Lima

4.2K 339 136
                                    

Titik-titik air mulai turun dari atas. Rintiknya semakin rapat dan tajam. Orang-orang yang berjalan di trotoar itu mempercepat langkahnya, mencari tempat berteduh. Dalam hitungan detik, pandangan di luar mengabur. Kaca jendela bus Metrotrans ini sudah penuh dengan tetesan air yang mengular ke bawah.

Nessa mengusap kaca bagian dalam yang mulai mengembun. "Aku nggak bawa payung," katanya pelan, memberitahu Magani yang duduk di sebelahnya.

Pulang bersama Magani dengan menaiki bus seperti ini di luar rencana Nessa. Tadi pagi, Nessa berangkat bersama Indira yang semalam menginap di rumah Ayah Ibu karena sang suami dinas ke luar kota. Rumah Indira searah dengan kampusnya.

Rencananya saat pulang dari kampus, Nessa akan membonceng motor Magani. Hari ini, dia tidak ada jadwal pelatihan bersama dosen yang membimbingnya untuk menghadapi kompetisi ON MIPA. Magani tidak bilang kepadanya jika temannya itu tidak membawa motor karena tengah diservis. Mau tidak mau, dia harus mengikuti Magani naik bus ini untuk mengantar mereka sampai ke tujuan. 

"Payungku lumayan lebar. Jadi, pas buat kita berdua," terang Magani kemudian.

Nessa mengangguk. Di dalam tas ransel miliknya ada jas hujan yang sudah dia persiapkan sebelumnya. Namun, dia tidak mungkin memakai jas hujan itu sepanjang perjalanan menuju komplek rumahnya.

"Aku dapat quote menarik dari buku yang kubaca." Tiba-tiba Magani kembali bersuara.

Nessa menoleh. "Quote menarik?"

Magani bergumam pelan. "Keadaan apa pun yang kamu jalani saat ini, coba ... carilah sisi terbaik di baliknya," kata Magani menatap pada titik-titik air hujan yang turun dengan cepat. "Semalaman aku mikirin kalimat itu. Aku coba bikin list dari sisi-sisi terbaik itu. Aku baca ulang. Aku timbang-timbang. Sampai akhirnya, aku bisa tersenyum sendiri."

Nessa memilih diam mendengarkan. Ini mungkin salah satu hal yang membuat Magani nyaman berteman dengannya. Dia bisa menjadi pendengar untuk ribuan kata yang diucapkan oleh temannya itu.

"Selama ini aku kesel sama Papaku. Tiap tahun, Papa selalu nyari rumah kontrakan baru, pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Itu bikin aku capek. Capek karena alasan Papa terlalu konyol."

Sejak mama Magani meninggal dunia lima tahun lalu, Magani dan papanya harus hidup berpindah rumah kontrakan setiap tahunnya. Mereka hidup di rumah kontrakan bukan karena tidak memiliki rumah sendiri. Kata Magani, itu adalah cara papanya untuk menyembuhkan hati selepas kepergian istri yang dicintainya. Papanya tidak bisa tinggal di rumahnya sendiri karena setiap sudut rumah mereka selalu mengingatkan akan sosok yang dikasihinya.

"Tapi, setelah aku bikin list sisi-sisi terbaik itu, sekarang pikiranku mulai berubah. Pertama, aku jadi bersyukur karena dengan begitu, papaku nggak bakalan mudah ngegantiin sosok mamaku dengan yang lain, jadi aku nggak perlu khawatir dengan kemungkinan datangnya calon mama baru di rumah kami," ungkap Magani pelan. "Kedua, sekarang rumah kontrakanku dekat sama rumahmu. Kita jadi sering berangkat dan pulang bareng-bareng. Aku bisa main ke rumahmu dan kamu bisa datang ke rumahku. Aku bakalan minta ke Papa buat perpanjang kontrak biar kita tetep barengan."

Magani terus mengungkapkan apa sisi-sisi terbaik yang dia buat itu. Sementara, Nessa hanya bergeming mendengarkan. Diam-diam, Nessa mencatat baik-baik kutipan dari Magani itu di dalam hatinya.

"Kita hampir sampai," beritahu Nessa setelah obrolan Magani berakhir. Di luar, hujan sudah mulai mereda. Menyisakan rintik-rintik halus yang turun beriringan.

Magani melongok ke arah jendela. Saat dilihatnya halte tujuan sudah tampak di depan sana, dia berujar, "Iya, bener. Cepet juga ternyata, ya? Keasyikan ngobrol, tahu-tahu kita sudah sampai tujuan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

InertiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang