"Alquran nya yang di baca Humaira, bukan wajah saya yang di baca."
"Salah sendiri punya wajah kok tampan-tampan amat, gimana Humaira nggak kepincut coba?"
Humaira Naira Putri sangat menyukai guru ngajinya yaitu Ustadz Harist Nizar Albasyir, Humaira...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Umma harusnya jaga ucapan Umma pada Humaira, jangan mengungkit Anindya yang sudah tiada. Itu membuat perasaan Humaira sakit dan jangan pernah membanding-bandingkan Humaira dengan Anindya karena mereka berbeda ... Umma Harist mohon anggap Humaira sebagai putri Umma sendiri, sayangi dia seperti kedua orang tuanya menyayanginya.” Kata Harist, menatap wajah Hilya dengan tatapan kecewa.
“Harist Umma hanya memberi nasihat kepada Humaira, agar Humaira menjadi istri yang baik dan patuh kepada kamu.”
“Humaira sudah menjadi istri yang baik dan Harist begitu sangat mencintai Humaira!” ucap Harist dengan intonasi yang tegas, berlalu pergi meninggalkan Hilya menuju kamarnya.
Sedangkan Hilya hanya memandang punggung putranya dengan tatapan tak percaya, bisa-bisanya putranya itu berani melawan dirinya. Tentu, sejak putranya menikahi perempuan itu sifatnya menjadi menyebalkan.
***
PLAK!
Sebuah tamparan keras Hilya layangkan pada Humaira menantu barunya, Hilya menatap penuh kebencian wajah Humaira.
“Kamu apa kan putra saya? Hingga membuat putra saya menjadi pembangkang, atau kamu yang meracuni pikiran putra saya agar menjadi pembangkang iya?!” sebuah bentakan Hilya ucapkan, membuat Humaira tersentak kaget di sisi lain ia juga bingung, mengapa ibu mertuanya semarah ini padanya? Apakah dirinya melakukan kesalahan besar, yang membuat Ibu mertuanya itu menatapnya dengan tatapan kebencian.
Tangannya terangkat memegang pipi bekas tamparan dari Ibu mertuanya, terasa sangat sakit dan perih sekali. Mengerutkan dahinya Humaira menatap heran Ibu mertuanya. “Maksud Umma ap—” belum selesai berbicara Hilya kembali melayangkan tamparan keras di pipi sebelah kanan yang belum terkena tamparan.
PLAK!
“Jangan panggil saya Umma, saya tidak sudi perempuan seperti kamu memanggil saya dengan sebutan Umma, hanya Anindya menantu kesayangan saya yang boleh memanggil saya Umma. Perempuan murahan seperti kamu tidak pantas memanggil saya dengan sebutan Umma, menjijikan!” potong Hilya dengan amarah yang sudah tidak terkendali.
Hati Humaira mencelos sakit ketika mendengar ucapan mertuanya, kata-kata murahan yang keluar dari mulu seorang Ibu dari suaminya sungguh menyakitkan hatinya. “Maafkan Humaira kalau Humaira ada salah sama Um—”
“Sudah saya bilang jangan panggil saya Umma, kamu mau saya tampar lagi?!” geram Hilya menatap nyalang wajah Humaira.
“Maaf...” lirih Humaira, air matanya mengalir begitu saja dari pelupuk matanya, sakit sekali rasanya sehingga dirinya tak bisa berkata-kata lagi. “Mas Harist sakit sekali rasanya...” batin Humaira, menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah mertuanya.