Bab 5.

99.7K 6.8K 35
                                    

“Aku mau pesen strawberry latte, sama americano ya!"

"Uhuk!" Arelia yang tengah mengelap gelas basah tiba-tiba saja terbatuk hebat. Gadis yang tengah mengenakan kemeja putih di bawah apron coklat itu menepuk-nepuk dadanya yang teramat nyeri. Dityana, yang berdiri tepat di belakang meja counter repleks menoleh, ikut menepuk-nepuk punggung Arelia lembut.

"Hati-hati dong, Lia,” peringat Dityana setelah memberinya segelas air yang langsung Arelia teguk tanpa jeda.

Arelia menghela nafas lega. Bukan inginnya seperti ini. Hanya saja saat begitu kata strawberry terucap seluruh tubuh Arelia langsung meremang ngeri. Dan seketika bayangan akan malam itu berkelebat, membuat Arelia hampir kehilangan nafas karenanya.

Setelah nyeri di dadanya mereda, Arelia kembali mengerjakan tugasnya yang terjeda. Mengelap semua gelas basah sebelum meletakkannya di rak khusus di samping kopi maker.

“Kamu kenapa sih, dari tadi kakak perhatiin kamu ngelamun terus. Lagi ada masalah?” Tanya Dityana setelah menyelesaikan pesanan customer–nya. Kakak sepupu sekaligus owner dari Vanilla Cafe itu menatap Arelia dengan curiga.

Sebisa mungkin Arelia menghindari pandangan Dityana. Tidak mungkin ‘kan Arelia berkata jujur kalau dia sedang memikirkan malam panas yang dia lalui dengan Axelle. Dengan kecenderungan prosesif Dityana, rasanya Arelia cari mati jika bercerita.

“Enggak ada apa-apa, Kak. Cuma lagi mikirin tugas kuliah,” kilahnya.

“Serius?”

Arelia mengangguk, berusaha memamerkan senyuman lebar agar Dityana bisa percaya. Dan sepertinya berhasil. Laki-laki yang juga mengenakan apron senada itu tak lagi memperhatikannya. Arelia kemudian mengambil mangkuk kecil dari rak dan berjalan menuju mesin es krim. Setelah mengambil setumpuk es krim vanila, tak lupa dengan topping segambreng, Arelia bergegas mendudukan diri di salah satu meja cafe. Yah, Arelia memang tidak berniat membantu pekerjaan Dityana, toh dia juga memiliki pegawai yang lebih kompeten. Tapi selalu menyenangkan untuk menjarah isi kulkas cafe yang menggugah selera.

Arelia baru saja melahap sesendok es krimnya saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Gadis itu buru-buru merogoh saku apronnya dan alangkah terkejutnya saat nama Axelle tertera disana.

AxelleSore ini, ayo kita berkencan.

Arelia bergeming bimbang setelah membaca pesan itu. Sebenarnya Arelia masih tidak percaya kalau sekarang dia sudah menjalin hubungan bersama Axelle. Meski Arelia masih ragu tentang status mereka tapi setidaknya Axelle tak lagi sekedar dari kakak sahabatnya. Yah, walau hubungan mereka masih suam-suam kuku, sih. Arelia juga masih canggung berinteraksi dengannya. Tapi setidaknya dia bisa mencoba.

***

Arelia tersenyum gugup saat mendapati Axelle yang tengah duduk di kursi rotan yang disediakan di teras kosannya. Laki-laki itu tampak menawan dengan hoodie hitam dan celana selutut dengan warna senada. Ditambah dengan helaian surai gelap yang disisir acak-acakan seketika membuat aura laki-laki itu semakin menguar. Arelia diam-diam memperhatikan penampilannya sendiri, tanpa sengaja Arelia juga tengah mengenakan hoodie berwarna hitam.

"Abang," panggil Arelia yang spontan membuat Axelle memberikan atensinya.

Axelle langsung mengangkat tubuh dan balas tersenyum. "Udah siap?"

Arelia mengangguk dan Axelle langsung menuntunnya memasuki mobil. Laki-laki itu bahkan dengan sangat manis membukakan pintu untuknya, memperingati Arelia untuk berhati-hati agar kepalanya tidak terbentur. Dan tentu saja Arelia langsung melting dibuatnya. Bagaimana bisa lelaki yang biasanya sedingin es bisa berubah menjadi selembut madu hanya dalam waktu sesingkat ini?

“Kita bakalan kemana?” Tanya Arelia.

“Kalau saya ajak kamu nonton, kamu mau?”

“Nonton?” Beo Arelia.

Hmm, Alexa bilang ada satu film yang cukup bagus. Bagaimana kalau kita menontonnya malam ini?”

Ahh, jadi ini saran Alexa. “Boleh deh,” jawab Arelia seadanya.

Axelle mengangguk senang. Dan begitulah pada akhirnya mereka memilih menghabiskan kencan pertama mereka dengan menonton film. Arelia menatap dua tiket yang berada di tangannya. Ini pertama kalinya dia pergi ke bioskop dengan seorang pria. Selama ini hanya ada Alexa yang akan menemaninya, itu pun terhitung sangat jarang.

“Ini untuk kamu,” Axelle menyerahkan sekotak popcorn caramel berukuran besar lengkap dengan minumannya yang Arelia terima dengan sedikit malu.

Setelah menunggu sekitar lima belas menit, pemutaran film akhirnya dimulai. Ternyata film ini bercerita tentang sepasang sahabat yang terjebak friendzone. Klise memang, apalagi ceritanya tak jauh-jauh dari salah paham lalu baikan. Arelia bahkan sudah menguap beberapa kali karena bosan. Sampai adegan berubah ketika pemeran utama menghadapi bahaya, sudut bibir Arelia berkedut saat si wanita dengan beraninya menahan tembakan peluru yang diarahkan pada sang pria.

“Kamu tidak suka film seperti ini?” Tanya Axelle yang tampaknya menyadari kelainan Arelia.

“Aku memang bukan pecinta film romance sebenarnya,” jawab Arelia tidak enak. “Apalagi Abang lihat, kenapa waktu mau ditembak mereka malah pelukan? Kenapa enggak tarik aja cowoknya ke samping? Mana penjahatnya banyak omong,” gerundel Arelia pelan.

Mendengarnya, Axelle tertawa geli. Menahan keinginan untuk mencubit pipi Arelia yang sedikit chubby. “Lalu film apa yang kamu suka?”

Action, fantasi,” jawab Arelia.

“Kalau begitu lain kali saya akan ajak kamu nonton film action saja.”

Arelia cengo sebentar, baru menyadari kalau dia agak banyak omong barusan. “Hmm, b-boleh,” jawab Arelia kembali ke mode awal, gagap.

Setelahnya Arelia segera menarik pandangannya, kembali menatap layar film yang hampir mencapai ending. Beberapa menit kemudian film selesai dan karena Arelia memang tidak diperbolehkan untuk pulang terlalu larut sesuai aturan kos, Axelle kembali mengantarnya pulang saat waktu baru menunjukkan jam setengah sepuluh malam.

“Besok pagi saya jemput kamu,” kata Axelle setelah mobilnya terparkir tepat di depan gerbang kos.

Arelia yang tengah berusaha melepas seat belt-nya, sontak menoleh. “Ahh, enggak usah Abang. Aku bisa naik angkot kok.”

“Saya jemput, Arelia,” tekan Axelle dengan nada sarat paksaan. Laki-laki itu kemudian mengulurkan tangannya, melepas seat belt Arelia dengan sangat mudah. “Ya, sudah. Ini sudah malam. Selamat beristirahat,” katanya sembari mengusap pucuk kepalanya lembut.

Arelia termangu, dia sudah sering mendapat perlakuan serupa dari Dityana namun entah mengapa saat Axelle yang melakukannya Arelia merasakan sensasi berbeda. Rasanya jantungnya tiba-tiba saja berdebar sangat kencang. Apa kah ini pertanda kalau jantungnya mulai tidak sehat?

Strawberry Mojito (Open Pre-order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang