RADION || 50

671 70 10
                                    

Kurang dari satu jam mereka sudah sampai di sebuah lapangan luas yang disekelilingnya terdapat pepohonan rindang dan sebuah gedung tidak terpakai yang berdiri di tengah-tengahnya.

Semua pasukan Camelion yang dipimpin oleh Radion turun dari motor mereka masing-masing.

Radion menatap ke sekelilingnya. Dibelakangnya ada Raiden, Arlan, Zean, dan Daplo yang menemani lelaki itu.

"Yakin pasukan kita udah cukup dari mereka?" Raiden berbisik ke arah Radion.

"Pede aja dulu, Den." Yang menjawab malah Zean. Lelaki itu sudah siap dengan lengan bajunya yang di gulung. Menunjukkan sedikit ototnya.

"Bukan masalah pedenya, Ze. Kalo kalah kan malu juga kita."

"Udah, lo pada tenang aja." Radion melerai mereka, membuat keduanya langsung diam.

Lelaki itu lalu menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Galen nekat masuk duluan buat selametin Alula, padahal gue udah larang."

"Dia bilang, kalo sampe lima menit dari sekarang dia belum keluar juga, kita terpaksa harus masuk dan abisin mereka semua."

"Lo pada ngerti?" Anggota inti Camelion langsung mengangguk tanpa pikir panjang.

"LO SEMUA NGERTI?!" Radion lalu berteriak, mengangkat tangannya ke seluruh anggota Camelion dibelakangnya.

"NGERTI!!" Jawabnya dengan keras. Mengobarkan kekuatan mereka, agar musuh di dalam sana tahu bahwa anggota mereka juga sama banyaknya.

"Yang takut dan nggak siap bisa mundur dari sekarang," ujar Radion.

Tetapi tidak ada satupun anggotanya yang keluar dari barisan. Hal tersebut jelas sudah bahwa seluruh anggotanya sudah siap menghadapi Blidvinter di depan sana.

Radion percaya kepada anggota-anggotanya. Terlebih lagi kepada sahabat-sahabatnya yang selalu menemaninya. Seperti Raiden, Arlan, Zean, dan Daplo yang sudah menatap lurus ke depan. Siap menerjang siapapun yang berani menyerang mereka.

Rafael dan teman-teman seangkatannya yang ikut mendukungnya dari belakang. Mereka juga siap melindungi senior-seniornya jika terjadi sesuatu.

"Rad!" Suara panggilan seseorang dari kejauhan itu menggema. Semuanya sontak langsung was-was. Berjaga-jaga baik di depan, samping, maupun di belakang mereka.

Radion berjalan selangkah. Menyipit. Melihat seorang lelaki yang tengah berjalan dengan sedikit sempoyongan keluar dari gedung tidak terpakai di belakangnya.

"Galen?" Raiden pun melihat orang yang sama di depannya. Menatap sekali lagi apakah benar lelaki yang dilihatnya benar Galen atau bukan.

"Bener, itu Bang Galen," ucap Rafael persis di belakang mereka.

Radion memberikan aba-aba kepada pasukannya untuk tetap diam di tempat.

Lelaki itu lalu menatap Galen dari atas kepala sampai ujung kaki. Hanya ada beberapa luka yang lelaki itu dapatkan. Di wajah serta di bagian lengannya.

Yang paling mengejutkan lagi, mata lelaki itu terpaku kepada seorang gadis yang berjalan pelan di belakang tubuh Galen. Seperti bersembunyi karena takut.

Rambut dan penampilannya berantakan. Dan yang lebih membuat Radion kesal adalah ketika lelaki itu melihat lebam serta darah di sudut bibirnya.

Seketika tangannya mengepal kuat. Awalnya lelaki itu tidak mau maju terlebih dahulu. Tetapi melihat Alula dengan kondisi seperti itu—yang sudah dipastikan tidak baik-baik saja, membuat dirinya tanpa pikir panjang maju.

Raiden yang melihat itu langsung memerintahkan semuanya untuk berjalan mengikuti Radion, hingga sampailah mereka dihadapan Galen dan Alula sekarang.

"Len, lo aman?" Zean langsung bertanya kepada lelaki itu.

RADIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang