Perbincangan Keluarga

179 23 5
                                    

Jay merebahkan tubuh di kasur di kamarnya. Ia baru saja pulang dari sekolah. Badannya secara fisik sangat lelah. Ia berniat langsung tidur tanpa mengganti baju, namun bunyi perutnya, pertanda bahwa ia lapar, memaksanya untuk bangkit ke dapur guna mencari makanan.

Suasana rumah Jay sangat sepi. Hampir semua lampu sudah dimatikan. Hanya dapur saja yang menyala. Itu pun karena ia yang menyalakan. Hal ini wajar sebab sekarang waktu menunjukkan pukul 11 malam. Seluruh anggota keluarganya beserta asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya sudah terlelap.

Jay memeriksa isi kulkas. Tidak ada makanan. Aneh. Biasanya di rumah ini selalu memiliki stok makanan yang disimpan di dalam kulkas untuk simpanan, entah itu japchae atau daging bulgogi mentah. Kimchi bahkan tidak ada. Untungnya masih ada sekotak susu di sana. Ia pun mengambilnya.

Tidak berhenti di kulkas, Jay membuka-buka lemari penyimpanan di atas pantry. Senyumnya merekah kala ia menemukan sekotak sereal yang sudah dibuka. Ia tuang isi sereal itu ke mangkuk sampai habis lalu dicampur dengan susu.

Jay beralih ke ruang tengah, tempat di mana keluarganya biasa berkumpul. Ia buka tirai yang menutupi jendela kaca di ruang tersebut. Pemandangan indah suasana malam kota Seoul menyambut matanya.

Sekadar informasi, Jay dan keluarganya tinggal di sebuah penthouse yang terletak di pusat kota Seoul. Penthouse itu digadang-gadang menjadi area tempat tinggal dengan rating harga paling tinggi di Korea Selatan. Bahkan, media menyebutkan yang bisa tinggal di lingkungan itu hanyalah orang-orang yang termasuk dalam "1% puncak piramida ekonomi" di negara tersebut. Yap. Keluarga Jay termasuk orang-orang yang berada di dalam "1%" tersebut berkat kesuksesan bisnis keluarga mereka yang kini dipimpin oleh Ayahnya. Bisnis tersebut merupakan warisan dari Kakek pihak Ibunya.

Jay mendengus miris sambil memandangi mobil-mobil yang melintasi jalanan di bawah sana. "Hari-hariku benar-benar terbalik. Malam menjadi siang. Sarapan menjadi makan malam."

Setelah menyelesaikan makan, Jay kembali ke kamar untuk mengganti baju kemudian pergi tidur.

[|  |]

Jay bangun pukul 6 pagi. Itu sudah menjadi rutinitas semenjak ia menjabat sebagai Ketua OSIS. Ia langsung pergi menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat giginya. Setelah itu, ia keluar kamar dan berniat pergi ke dapur. Tercium aroma wangi di seluruh penjuru rumahnya. Sepertinya ada yang sedang memasak di dapur.

Benar saja tebakan Jay. Di dapur sudah ada Ibunya yang sedang memasak ditemani Sang Ayah yang sedang minum kopi di meja makan.

"Tumben jam segini sudah bangun." Ujar Jay.

"Eh, hai, Jay! Mau makan apa?" Tanya Sang Ibu.

Jay duduk persis di sebelah Ayahnya. "Aku belum lapar. Nanti saja. Di mana ahjumma? Tumben Mama yang masak."

"Ahjumma sedang pulang ke kampung. Saudaranya sakit. Ia izin untuk menjenguknya selama beberapa hari." Jelas Ibu Jay.

Jay mengangguk paham.

"Tadi malam kamu pulang jam berapa?" Tanya Sang Ayah.

"Jam 11, Pa."

Ayahnya menghela napas. Perhatiannya yang sedari tadi ia curahkan pada ponsel, kini beralih pada Jay. "Kamu akhir-akhir ini sibuk melakukan apa sih Jay? Pagi atau pun malam, Mama dan Papa tidak bertemu denganmu. Jadwalmu itu melebihi jadwal kita saja."

"OSIS sedang menyiapkan acara besar, Pa. Ini acara puncak dari masa jabatanku. Kan sebentar lagi periode kali ini sudah mau habis." Jelas Jay.

"Memang acara puncaknya apa?" Tanya Ibu Jay.

"Bakti sosial. Di panti jompo." Jelas Jay lagi.

Mama Jay mengangguk-angguk paham.

"Kamu itu kenapa sih terobsesi sekali dengan OSIS? Kamu sadar tidak, akhir-akhir ini waktumu untuk keluarga jadi berkurang?" Ucap Ayah Jay.

"Aku bukan terobsesi dengan OSIS, Pa. Itu sudah jadi tanggung jawabku sebagai ketua." Jawab Jay.

"Maka itu, kenapa kamu pakai ikut-ikut OSIS segala. Untuk apa? CV? Track record? Supaya masa depanmu mudah? Ayolah Jay, kamu itu sudah tau, dibanding teman-temanmu yang lain masa depanmu sudah lebih jelas dan lebih mudah. Tidak usah terlalu berlebihan. Yang penting nilaimu bagus, sikapmu bagus, kemudian jadi penerus pemimpin bisnis Kakek."

"Jay hanya ingin melakukan apa yang Jay mau, Pa." Ujar Jay.

"Tidak pa-pa, Pa. Ketua OSIS bagus loh, Pa. Menambah reputasi anak kita. Supaya posisinya sebagai penerus tidak tergoyahkan." Ujar Sang Ibu.

"Okelah kalau reputasi. Tapi, bagaimana dengan jurusan? Bisa-bisanya kamu memilih jurusan musik dibanding bisnis. Kalau petinggi perusahaan tau, mereka pasti akan meragukanmu. Untuk itu, besok ketika kamu kuliah, kamu harus masuk ke jurusan bisnis. Kalau SMA, Papa masih beri kelonggaran, kalau kuliah, Papa tidak akan lagi beri kamu kebebasan." Ucap Papa Jay tegas.

"Pa, Ma, cita-cita Jay kan jadi pianis. Jay ingin suatu saat nanti menyelenggarakan resital Jay sendiri. Bisnis biar Kak Jin saja yang ambil alih."

"Sembarangan kamu! Itu sudah menjadi takhtamu Jay. Jin kan anak dari adik Mamamu. Dibanding dia, posisimu tentu lebih kuat. Apalagi sekarang Papa yang memimpin perusahaan. Soal resital itu hal mudah, Jay. Kamu bisa melakukan resital di mana pun, kapanpun, jika kau sudah sukses memimpin perusahaan nanti. Kau bisa menjadi siapapun yang kau mau dengan kekuasaan itu. Orang-orang akan lebih segan padamu."

Jujur Jay lama-lama jengah. Perbincangan di keluarga ini tidak jauh-jauh dari bisnis, perusahaan, penerus. Tidak pernah kedua orang tuanya membahas apa yang dia suka, apa yang dia mau, prestasi yang sudah ia torehkan, bahkan pujian pun sukar ia dapatkan dari mereka.

"Sudah ya, Jay mau siap-siap sekolah."

"Ayo Papa antar, kebetulan acara Papa pagi ini searah dengan sekolahmu."

"Jay berangkat sendiri saja." Ucap Jay ketus sambil melangkah pergi meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamarnya.

"Anak itu tidak pernah tahu diuntung!" Ucap Sang Ayah sebal.

[|to be continued|]

An Impasse | Sullyoon JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang