"Jangan terlalu bergantung pada orang lain karena tidak setiap saat mereka akan di sisimu."
~FEARFUL~
Adegan di bawah tidak untuk ditiru!! ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️•••
Suasana rumah begitu hening saat seorang gadis memasuki kediamannya. Neneknya tidak di rumah, sedang ada urusan penting.
Ia duduk di sofa sambil meletakan tas di sampingnya. Sebenarnya sudah terbiasa sendirian dan menyendiri. Namun, kejadian tadi di sekolah membuatnya butuh seseorang sebagai tempat bersandar.
Tangannya merogoh ponsel di saku dan mencari kontak salah satu sahabatnya.
"Halo!"
Allea tersenyum saat mendengar suara di seberang. "Aka."
"Ada apa, Lea?" tanya Raka lembut.
"Ke rumah, yah! Gue sendirian."
"Em ... gue masih di sekolah."
"Pulang cepett!" perintahnya penuh harap.
"Gak bisa, Lea. Ini lagi mau rapat persiapan buat pensi nanti. Lo tau 'kan sekolah lagi banyak jadwal acara, jadi anggota OSIS lagi sibuk-sibuknya."
"Oh!"
Sambungan terputus saat Allea memutusnya sepihak. Ia kembali mencari kontak lain dan memilih menghubungi Riko. Berulang kali meneleponnya, aktif tapi tak diangkat. Hingga panggilan ke sepuluh baru ia menyerah. Allea mencoba peruntungan terakhir, yaitu menghubungi Jeff dan hasilnya sama saja. Bahkan nomornya sedang tidak aktif. Ia yakin Jeff pasti memasang mode pesawat di ponselnya karena saat ini sedang belajar untuk persiapan OSN tingkat nasional, setelah berhasil lolos di tingkat sekolah dan kabupaten.
Allea membuka aplikasi pesan. Membuat sebuah grup yang berisi dirinya dan ketiga sahabatnya. Mereka sudah lama berteman, tapi baru kali ini membuat grup chat.
Fearful
Nama grup yang dibuatnya. Fearful berarti, takut. Allea punya banyak ketakutan, salah satunya kehilangan sahabat terbaiknya. Mungkin dengan judul grup ini, membuat mereka bertiga tahu maksudnya tanpa dijelaskan.
FEARFUL
Me
|Guys, gue capek!|
Gadis itu mengirim satu chat ke grup yang baru dibuatnya. Tidak ada yang menjawab, tiga kontak lainnya sedang offline.
Allea membaringkan tubuh di sofa sambil memegangi kepala yang pusing. Memang sejak tadi kepalanya berdenyut. Ia berusaha menahannya, tapi semakin lama semakin sakit. Nafasnya tiba-tiba memburu, membuat sesak di dada. Dalam hati berdoa, berharap ada yang datang menolongnya. Hingga satu jam ke depan, tidak ada yang datang.
Ia bangkit perlahan, berjalan gontai menuju dapur untuk melepas dahaga. Setelah minum, Allea terduduk di lantai dapur. Meratapi nasib buruknya. Matanya memerah menatap sekeliling yang sepi.
Ambil!
Sebuah kata muncul di benaknya saat tatapannya berhenti tepat di tempah sampah plastik. Tedapat gulungan panjang tali rafia tak terpakai. Entah dorongan dari mana, ia mengambilnya. Kemudian bangkit dan meraih pisau yang terletak di meja dapur.
Matanya berkaca-kaca menatap dua benda di tangannya. Dengan cepat menyeka matanya agar tidak menangis. Ia segera menuju kamar.
Pandangan Allea menyisir seluruh ruangan tidurnya. Tempat yang menjadi saksi bisu betapa seringnya ia menangis. Langkahnya gontai memasuki kamar.
"Gue udah ga sanggup lagi! CAPEKKK!!!" teriaknya sambil menjambak rambut sendiri.
Ia menarik kursi belajar mendekati jendela. Lalu berdiri di atasnya dan mengikat tali di ventilasi atas jendela. Netra coklatnya memandang hasil karya tangannya. Tali itu sudah terikat kuat dengan bentuk melingkar. Bibirnya tersenyum miris, memikirkan tali itu sanggup menopang berat tubuhnya atau tidak.
"Lo beneran mau ngelakuin itu Allea?" bisiknya pada diri sendiri. Tangan memegang leher, lalu menggeleng kencang saat bayangan tali itu mencekik batang lehernya.
Allea takut, tapi ada dorongan dalam dirinya untuk melakukan itu. Batinnya bergejolak. Ia kembali menjambak rambut untuk menyadarkan diri.
Pandangannya beralih ke pisau dapur yang sempat diletakannya di lantai. Gadis itu turun dari kursi dan mengambil benda tajam tersebut. Ia memejamkan mata, lalu menggores ujung benda itu ke kulit lengan kirinya dan dilakukan berulang kali. Tidak sampai berdarah, tapi meninggalkan bekas-bekas goresan kemerahan di kulit putihnya.
"Ahkk," ringisnya saat merasa perih di kulit.
Pisau langsung ia buang sembarangan saat darah mulai keluar. Allea menyekanya dengan seragam sekolah yang belum sempat diganti. Tak ada tangisan. Gadis itu menggigit bibir bawah untuk menahan sakit di lengannya sambil mencengkram erat lukanya dengan tangan yang satunya.
"AHKK, Lea jangan nangis!! Lo bukan cewek cengeng."
Allea semakin tidak bisa mengendalikan diri. Keinginan untuk menyakiti diri sendiri semakin kuat. Ia tak lagi mencengkram lengannya, melainkan mencakar luka bekas goresan pisau yang baru dibuatnya.
Kepalanya mendongak menatap ikatan tali di atasnya. Gadis itu kembali naik ke atas kursi. Memegang tali itu dan memasukan kepalanya. Kini tali tersebut melingkar di leher jenjangnya. Matanya ia pejamkan, mengumpulkan niat untuk menjatuhkan kursi tempatnya berpijak.
Siapkah aku menghadap Tuhan dalam keadaan seperti ini?
Kata itu muncul di hati kecilnya. Meski bukan orang yang religius, Allea tak pernah berani menyalahkan Allah atas takdir-takdir buruk yang menimpanya. Selama ini tidak pernah terlintas dipikirannya untuk bunuh diri, tapi berbeda dengan hari ini. Keinginannya untuk mengakhiri hidup sangat besar.
Bayangan orang tuanya muncul di pikirannya. Jelas di surga kelak mereka tidak akan bertemu jika ia mati dalam keadaan seperti ini. Kenangan dengan Orang-orang disayanginya yang masih hidup, terputar di otaknya. Adik, nenek, dan sahabat-sahabatnya.
Bukankah mereka bisa jadi alasan Allea untuk tetap bertahan?
Ia pun takut dengan siksaan yang lebih berat jika mati dengan cara yang dibenci Tuhan.
Segera gadis itu melepas tali di lehernya. Kemudian turun dari kursi. Tubuhnya lunglai, terduduk lemah di lantai. Ia merasakan jantungnya berdetak cepat dan pernafasannya tersendat-sendat. Keringat mengalir deras di dahi dan tangannya gemetar. Gugup, gelisah dan tegang tiba-tiba dirasakannya tanpa sebab. Allea memukul dadanya yang sesak.
Air mata yang sejak tadi di tahannya tumpah. Ia menangis meraung-raung merasakan sakit.
Perlahan ia merangkak mendekati meja di samping kasur. Tangan gemetarnya berusaha membuka laci. Di dalamnya terdapat sebotol obat dan beberapa tablet lainnya. Sebab tak kuat berdiri, membuatnya kesulitan mengambil obat di dalam laci.
Sebuah botol plastik berwarna putih berhasil diraihnya. Ia membukanya dengan tergesa dan menuangkan puluhan butir obat ke telapak tangan. Tanpa pikir panjang, Allea memasukan semuanya ke dalam mulut. Kemudian meminum segelas air yang selalu ada di kamarnya. Beberapa berhasil ditelan bulat-bulat, ada juga yang ia buang dari mulut karena tak sanggup menelannya. Gadis itu tidak bisa lagi berpikiran jernih karena perasaan panik dan takut membuatnya menjadi seperti itu.
Tenggorokannya terasa pahit, tapi entah efek obat atau hanya sugesti, Allea mulai merasa membaik.
![](https://img.wattpad.com/cover/325375977-288-k84609.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
FEARFUL (End)
Teen FictionAlleana Zanara dengan segala permasalahan sosialnya. Si gadis introvert, pendiam, dan anti sosial. Perpaduan sempurna yang membuatnya tidak bisa bergaul. Beruntungnya ia masih memiliki sahabat. Sebagai orang yang sulit bersosialisasi, kehidupan Alle...