Aku masih ingat betul saat tiba-tiba duniaku mulai dipenuhi warna.
Saat itu adalah pagi Senin. Aku tidak pernah mengekspektasikan satu warna pun dalam hidupku. Semenjak rutinitas yang kujalani tak pernah lepas dari pentingnya uang. Semua punya keterkatian dengan uang, dan uang. Yang kurasa pun, memang tak ada yang lebih penting lagi dari uang. Filosofi berjudul 'Uang tak membawa kebahagiaan' itu hanyalah omong kosong bagiku.
Kalau memang kebahagiaan adalah ilusi rasa hangat di hati, maka uang telah membawa kebahagiaan kepadaku selama ini.
Sebelum pagi Senin waktu itu. Padahal gerakanku hanyalah sebatas refleks. Menangkap seseorang yang nyaris saja jatuh di sebelahku karena tersandung oleh langkah kakinya sendiri. Melihat keadaannya waktu itu, aku bisa menebak saja kalau ia kesiangan. Mulai dari dasi yang belum rapi hingga rambutnya yang mungkin jadi makin berantakan akibat angin dan larinya yang terburu-buru.
Ia membungkuk padaku berulang kali sebagai ucapan terima kasih. Ia adalah orang pertama yang dapat membungkuk sekencang itu di hadapanku. Luar biasa. Bahkan anak buah yang membuat kesalahan fatal di kantor kemarin tidak membungkuk sekencang dan sedalam ini.
Aku tidak tahu.
Apa ini karena diriku yang merasa kurang dihormati di kantor? Atau aku yang menganggap orang di hadapanku ini lucu dengan tingkah gelagapannya?
Langkah kakinya waktu itu, telah membawa warna baru dalam hidupku yang biasa kelabu.
Alisku naik tertarik selama perjalanan ke kantor. Bahkan membuatku ditanyai berulang kali oleh para pegawai. Atau bisa jadi juga karena aku merasa bersemangat untuk mewawancarai calon-calon pegawai magang yang akan datang satu jam lagi?
Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti!
Ada yang aneh dariku hari ini.
Terutama ketika pegawai dengan suara hak sepatu yang sama itu masuk ke dalam lantai di mana ruang wawancara berada. Aku tak kuasa untuk mengalihkan perhatianku dari pegawai yang mengajakku berbicara. Ia berpenampilan lebih rapi kalau dibandingkan dengan tadi pagi.
Ah, Ya Tuhan.
Aku dibuat sesak napas sampai lusa tiba. Dua hari telah ku habiskan memikirkan sosok itu. Sampai ia berubah jadi siluet dan aku nyaris lupa bagaimana rupanya. Bagaimana suara hak sepatunya. Aku tak akan pernah tahu bagaimana cara mengatasi sesaknya napasku hingga akhirnya aku berhadapan dengannya lagi.
Aku benci.
Aku benci rasa yang menyesakkan hati. Aku benci rasa ini!
Oh, namun betapa cintanya aku untuk memandangnya sekali lagi.
Seperti waktu ia berdiri gugup di depan bilik divisi kami. Saat ia membungkuk untuk memperkenalkan diri dan menyapaku, aku tak bisa mendengar kalimat lain setelahnya. Telingaku penuh akan suara ombak yang menerpa kencang punggungku hingga basah kuyup. Air ombak itu menampar wajahku hingga kedua mataku tertutup. Hanya untuk kemudian dibuka agar sanggup melihat betapa warna-warninya dunia semenjak ia datang kepadaku.
Kala air laut itu lalu tergenang di belakang kakiku, aku akhirnya bisa mendengar tawa pelannya dengan partner kerjanya di dalam divisi kami.
Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan.
Betapa cintanya aku dengan senyum manisnya. Betapa cintanya aku dengan sikapnya. Betapa cintanya aku dengan kehadirannya di dalam hidupku.
Betapa cintanya aku dengan pernyataan cintanya padaku detik ini.
Kalau boleh, kalau boleh, apabila boleh.
Aku ingin menciumnya sampai kita kehabisan napas. Aku ingin memeluknya sampai kita bisa menyatu. Aku ingin terus bersamanya.
Aku ingin terus melihat senyum manisnya.
Aku ingin terus merasakan genggaman lembutnya pada ujung kemejaku. Seperti sekarang ini.
Persis seperti sekarang ini, Ya Tuhan.
"Aku benar-benar dibuat jatuh cinta denganmu." Begitu tuturnya. Ia berbisik di dalam pelukan eratku. Entah ia dapat dengar debaran jantungku yang terlalu kencang ini atau tidak. Tapi, aku sedang tidak bisa mengutarakan sedikit pun pikiranku ke dalam kalimat yang sempurna.
Apabila boleh, aku ingin memanggil namanya berulang kali. Lagi, dan lagi. Seperti sekarang ini.
Membawanya mendongak dengan sebutan lembut namanya serta tanganku yang mencakup pipinya. Mungkin terasa aneh. Mungkin keputusan ini salah. Untuk membawanya masuk ke dalam ruang arsip yang selalu sepi dengan debu dan lampunya yang jarang dinyalakan.
Pintu yang tak bisa dikunci. Tirai tarik yang terbuka.
Tanpa privasi, namun aku sanggup melindunginya di balik punggungku. Atau di balik rak arsip di dekat kita.
Aku bukan laki-laki yang hebat kalau memutuskan untuk menciummu di sini. Sekarang juga. Setelah pertengkaran kecil kita.
Namun, sore ini telah ku biarkan detak jantungku menang.
Ku bawa diriku merunduk agar bibir kita bisa mendekat. Kau pejamkan mata dan mengeratkan genggaman lembutmu di ujung kemejaku. Maka aku pejamkan mataku agar bisa merasakan kecupanmu lebih dalam lagi.
Mungkin ini salah tapi terasa benar.
Sore ini, kubiarkan setan di dalam diriku menang karena aku mengecupmu pertama kalinya di dalam ruang arsip yang gelap, berdebu, namun dengan pintu yang tak bisa dikunci dan tirainya yang setengah terbuka.
Ya Tuhan, Ya Tuhan.
Betapa cintanya aku dengan manusia dalam dekapanku ini.
TBC
a/n : Hai gais. AKHIRNYA AKU KEMBALI LAGIIIIIIIIII AAAAAAAAAAAAAAA. Tapi ini mah sungguhan gais, kemarin kemarin aku benar-benar dilanda kesibukan dan ideku lari ke mana-mana. Jadi belum ada kesempatan untuk ke sini. Ini pun aku mengetik dengan cepat agar kalian tidak menunggu terlalu lama
semoga kalian suka dengan chapter kali ini yahtunggu next chapter! Aku nggak menjanjikan update cepat tapi aku nggak akan membiarkan ini discontinued sebelum tamat.
SEE YOUUU <3
![](https://img.wattpad.com/cover/292155758-288-k375070.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ways of Falling in Love [Nanami Kento]
FanfictionMemang tidak pernah salah aku memilih untuk bekerja di kantor ini! Habisnya, gentleman yang menyelamatkanku dari terjatuh saat berjalan itu juga bekerja di sini! Meskipun ia hadir sebagai bos divisiku--tapi-- Bagaimana cara membuat seorang pria sepe...