"Tulun, Om!"
Afia yang berseru meminta turun dari gendongan, membuat Nessa menoleh ke arah sumber suara. Rupanya, Gibran dan ketiga anak itu sudah kembali. Di tangan mereka sudah ada masing-masing secontong es krim.
"Mau jalan sendiri?"
"Iya."
Gibran segera menurunkan Afia dari gendongannya. Dengan kaki kecilnya, gadis cilik itu berjalan menyusul Kyla dan Lexa, lalu ikut duduk di kursi panjang--kursi yang sama dengan yang diduduki Nessa.
Ketika perhatiannya teralih dari ketiga anak itu, di depannya saat ini sudah ada satu cone es krim rasa cokelat.
Nessa mendongak, menatap si pemberi.
"Buatmu," kata Gibran tersenyum simpul.
"Buat ... aku?"
Gibran mengangguk. "Sengaja aku beliin yang varian cokelat untukmu."
Pandangan Nessa berpindah pada ketiga keponakannya. Mereka memegang es krim dengan tiga rasa berbeda strawberry, cokelat, dan vanilla dalam satu contong.
Es krim itu memang dikhususkan untuknya karena dia tidak terlalu menyukai varian strawberry dan vanilla. Tapi, makan es krim di tempat seperti ini bersama ketiga keponakan kecilnya sepertinya bukan pilihan yang tepat.
Ini mungkin agak sedikit ... memalukan.
Nessa kembali menoleh ke depan. Namun, baru berselang sepersekian detik, dia berjengit. Sesuatu yang lembut dan dingin menempel di ujung hidungnya. Dia sontak menatap si pelaku yang sengaja mendekatkan es krim itu hingga menyentuh hidungnya.
Senyum Gibran terkembang lebar hingga memperlihatkan barisan giginya yang rapi. Sudut mata laki-laki itu sampai berkerut dalam karena melihat wajah Nessa yang tampak lucu.
Dijaili seperti itu, alih-alih ikut tersenyum, Nessa justru berusaha keras memasang wajah datar. Dengan gerakan tenang, diusapnya es krim yang menempel itu dari hidungnya.
"Aku tahu yang ada di pikiranmu. Nggak ada yang aneh kamu makan es krim di sini, apalagi sama keponakan sendiri," kata Gibran masih dengan senyumnya yang belum hilang.
Pada akhirnya Nessa menerima es krim itu, lalu berkata pelan, "Terima kasih."
Gibran hanya tersenyum sebagai balasan. Laki-laki itu lantas merunduk. Tangannya menepuk lembut pipi Nevan yang lelap dalam tidurnya. "Si Tukang Molor belum bangun juga," gumam Gibran gemas.
Nessa hanya melirik sekilas. Padahal baginya, Nevan yang tidur pulas justru sedikit memberikan keuntungan untuk mereka saat ini. Setidaknya kerepotan mengurus keempat keponakannya berkurang satu. Apalagi, mama mereka hingga saat ini belum juga kembali. Entah apa yang sebenarnya dilakukan kedua kakaknya itu sampai selama ini.
"Om Jib, Adek Afia nih, belepotan banget!" lapor Kyla tiba-tiba.
Nessa dan Gibran spontan menoleh. Gadis kecil itu penuh dengan noda es krim di kedua pipi mungilnya.
"Astaga, anak orang!" Gibran buru-buru mendekat. "Tisu di mana, sih?"
"Ada di sini," jawab Nessa cepat. Tidak peduli Gibran sedang bertanya pada siapa. Nessa sudah menghabiskan es krimnya. Dia segera membuka tas bayi yang ada di sebelah kanannya, lalu mencari tisu yang tadi sempat dibuka kakaknya. Begitu yang dicarinya ketemu, sebungkus tisu kemasan travel pack itu diangsurkan pada Gibran.
"Udah belsih, Om," cicit Afia dengan nada ceria setelah noda di pipi dan kedua tangannya sudah dibersihkan Gibran.
"Iya, dong. Siapa dulu yang bersihin?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Inertia
Ficción GeneralSelalu ada banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran seorang Gemintang Kanessa Adhitama. Apa? Mengapa? Lalu, bagaimana?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya seakan seperti milyaran bintang yang mengelilingi pusat galaksi. Namun...