Chapter 08.

633 130 5
                                        

"Zee.."

Arzee membuka kelopak matanya perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah hamparan pasir luas dan suara deburan ombak yang jauh. Kemudian aroma air asin perlahan masuk ke dalam hidungnya. Sebuah cahaya aneh turun perlahan dan membuat pandangannya langsung memudar

"Zee..?"

Suara itu terdengar lagi, tapi anehnya yang kali ini suaranya lebih dekat. Zee mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian menjatuhkan tubuhnya diantara butiran – butiran pasir. Jemarinya perlahan meraih pasir – pasir itu, butirannya benar – benar halus, hampir tidak bertekstur.

Satu tiupan angin membuat pandangannya beralih. Zee melihat sekelilingnya, tidak ada siapapun—

Selain, hamparan pasir yang tidak ada ujungnya. Tempat itu hanya berisi pasir pasir, dan pasir. Kemudian air dingin yang tadi jaraknya jauh, sekarang mulai membasahi tubuhnya secara perlahan. Laki – laki itu berusaha untuk bangkit— tapi kakinya telah terjebak. Pasir – pasir itu menghisapnya.

Rasa panik segera menguasai tubuhnya. Dia merasa takut sekarang.

Laki – laki itu mencoba untuk melawan, tapi pasir itu juga tidak ingin Zee bangkit Semakin dia melawan, pasir itu juga semakin menghisap kakinya hingga turun tiga–empat senti.

Kemudian kepalanya mendongak, mencoba meminta tolong.

Ada sebuah siluet wanita di kejauhan.

"..Mama?"

Suara Zee tidak keluar. Matanya membulat, siluet itu benar – benar mirip dengan Mamanya.

Kemudian siluet wanita itu menoleh dan tersenyum kecil. Jantung Zee seolah berhenti berdetak kala itu. Agustine Wulandari –Mamanya– merentangkan tangannya, seolah ingin memeluk laki-laki itu. Sayangnya jaraknya masih terlalu jauh, Mama berdiri di tengah – tengah air yang terus bergoyang – goyang, sementara Zee di hamparan pasir.

Tapi anehnya Mama tidak terlihat takut dengan air itu.

Zee mencoba bangkit dari tempatnya, berhasil. Pasir yang tadi menenggelamkan kakinya sekarang sudah menghilang. Langkah kaki laki – laki itu langsung mendekat, sampai dia merasa jarak Mama sudah berada persis di hadapannya.

"Mama? Apa ini hanya mimpi, Zee?"

Satu pertanyaan yang terdengar begitu bodoh dari Zee. Kalimat itu menggema ke segala penjuru—

—dan membuat Mama tersenyum kecil. Senyum yang membuat Zee lupa bahwa tubuhnya sudah masuk ke dalam air dingin yang membasahi seluruh bagian tubuhnya.

"Kamu apa kabar, Zee?"

Mama akhirnya mengeluarkan kalimatnya. Suara Mama terdengar begitu halus, vokal yang Zee rindukan setengah mati.

"Zee baik – baik saja, kan?"

Tenggorokan Zee tercekat.

Kalimat – kalimatnya menghilang tiba – tiba. Mulutnya seolah tidak dapat terkoneksi dengan pikirannya. Zee ingin menggeleng dan berteriak. Laki – laki itu ingin memberi tahu kepada Mama bahwa setelah kepergiannya semuanya tidak ada yang baik. Dia ingin memberi tahu bahwa yang seharusnya pergi itu dia bukan—

"Jangan ya, nak. Mama udah bahagia di sini."

—wanita yang lagi – lagi tersenyum. Setelah kalimat itu, Zee baru sadar. Suaranya yang menghilang itu, bukan karena mulutnya yang tidak terkoneksi dengan pikirannya. Tetapi karena Mama yang ingin membuat Zee tidak berbicara saat itu. Wanita itu hanya ingin Zee untuk mendengarkannya.

Distrub. (Tahap Revisi.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang