Chapter 07.

651 144 12
                                        

Zee sudah berdiri tepat di depan pintu ruang BK. Laki – laki itu menarik napas dalam sebelum tangannya bergerak untuk mengetuk pintu dan mendorongnya pelan. Setelah pintu terbuka, sorot matanya langsung menangkap dua orang guru dengan gender berbeda sedang duduk untuk menunggunya.

Guru dengan gender laki – laki sudah membuat sorot mata tajam, itu mengerikan. Sedangkan Guru dengan gender perempuan menatapnya lebih santai dan senyum di bibirnya merekah begitu melihat Zee masuk.

"Permisi.., apa benar Bapak dan Ibu memanggil saya. Jika boleh tau, ada apa ya Pak, Bu?" tanya Zee dengan kalimat yang pelan dan sopan.

Guru dengan gender perempuan merespon. Dia mengangguk dan mempersilahkan Zee untuk duduk terlebih dahulu

"Benar nak, ada sesuatu yang ingin kami tanyakan. Apa benar kemarin kamu terlibat perkelahian dengan nak Rasya?" tanya guru itu.

Rasya..? Itu korban Elios.

Zee diam sejenak, kemudian mengangguk dengan ragu – ragu. "Benar Bu, saya yang melakukannya kemarin."

"Baik, terima kasih karena kamu sudah berani untuk mengakui kesalahan kamu." Guru itu mengangguk sekali. "Sebagai informasi saja, nak Rasya sekarang sedang di rawat pada salah satu rumah sakit..."

Guru itu men–jeda perkataannya. Menoleh ke arah guru laki – laki di sampingnya, dan guru laki – laki itu merespon dengan anggukkan kepala.

"..ini bukan kali pertama kamu bikin seorang siswa Bina Tara masuk rumah sakit. Kami sudah berkomunikasi dengan pihak sekolah, dan keputusannya adalah memberikan hukuman skorsing selama satu minggu."

Zee membeku kali itu, ada kilatan yang membuat otak dan tubuhnya tidak sinkron.

"Dan ini ada surat dari sekolah. Tolong nanti di berikan pada orang tua kamu ya, nak Zee," tambah guru tersebut.

Zee mengerjap, sorot matanya menatap ke arah surat di meja. "Maaf sebelumnya, apa saya boleh bertanya sesuatu, Bu?"

Kedua guru itu mengangguk secara bersamaan. "Silahkan, nak."

"Apa orang tua saya wajib hadir ke sekolah? Jika memang wajib, maka saya meminta maaf sejak saat ini. Kemungkinan besar orang tua saya tidak bisa hadir.."

Zee berhenti sejenak, membuat kedua guru itu kembali bertukar pandang.

"..dan sebagai gantinya Bapak dan Ibu mungkin bisa menambah hukuman saya. Apapun hukumannya saya akan terima Pak, Bu."

Brakk!

Suara meja yang di gebrak membuat Zee terkejut. Guru laki – laki yang sedari tadi diam sekarang sudah tersulut emosinya. "Jangan se–enaknya saja kamu, Zee!!"

"Pak! Tenang!!" tegur Guru perempuan.

"Maaf.., Bu," ucapnya menoleh ke arah guru di samping. Selanjutnya kembali menatap remaja laki – laki di bangku depan. "Memangnya kenapa orang tua kamu tidak bisa hadir?"

Zee hampir kehilangan kata – katanya, tidak mungkin dia memberitahu yang sebenarnya. Otaknya kali ini di paksakan untuk berputar, mencari kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari guru itu.

Laki – laki itu menghela napasnya, berpikir ini adalah jawaban terbaik. "Bagaimana jika di wakilkan, boleh atau tidak Pak, Bu?"

Brakk!!

Guru itu kembali mengebrak meja, kemudian tersenyum kecut. "Apa ucapan saya tidak jelas, Zee?! Kami memanggil Orang Tua kamu, jadi sudah pasti tidak boleh di wakilkan, paham!!"

Suara guru itu naik satu oktaf, lebih keras di bandingkan sebelumnya. Satu hal yang membuat emosi dari dalam tubuh Zee ikut tersulut. Laki – laki itu mulai kehilangan kesabarannya, selanjutnya Zee merasakan ada yang salah dari tubuhnya.

Distrub. (Tahap Revisi.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang