"Bawa kekasih kamu ke atas."
Axelle menaikkan alisnya begitu sang Papa tiba-tiba memerintahkannya melakukan hal itu. Namun tak butuh waktu lama bagi Axelle untuk terkekeh paham. Sepertinya Papanya menyadari kalau Cahaya tak segera ditenangkan nasibnya akan dalam bahaya.
Laki-laki bertato itu menaruh pion caturnya kemudian bergegas membangkitkan diri, berjalan menuju sofa dimana para perempuan tengah berada. Tanpa berkata-kata Axelle langsung menggendong Arelia, membuat semua pasang mata sontak tertuju padanya.
Tak terkecuali Arelia, gadis itu melotot kaget sembari melingkarkan kedua lengannya di leher Axelle agar tidak terjatuh. "Abang ngapain?"
"Udah malam, kita istirahat," jelas Axelle yang kemudian membawa Arelia menaiki undakan tangga.
"Are mau di bawa kemana, Bang?" Teriak Cahaya merasa kecolongan.
"Udah Ma, biarin. Siapa tahu mereka mau bikinin Mama cucu," kelakar Alexa.
Mendengarnya tentu saja membuat Cahaya panik. Dia memang ingin sekali buru-buru mendapatkan cucu tapi bukan berarti dia akan diam saja kalau anaknya mengauli anak gadis orang yang notabennya belum memiliki hubungan sah dengannya.
"Bang jangan, kalau mau nganu harus nikah dulu! Astagahh!!" Cahaya hendak berlari menyusul namun Danesh tiba-tiba saja mencekal pinggangnya, tak membiarkannya lepas sedikit pun. "Apaan sih, Mas Dan?"
"Kita juga harus istirahat," tukas Danesh.
"Itu anak mu mau macem-macemin anak orang loh, Mas! Sebagai orang tua kamu harusnya menjauhkan anak mu dari perbuatan dosa."
"El, udah dewasa, Ya. Dia tahu batasan."
"Masa sih?" Cahaya memandang suaminya dengan pandangan mencela. "Siapa yang dulunya suka nyosor-nyosor Aya sebelum nikah sampai hampir kebobolan?"
Danesh berdeham kaku, kenapa Cahaya suka sekali mengungkit kejadian dulu sih? Danesh 'kan khilaf. Laki-laki paruh baya itu lalu melirik anak gadisnya yang ternyata masih setia memandangi mereka.
"Kamu juga istirahat, Al. Sudah malam." Sejurus kemudian Danesh mengajak paksa Cahaya memasuki kamar mereka. Sama sekali menghiraukan pekik penolakan istrinya.
Dan kini hanya tersisa Alexa yang cuma mampu terbengong-bengong, melirik sekitar yang rasanya tiba-tiba tak berpenghuni. Sumpah dia di tinggalkan sendirian begitu saja?! Mana udah malam lagi. Alexa 'kan juga ingin ditemani.
Meratapi nasib, Alexa pada akhirnya terpaksa mematikan televisi dengan bibir mengerucut. Lebih baik tidur saja deh, toh tidak ada yang mempedulikannya sama sekali.
"Nasib jomlo gini amat," dumelnya sambil melangkah memasuki kamar dengan langkah lunglai.
***
Axelle membaringkan Arelia ke atas tempat tidur kemudian menutupi separuh tubuhnya dengan selimut. Setelahnya, laki-laki itu menyusul. Berbaring miring menghadap Arelia serta menaruh sebelah tangannya di atas perut Arelia.
Arelia meremang geli saat merasakan rambut Axelle menggelitik sisi wajahnya. "Abang," panggilnya.
"Sebentar saja," balas Axelle dengan mata tertutup. Laki-laki itu semakin merapatkan diri, menghirup aroma Arelia yang begitu menenangkan. Axelle tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Selama ini dia tidak merasakan hal yang sama pada perempuan lain. Hanya Arelia yang memiliki efek sedemikian rupanya. Hanya dengan melihatnya serta merasakan suhu tubuh gadis itu di sekitarnya mampu membuat Axelle mengerti apa arti sesungguhnya dari ketenangan.
Yang sialnya, membuat Axelle malah semakin tidak puas. Dia ingin terus berada di dekat Arelia, memeluk dan meraih ketenangan itu berkali-kali lagi.
"Babe," panggil Axelle lemah.
"Iya, Abang?"
"Kenapa kamu tidak tinggal disini saja mulai sekarang?"
Arelia tak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Kenapa aku harus tinggal disini?"
Axelle membuka kedua matanya yang sedari tadi terpejam. "Agar saya selalu bisa melakukan ini."
Arelia langsung menutup kedua matanya saat Axelle bergerak untuk melingkupi tubuhnya sebelum akhirnya menyatukan bibir mereka. Tanpa penolakan gadis itu membuka sedikit mulutnya, membiarkan Axelle menggoda lidahnya penuh keliaran. Erangan teredam lelaki itu terdengar saat Arelia tanpa sadar mulai menggerakkan jemarinya di sekitar pinggang lelaki itu. Memberi sensasi menyengat yang membuat Axelle seakan kehilangan kesadarannya.
Merasakan nafasnya yang mulai menipis, Axelle mengurai ciumannya. Namun bukan berarti laki-laki itu akan berhenti. Sebaliknya Axelle malah dengan gesit melepas kaos oblong yang ia kenakannya. Dan seketika tubuh berotot dengan lukisan tato terlihat jelas.
Arelia amat tergoda untuk menyentuh tato namanya yang tercetak di dada Axelle. Akan tetapi sebelum dia bisa melaksanakan keinginannya, Axelle sudah lebih dulu bergerak maju. Kembali memagut bibirnya dan mencuri pasokan oksigen di paru-parunya.
Baru sampai dimana nafas mereka hanya tersisa sedikit Axelle sekali lagi mengangkat wajah, memisahkan jarak di antara mereka yang sekarang terasa menyiksa. Axelle kemudian menunduk, mengecup belahan dada Arelia yang masih terbungkus pakaian. Tapi bahkan saat sehelai kain memisahkan keduanya, Arelia masih bisa merasakan suhu panas yang mengikuti gerakan bibirnya.
Seluruh tubuhnya bergidik terutama ketika Axelle kembali bergerilya. Meremas bongkahan pantat Arelia beberapa kali.
"Baby..." lirih Axelle setelah sekali lagi meraup udara dengan rakus. Laki-laki itu menangkup wajah Arelia yang terasa panas, mengecupnya singkat sebelum kembali menjauh. Netra gelapnya tak sekali pun menarik atensi, meneliti penampilan Arelia yang kacau. Sama sepertinya nafas gadis itu terengah-engah, helaian surainya tersebar di atas bantal, terasa basah oleh peluh yang mengalir dari kegiatan mereka. Jangan lupakan wajah cantiknya yang kini memerah padam.
Dan tentu saja pemandangan indah itu membuat jiwanya terus meronta. Axelle juga bisa merasakan betapa derasnya aliran darahnya mengalir. Membuat seluruh tubuhnya mendidih seolah tengah menuntut diri untuk melampiaskan seluruh hasratnya.
Ini aneh sebenarnya. Sejak pertama kali Arelia bertandang ke rumahnya dan sejak saat itu pula Axelle tertarik padanya, dia tidak pernah segila ini. Bahkan saat bayangan gadis itu senantiasa berkelebat, Axelle tidak pernah sefrustasi ini. Tapi sekarang berbeda. Dia ingin selalu memastikan bahwa Arelia berada di dekatnya, dia ingin selalu memeluknya, mengecupnya dan melontarkan semua rasa cinta yang tersembunyi di sudut hatinya.
Ciuman mereka kembali berlanjut. Beberapa lama sampai Axelle tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di ceruk leher Arelia lalu menggeram frustasi.
Oh God, dia sudah tidak tahan lagi.
"Abang?" Panggil Arelia yang merasa heran dengan perubahan Axelle. Gadis itu menyentuh belakang kepala laki-laki itu namun hanya nafas hangat Axelle yang menjadi jawaban. "Abang, are you okay?"
"Baby, I'm sorry..." lirih Axelle sejurus kemudian.
Kening gadis itu berkerut. Kenapa Axelle meminta maaf padanya?
"Saya benar-benar minta maaf, but," Axelle lalu meraih tangan Arelia. Mengecup punggung tangannya beberapa kali sebelum akhirnya mengarahkannya kepada sesuatu yang membuat gadis itu memekik.
"I need your help, baby," sambung Axelle dengan nada memelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberry Mojito (Open Pre-order)
RomanceApa yang kamu rasakan setelah terbangun di samping seorang laki-laki dengan keadaan hampir tidak memakai apapun? Terlebih saat laki-laki itu adalah kakak dari sahabat mu sendiri! Jelas Arelia hampir gila karenanya. Apalagi semua bermula dari segelas...