BAB. 22

49.9K 4.4K 66
                                    

Arelia segera membuka matanya begitu dia merasakan seseorang berada di dekatnya. Terkejut, Arelia segera bergerak mendudukkan diri. Menatap seorang laki-laki paruh baya yang entah sejak kapan sudah ada disana. "Papa," sapanya.

Iya dia Juna, ayahnya yang tak Arelia sangka akan datang menemuinya. Laki-laki itu pastinya sudah mengetahui kejadian ini dari mulut Dityana.

"Bagaimana kabar kamu?" Juna bertanya sembari menyentuh kening Arelia dengan punggung tangannya. Sepertinya untuk memastikan apakah Arelia masih demam atau tidak.

"Baik, Pah. Demamnya udah turun dari kemarin." Sebenarnya Arelia sudah bisa pulang sejak tadi pagi toh dia hanya demam. Namun berbeda dengan Axelle, laki-laki tetap kekeh kalau Arelia masih harus mendapat perawatan intensif.

Juna mengangguk lalu menarik kursi sehingga dia bisa duduk di samping ranjang. Anehnya Arelia merasa kalau Juna sedikit berbeda hari ini, laki-laki paruh baya itu terlihat lesu dari biasanya. Kulitnya pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Juna terlihat tidak tidur semalaman.

Arelia membuka mulutnya, hendak menanyakan keadaan Juna namun terputus saat laki-laki itu sudah lebih dulu membuka suara.

"Lia, Papa minta maaf semua ini salah Papa. Papa enggak bisa jaga Mahina sehingga dia bisa terus menyakiti kamu."

"Tidak Pah, ini bukan salah Papa."

Juna terdiam sejenak. "Lia..."

Arelia bergeming, menunggu kelanjutan perkataan Juna. Meski detak jantungnya tiba-tiba mengencang, seolah bisa menebak topik apa yang akan Ayahnya bicarakan selanjutnya. Arelia tahu karena ini bukan yang pertama kalinya. Setiap kali Mahina melukainya Juna akan datang dengan ekspresi murung lalu mengatakan satu hal yang membuat seluruh harapannya musnah seketika.

"Papa tahu Mahina sudah menyakiti kamu, tapi... tapi bisakah kamu memaafkan Mahina untuk terakhir kalinya?"

Meski sudah bisa menebaknya Arelia masih bisa merasakan jantungnya berdenyut nyeri. Meski sudah menyiapkan diri Arelia tetap dirundung kekecewaan. Siapa yang tidak berkecil hati saat Ayahnya lebih memihak putri yang notabennya adalah orang yang telah menyakiti putrinya lain?

Seakan mengetahui kesedihan Arelia, Juna menangkup tangan putrinya yang masih tertutup plester bekas jarum infus. "Posisi Papa di perusahaan dipertaruhkan Lia! Kamu tahu kalau semua jalan Papa ada ditangan Denada dan Ayahnya. Jadi Papa mohon, bisakah kamu melupakan kejadian ini. Papa janji ini yang terakhir kalinya. Papa mohon, sayang!"

Rasanya Arelia ingin tertawa. Merasa miris dengan kehidupannya yang pilu. Apapun alasannya dia tidak pernah menjadi orang pertama yang Juna prioritaskan. Apa ini yang dirasakan ibunya saat Juna memilih meninggalkannya karena alasan untuk kemajuan perusahaannya?

"Apa itu jauh lebih berharga dibandingkan putri mu sendiri?!"

Secara otomatis Arelia menoleh ke arah pintu, terkejut begitu mendapati Axelle yang tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah murka. Bukankah Axelle tengah pergi untuk mengurus urusannya? Axelle lalu melangkah maju, netranya tak kunjung terputus memandang Juna dengan tajam. "Anak mu telah menyakiti anak mu yang lain namun apa yang kau lakukan? Hah! Apa sebegitu berharganya uang dibandingkan nyawa seseorang?"

"Siapa kau?" Tanya Juna marah. Dia tidak suka ketika orang asing mencampuri urusannya.

Arelia memandang keduanya dengan perasaan was-was. "Hmm, Pah ini Bang Axelle pacar aku," katanya memperkenalkan siapa Axelle.

Juna menoleh tak percaya lalu mendengus dingin. "Bahkan jika kau adalah pacar Lia bukan berarti kau bisa mencampuri urusan keluarga kami."

Axelle tertawa mengejek. "Benarkah? Apa kau tahu jika saja saya tidak mendobrak pintu kamar putri mu Arelia mungkin saja tidak bisa tertolong karena demam tinggi setelah anak kesayangan mu itu menyakitinya! Dan lihat saja, kau yang mengaku sebagai ayahnya malah datang dua hari setelahnya dan itu pun untuk meminta Arelia untuk memaafkan kejahatan orang lain?! Dimana hati nurani mu, Ayah?!"

Axelle menekan kata 'Ayah' agar Juna bisa mengerti kalau laki-laki itu sama sekali tidak pantas menyanding gelar itu. Juna bahkan tidak pantas disebut sebagai seorang lelaki. Dia hanyalah manusia serakah yang rela melakukan apapun demi memdapat kekayaan, bahkan tak terkecuali tega melukai keluarganya sendiri.

"Lancang! Apa kau tahu jika aku tidak merestui mu kau tidak bisa bersama dengan Lia?!" Ancam Juna.

"Apa kau pikir restu mu itu berguna, saat kau bahkan tak bisa berpura-pura menjadi seorang ayah yang baik?"

"Apa kualifikasi mu untuk menilai apakah aku bisa menjadi ayah yang baik atau tidak? Kau bahkan tidak mengetahui apa yang terjadi. Kau pikir kau siapa? Bahkan jika Lia menyukai mu dia tetap akan meninggalkan mu saat aku menyuruhnya untuk itu!"

Dihadapkan dengan perkataan itu jelas Axelle murka. Rahangnya mengetat dengan urat-urat yang menonjol kaku. Rasanya Axelle ingin sekali menjatuhkan kepalan tangannya saat ini juga. "Lucu sekali, tuan Junandra Dewantara. Kau pikir kau bisa mengendalikan jiwa yang jelas-jelas sudah kau lukai selama bertahun-tahun? Camkan ini bahkan seekor anjing pun bisa memberontak saat tuannya memperlakukannya dengan buruk apalagi seorang manusia yang dilahirkan dengan akal dan nurani," cemooh Axelle.

"BAJI–"

"CUKUP!!" Jeritan Arelia seketika menghentikan keduanya. "Sudah cukup!" Ulangnya

Juna tertegun, menyadari kalau dia telah menunjukkan citra buruk pada putrinya. "Lia..." panggilnya merasa bersalah.

"Babe.." Axelle hendak mendekat namun Arelia segera mengulurkan tangan untuk menghentikannya.

"Bisakah kalian berhenti?" Arelia menatap Juna dan Axelle bergantian dengan sorot penuh kesakitan. "Sudah cukup, oke? Aku tidak ingin mendengar apapun lagi."

"Lia maaf Papa tidak bermaksud seperti itu."

Arelia menggeleng. "Papa ingin aku melupakan kejadian ini 'kan? Kalau gitu, baiklah. Papa bisa tenang karena aku akan menganggap ini sebagai angin lalu, lagipula itu yang selalu aku lakukan iya 'kan Pah? Melupakan segala hal yang mereka lakukan padaku." Arelia tertawa miris saat Juna hanya bergeming. Seolah menyetujui pertanyaannya. Arelia lalu menatap Axelle. "Bisa kah Abang berhenti? Please?"

Axelle menutup matanya penuh frustasi, sedikit tidak berdaya dengan permintaan Arelia. Dia ingin marah, tentu saja. Siapa juga yang akan bersikap tenang begitu menghadapi orang yang telah menyakiti orang yang dia cintai. Namun, Axelle tetap mencoba menekan kemarahannya semata-mata untuk menenangkan Arelia. Laki-laki itu mendekat, mengusap pipi Arelia dengan ibu jarinya. "I'm sorry, saya cuma marah. Jangan menangis. Saya tidak suka melihat air mata itu."

Arelia mengerjapkan mata, dia pun tak menyadari kalau sejak tadi air matanya sudah meluruh. Membasahi seluruh pipinya yang memucat. Gadis itu kemudian menjatuhkan diri dalam pelukan Axelle, mencoba mencari segenap kekuatan yang telah terkuras habis darinya.

"Maaf," sesal Axelle sekali lagi. Laki-laki itu balas mendekap Arelia tak kalah erat. Meski begitu, mata laki-laki itu masih menyorot tajam pada Juna yang kini termenung. Menekadkan diri bahwa dia tidak akan pernah melepaskan perbuatan laki-laki itu.

Strawberry Mojito (Open Pre-order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang