Sebelas

1K 245 51
                                    

Setelah melalui revisi beberapa kali, skripsi yang ditulis Nessa akhirnya disetujui oleh dosen pembimbing. Fokus Nessa yang terganggu beberapa waktu belakangan ini menyebabkan perjalanan menyelesaikan skripsinya itu benar-benar terlambat dari waktu yang direncanakan. Selama ini, Nessa hidup dalam rencana-rencana yang tersusun rapi. Kata terlambat tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, kali ini, dia seperti bukan dirinya.

"Ini saya ACC dulu, habis ini siapkan untuk sidang skripsi ya, Sa," ucap Prof. Toro, dosen pembimbing skripsi Nessa, saat konsultasi di ruangannya. "Kalau ada yang masih perlu direvisi, nanti habis sidang saja."

"Makasih, Prof," balas Nessa seraya menerima draft skripsi yang diserahkan kembali oleh Prof. Toro.

"Setelah lulus nanti, rencana mau lanjut ke mana? Mau ke luar negeri atau masih di kampus ini?" tanya Prof. Toro kemudian.

Perlu beberapa detik bagi Nessa untuk menjawab pelan, "Saya masih belum tahu, Prof."

Jika sebelumnya dia ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Keinginan itu entah mengapa sudah tidak sekuat dulu saat dia mengutarakan kepada ibunya waktu itu. Padahal ayah ibunya tidak lagi menahannya jika dia memilih kuliah di luar negeri.

"Nanti bisa daftar beasiswa LPDP dulu saja sebelum daftar kampusnya, Sa," saran Prof. Toro.

Nessa mengangguk singkat. "Iya, Prof."

Semula, Nessa berencana akan wisuda pada bulan Februari tahun ini. Namun, rencananya itu meleset jauh. Dia bahkan harus melanjutkan ke semester genap untuk merampungkan skripsinya. Ini sudah memasuki awal bulan Maret, mau tak mau dia terpaksa baru bisa mengikuti wisuda pada bulan September mendatang. 

Setelah sesi konsultasi dengan Prof. Toro berakhir, Nessa bergegas keluar dari ruangan dosen pembimbingnya itu. Baru saja dia menutup pintu, seseorang yang sudah menunggu di luar tiba-tiba berdiri.

"Udah selesai ya?" tanya perempuan berhijab pashmina itu pelan.

Nessa mengangguk pendek. "Iya."

"Berarti sekarang giliranku."

"Silakan."

Nessa segera menyingkir dari daun pintu yang baru saja ditutupnya, menyilakan perempuan itu masuk ke ruangan Prof. Toro. Meski tidak banyak kenal dengan mahasiswa di kampus ini, Nessa lumayan tahu siapa saja yang menjadi mahasiswa bimbingan Prof. Toro. Dia belum pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Dilihat dari wajahnya, sepertinya perempuan itu seumuran dengannya, artinya bukan mahasiswi tahun pertama yang hampir semua tidak diketahui Nessa.

Nessa baru mengetahui siapa perempuan itu saat dia menyapa Prof. Toro.

"Assalamu'alaikum, Papa."

Terdengar nada keterkejutan dari Prof. Toro. "Hanin?! Kenapa nggak bilang ke Papa kalau mau pulang hari ini?"

"Kan biar jadi kejutan buat Papa. Salamku dijawab dulu dong, Pa."

"Wa'alaikum salam."

Nessa memilih berlalu dari ruangan Prof. Toro, meninggalkan ayah dan anak itu yang tengah melepas rindu karena lama tidak bertemu.

***

Nessa tidak pernah menyangka akan memasuki fase konyol seperti ini.

Dua Minggu lalu, entah angin dari mana tiba-tiba saja dia meminta pada Arion untuk memasukkan ke dalam grup WhatsApp yang anggotanya ada keluarga Gibran. Namun sayangnya, yang dia harapkan muncul di grup, tak kunjung menunjukkan penampakannya. Selama dua Minggu itu, Gibran tak pernah sekalipun masuk untuk menanggapi apa pun yang dibagikan keluarga di grup itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

InertiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang