9

1.7K 39 1
                                    

Hari ini, tidak ada yang spesial. Hanya ada seorang pria paruh baya dengan wajah merah menahan amarah sedang memarahi Devano hampir satu jam. Devano heran, kenapa pria tua bangka ini tidak kelelahan. Berulang kali Devano hanya bisa menghela napasnya.

"Apa kau mendengarkanku?!" gertaknya.

Devano melengos. "Ya." jawabnya singkat.

Pria itu kesal dan lelah karena Devano seperti meremehkannya. Devano memang meremehkannya, karena perusahaan pria itu tak akan maju jika tidak ada perusahaan Devano. Devano bisa saja membuat surat pernyataan bahwa dia akan memutuskan kontrak dengan perusahaan tersebut, tetapi Devano masih bermurah hati.

Pria tua itu kemudian keluar dari ruangan Devano dengan diikuti oleh ajudannya. Devano menghela napas berat. Dia duduk di atas kursi, di depan meja dengan kertas-kertas yang tercecer. Lagi-lagi dia menghela napas berat.

* * * *

Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Waktunya Devano pulang. Dia sampai di rumahnya pada pukul enam sore. Terjebak macet saat pulang kerja membuat dia semakin lelah.

Ia berjalan ke arah Lily dan memeluknya dari belakang. Rindu. Itu yang ia rasakan. "Saya lelah," ujarnya ketika Lily bertanya ada apa dengan dirinya.

Lily tersenyum manis dan menepuk kepala Devano pelan. "Lucu,"

Devano membalikkan badan Lily, hingga gadis itu sekarang berhadapan dengan Devano. Dia sedikit terkejut ketika laki-laki itu mencium bibirnya lembut. Semakin dalam sehingga mereka berdua larut dalam ciuman tersebut.

Devano menurunkan ciumannya. Dia mencium leher Lily dengan sensual. Lily meremas bahu Devano. Merasa geli karena sebelumnya dia tidak pernah dicium di bagian leher.

Lily menggigit bibir bawahnya ketika Devano menggigit kecil lehernya. Tidak begitu sakit, namun sensasinya mulai menjalar ke seluruh tubuh.

"Devano," erangnya. Devano mencium singkat bibir Lily dan mengelus rambutnya, kemudian tersenyum.

"Saya selalu tidak tahan jika bersamamu, manis." bisiknya dengan suara berat.

Telinga Lily memerah. Dia tersipu. Devano terkekeh dan mencium pipi gadis itu.

"Apa kamu sudah mandi?" tanya Devano. Lily mengangguk.

"Bagaimana dengan makan?" Lily menggeleng. "Lily cuma mau makan Devano," ujarnya pelan, hampir tak terdengar oleh Devano.

Devano berbalik dan menaikkan salah satu alisnya. "Apa?"

"Ti-tidak! Tidak ada apa-apa."

Duh! Lily menepuk dahinya sendiri. Bisa-bisanya dia keceplosan. Pasti Devano sudah berpikiran macam-macam. Benar saja, Devano langsung mendekati dan menggendongnya bak anak kecil.

Lily tersentak. Devano menatapnya lekat. "Apa yang kamu ucapkan, tidak bisa ditarik kembali, manis." Setelah itu Devano mencium bibir Lily kembali.

Laki-laki itu mengelus paha Lily, namun setelah itu gadis itu menangis. Devano tersentak. Dia menangkap wajah Lily dan menatapnya khawatir. "Kenapa sayang? Ada yang sakit?"

Lily menggeleng. "Lily, belum siap …." cicitnya.

Devano terkekeh. Dia mengangguk mengerti. Dia kemudian mendudukkan Lily di atas meja dan mulai menenangkannya. "Tatap saya, sayang."

Lily mengangkat wajahnya dan menatap Devano. Laki-laki itu tersenyum lalu mengelus rambut Lily. "Tidak apa-apa. Saya akan menunggumu, meskipun sebenarnya kita sudah pernah melakukan itu." Devano terkekeh kembali.

Wajah Lily memerah. Devano yang mengetahui hal itu pun langsung mengecup kening sang kekasih. "Saya hanya bercanda. Saya akan mandi dulu ya. Setelah itu kita makan malam bersama."

"Ikutt."

"Ikut? Kamu mau ikut dengan saya mandi bersama?"

"Eh, bukan itu maksudnya ihh."

"Haha, kamu selalu imut. Jangan mengada-ada. Saya tidak akan mandi terlalu lama."

Setelah itu Devano melepas setelan jasnya dan mulai masuk kamar mandi. Lily duduk di salah satu sofa dan memegangi dadanya dengan jantung yang masih berdetak kencang. Benar-benar tidak aman untuk hatinya.

* * * *

Malam telah tiba. Setelah makan malam, mereka menuju kamar dan mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Devano masih sibuk mengutak-atik kertas yang berantakan itu. Sedangkan Lily berulang kali menghela napasnya.

Handphone Lily berdering, pertanda telepon masuk. Lily menjawab panggilan telepon tersebut dan langsung mengetahui siapa orang itu.

"Dean!"

Devano menolehkan kepalanya ketika gadisnya itu memanggil nama lelaki lain. Cemburu? Mungkin. Tapi tidak terlalu menggebu-gebu.

"Ah ya, aku juga merindukanmu." ucap Lily.

Devano memutar malas bola matanya. Mungkin Lily sedang membicarakan tugasnya atau sebagainya ….

"Besok? Entahlah. Aku tidak tahu." Lily melirik Devano yang sedang sibuk. "Sudah dulu ya. Akan ku kabari jika aku bisa." Lily menutup panggilan telepon dan berjalan menuju Devano.

"Devano," sebutnya.

"Hm?"

"Apa Lily boleh pergi besok? Lily ingin bertemu teman lama Lily."

"Perempuan atau laki-laki?"

"Sebenarnya, dia laki-laki."

Devano melepas kacamatanya dan mengubah posisi duduknya. "Entahlah,"

"Boleh 'kan?" tanya Lily sekali lagi.

"Karena kamu sangat ingin bertemu dengannya, kenapa tidak? Kamu merindukannya 'kan."

"Devano cemburu?"

"Tidak."

"Devano."

"Jika kamu ingin pergi, pergilah. Saya tidak keberatan." Devano berdiri dari tempat duduknya dan menatap Lily sambil melipat tangannya di dada. "Nah jadi, kamu masih ingin pergi dengannya atau tidak?"

- To Be Continued -

My Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang