Suara rintik-rintik hujan terdengar berjatuhan di atas genting. Siswa-siswi SMK Sakti Bina Bangsa tengah melanjutkan jam pelajaran terakhir mereka.
Setelah selesai berkumpul sesuai ekstra yang mereka pilih, hal itu membuat Chelia kebingungan. Ekstrakurikuler pecinta alam mengharuskan ia untuk mengikuti kegiatan pertamanya. Kegiatan memunguti sampah di atas puncak, ya, itu adalah tugas pertama sebagai pecinta alam untuk menjaga kebersihan alam sekitar. Berbeda halnya dengan Sheira yang terlihat senang karena ia sudah diizinkan oleh orang tuanya untuk mengikuti ekskul tersebut. Tak mudah bagi Chelia untuk meminta izin kepada sang ibu, Ira Maheswari.
Klunting.....
Denting ponsel terdengar. Banyak pesan masuk di ponsel Chelia dari group chat pecinta alam.
Bellinda yang melihat Chelia seperti kebingungan berusaha untuk menenangkan dengan ocehan konyolnya. Tetapi Sheira melarang Bellinda karena ia merasa bukan waktu yang tepat.
~*****~
Jam pelajaran telah usai, para siswa berkemas dan bergegas pulang. Chelia menunggu hujannya sedikit reda karena tidak membawa payung.
Duduk di halte ditemani dengan suara hujan dan canda tawa teman-temannya. Bukan semakin reda, tetapi hujan semakin hangat menyentuh jalanan. Seketika Chelia teringat dengan perkenalan ketua regunya.
Dalam hatinya Chelia menyebut nama ketua regunya, "Samudra Arsyanendra Argantara".
Laki-laki berpostur gagah yang mengenakan jaket dan mengendarai motor kesayangannya, melihat ke arah Chelia.
"Chel..." Ada yang memanggilnya. Suara yang sama, yang Chelia dengar saat perkenalan bersama ketua regu ekstra yang ia ikuti beberapa jam yang lalu.
"Iya?" Jawab Chelia kebingungan. Ia bertanya-tanya di dalam hati siapa laki-laki itu.
Laki-laki itu membuka helmnya, menyuguhkan pesonanya yang memikat. Tampak hidungnya yang mancung, kulit sawo matang yang menambah kesan maskulin, dan senyum manis yang membuat Chelia sedikit tercengang. Ternyata lelaki itu adalah Samudra, teman semasa ia TK.
"Apa perlu kenalan lagi?" Samudra mendekat sambil tersenyum tipis.
"Gak Sa, aku kira tadi siapa," jawab Chelia lirih.
Hujan yang semakin deras, membuat Chelia sedikit merasa kesal karena telah menunggu lama. Ibunya sudah berpesan jangan sampai terlambat pulang. Hal itu membuat Chelia semakin bingung bagaimana agar ia tidak terlambat sampai rumah.
Dalam benaknya "Kalau aku nerobos hujan aku bisa sakit, tapi..."
"Hujannya deres banget, ya...?" Samudra memecah keheningan.
"Ehhhh, iyaa," sahut Chelia sedikit terkejut.
Tangan berotot itu memakai jam tangan menawarkan satu setel mantel berwarna biru navy.
"Ini dipakai mantelnya," perintah Samudra.
"Hah?" Chelia kebingungan. Chelia pikir Samudra mengetahui apa isi pikirannya.
Samudra kembali menancapkan kunci motornya dan mengenakan helm.
"Ayo, aku anter pulang," ajak Samudra sambil menaiki motornya.
Chelia masih tidak percaya karena ia beranggapan bahwa mereka baru saling mengenal kembali dalam jangka waktu yang sangat lama. Chelia merasa canggung.
Awalnya Chelia sempat merasa bimbang karena mereka sudah lama tidak bertemu. Tapi, akhirnya Chelia memutuskan untuk pulang bersama Samudra.
"Kita lewat jalan tikus aja. Gak papa, 'kan?" Tanya Samudra sambil menunggu Chelia memakai mantel.
"Iya gak papa. Nanti aku bantu tunjukkin jalannya," jawab Chelia.
Menerobos di tengah derasnya hujan, melihat birunya langit yang berubah menjadi hitam membuat Chelia sedikit ketakutan. Tapi, ia mencoba untuk menenangkan dirinya.
Chelia meminta untuk diturunkan di depan gang komplek. Sebenarnya Samudra ingin mengantarkan Chelia sampai di depan rumah karena hujannya yang masih sangat deras. Tapi Samudra juga memahami setiap orang memiliki privasinya masing-masing. Jadi, Samudra mengiyakan permintaan Chelia.
"Sebentar Sa, ini mantelnya," ucap Chelia sambil mencoba melepas mantelnya.
"Gak usah Chel dibawa aja, tanggung nanti kamu tetep kehujanan sampai depan rumahnya," perintah Samudra.
"Makasih banyak Sa, besok aku kembaliin."
~*****~
Dengan tergesa Chelia melangkah menuju teras rumah. Ia bergegas melepas mantel yang dikenakannya. Suara mesin jahit mulai terdengar dari luar.
Ceklek
Chelia membuka pintu rumah. Ia disambut dengan senyum sang ibu yang terlihat sangat lelah, karena banyak pesanan.
"Ibu, aku pulang," ucap Chelia sambil meletakkan tasnya.
Orang yang disapa itu sebenarnya sedikit heran kenapa baju Chelia tidak basah padahal di luar hujan deras. Namun, ia tidak begitu memikirkan hal itu karena ia sedang fokus dengan pekerjaannya.
"Langsung mandi Chel," perintah Ira, Ibunya.
Chelia berjalan menuju ke kamar mandi untuk mandi dan mengganti pakaiannya.
Selesai menyelesaikan jahitannya, Bu Ira menyiapkan makan malam untuk anak semata wayangnya. Memasak makanan kesukaan anaknya membuat hati Bu Ira senang.
"Chel, makan malam dulu," perintah Bu Ira.
Langkah kecil terdengar menuju ruang makan.
"Ibu masak apa? Kayanya enak nihhh," Chelia penasaran, padahal matanya sudah tertuju pada sup buatan ibunya.
Chelia menyambung pertanyaannya, "Sambalnya mana, Bu?"
"Masih ada di atas kompor Chel" sahut Bu Ira.
Chelia langsung menuju ke dapur untuk mengambil sambal yang telah ibunya buat. Suasana makan malam terasa hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Tak ada satu pun di antara mereka yang membuka percakapan.
~*****~
KAMU SEDANG MEMBACA
DI ANTARA
Teen FictionHindi Chelia Armatea, gadis cantik yang hidup di keluarga sederhana. Waktu demi waktu telah ia lewati bersama sang ibu, Ira Maheswari, seorang single parent yang bekerja sebagai penjahit. Bersama ketiga sahabatnya, Chelia berbagi cerita. Mengenal S...