak kedua.

"Saya duluan mandi." Tidak mau tahu dengan ke-absurd-an istrinya, Dida meraih baju tidur yang baru saja dikeluarkannya dari dalam koper.

"Ya udah, mandi aja." Keisya membalas cuek. Lalu tiba-tiba otak isengnya kembali bekerja.

"Yang wangi ya, Mas. Kan mau malam pertama." Senyumnya mengerikan ditambah dengan kerlingan mata nakal.

Dida yang langsung merinding, spontan bergegas memasuki kamar mandi. Awas saja kalau sampai Keisya menyerang buas dirinya malam ini. Bukan tidak mungkin kan istrinya itu menuntut hak eksklusifnya? Meskipun Dida juga tahu wanita itu sebenarnya masih dalam proses penyembuhan patah hati, akibat terpaksa memutuskan pacarnya demi menerima perjodohan ini. Tapi bisa jadi gara-gara itu Keisya malah jadi depresi, kan? Terus Dida yang jadi tempat pelampiasannya. Ya, kan? Bisa saja kan? Anything is possible, right?

Eh, tapi sebentar ... tunggu dulu ....

Dida membelalak. Keisya kan sedang datang bulan. Ah, sial! Ngapain juga Dida pusing mikirin yang nggak-nggak. Wanita itu jelas-jelas cuma iseng menggodanya.

Cewek tengil!

Setelah Dida selesai dan keluar dari kamar mandi, anehnya suasana kamar jadi sepi dan remang-remang. Tak ada berisik apapun ... tenang ... senyap. Dilihatnya ke arah kasur, ternyata istrinya itu sedang meringkuk lemas dengan lutut tertekuk dalam selimut. Dahinya mengernyit seperti menahan sakit. Tebakan Dida mungkin Keisya sedang mengalami yang namanya nyeri haid. Gaun pengantin yang tadi dikenakannya sudah tergeletak begitu saja di atas lantai. Dida memungut gaun itu untuk diletakkannya di atas kursi. Piyama tidur bermotif Piyo-Piyo kini melekat di tubuh mungil Keisya.

"Saya sudah selesai. Kamu nggak mandi?" tanya Dida sembari mengeringkan rambut basahnya dengan handuk.

"Mmm? Nggak usah, deh. Lemas, nggak kuat berdiri," gumamnya pelan seperti tak bertenaga.

"Yakin nggak mau bersih-bersih dulu? Muka masih cemong-cemong sama make-up itu."

Keisya mendesah panjang saat menyadari wajah putih mulusnya ternyata masih berwarna-warni seperti kanvas lukisan, hasil sapuan kuas Mbak Aruni, make-up artist ternama pilihan ibunya.

"Tolong bersihin dong, Mas," pinta Keisya sekenanya. Ia sudah tak peduli dengan yang namanya jaim atau gengsi. Toh mereka sudah suami istri, kan.

"Hah? Maksudnya?"

"Ini mukanya Kei tolong dibersihin pake cleansing balm sama make-up remover." Pintanya kali ini lebih memelas.

"Nggak, ah. Saya nggak ngerti begituan."

"Mas Did tega, ih! Ini istrinya lagi dismenore, lho. Minta tolong. Lagi tak berdaya ini."

I Can Make You Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang