Bab. 7

78.3K 6.1K 39
                                    

"Eh, ada Bang El." Alexa melompat menghampiri Axelle yang tengah berdiri di samping mobilnya. Gadis yang kini tengah memakai rok mini berwarna navy itu, mencolek-colek lengan padat Axelle kemudian tertawa heboh. "Mau jemput pacar ya?" Tanyanya menggoda.

Axelle menggeleng-gelengkan kepala melihat sang adik yang tidak ada anggun-agunnya. "Sudah Abang bilang jangan pakai rok pendek,” tegurnya.

“Kenapa sih, cantik kok. Iya 'kan Are?"

Arelia yang sedang menimbang apakah dia harus kabur atau tidak, tersentak saat mendapati pertanyaan Alexa. "Ya?"

"Tuh 'kan." Alexa menaikkan kedua alis penuh kemenangan. "Ya udah sana pergi, hati-hati ya. Abang jangan macem-macem loh," katanya lalu bergegas pergi dengan tangan terangkat. Arelia menarik sudut mulutnya kaku melihat betapa cepatnya Alexa melarikan diri.

"Anak itu," Axelle memijat pangkal hidungnya pasrah. Wajar sih, Arelia juga akan sakit kepala kalau punya adik modelan Alexa begitu. "Mau pergi sekarang?" Arelia mengangguk kemudian mengikuti Axelle untuk memasuki mobilnya.

"Kamu sudah makan siang?" Tanya Axelle, bertepatan dengan mobilnya yang menjauhi pelataran kampus.

“Belum.”

“Saya juga belum, mau makan sama-sama?”

“B-boleh.”

Dan ternyata Axelle mengajaknya ke warteg dekat kampus yang selama ini menjadi langganan Arelia. Tidak hanya memiliki harga murah namun rasanya juga enak. Lumayan lah untuk anak kos sepertinya. Tapi kenapa Axelle bisa tahu kalau Arelia suka sekali pergi kesini?.

"Al bilang kamu suka makan disini," jelas Axelle tanpa diminta.

Arelia mengangguk paham kemudian melangkah masuk. Arelia bisa mencium aroma lezat dari rempah-rempah yang khas, yang membuat perutnya semakin keroncongan. Arelia lalu menggiring Axelle untuk duduk di meja paling ujung.

"Wah, neng Arelia datang lagi. Kok sendiri, neng Alexanya mana? Lah ini siapa? Pacarnya? Ganteng loh neng," cecar bu Nia. Wanita paruh baya yang sekaligus pemilik dari warteg itu menghampiri mereka dengan wajah berseri.

Arelia tersenyum malu. "Bu Nia, ini Abangnya Alexa, Bang Axelle. Abang, ini Bu Nia pemilik warteg ini."

Axelle memasang senyum sopan yang dibalas Bu Nia dengan kikikan senang. "Aduh ternyata Neng Are hebat juga, masa Abang sahabat sendiri juga digaet. Ibu juga mau atuh."

"Bu Nia ihh!" Rengut Arelia yang mengundang gelak tawa Bu Nia.

"Iya atuh, neng. Masnya mau pesan apa? Masakan saya itu terkenal enak-enak. Neng Are sama Neng Ale aja udah langganan disini."

"Abang El mau pesen apa? Rendang? Ayam bakar? Ayam balado? Udang?" Arelia mengulangi pertanyaan Bu Nia saat Axelle tampak kebingungan.

"Kamu suka apa?" Bukannya menjawab Axelle malah balik bertanya.

"Sesuai mood aja, kadang lagi mau rendang kadang ayam. Tapi seringnya sih ayam balado."

"Ya udah itu aja."

"Ayam balado?"

"Ya."

"Lalapannya mau pake apa? Timun atau daun singkong?"

"Timun aja."

"Minumnya?"

"Es teh aja."

Detik selanjutnya Arelia memandang Bu Nia namun baru saja dia akan mengatakan pesanannya Bu Nia sudah lebih dulu berbicara. "Tunggu sebentar ya Mas, dijamin enak deh masakan ibu. Neng Are kayak biasa 'kan ya?"

Arelia mengangguk. "Makasih ya Bu."

***

"Gimana Mas, enak enggak?" Bu Nia, sang pemilik warteg yang kebetulan cukup akrab dengan Arelia, bertanya saat mereka telah selesai melahap makanan mereka.

"Enak, bu," jawab Axelle dengan senyum sopan.

"Tuh 'kan apa Ibu bilang, pasti enggak bakal bintang satu. Neng Are sama Neng Ale aja udah langganan... Eh, Mas Axelle maaf-maaf nih ya, bukannya ibu bermaksud untuk mendo'akan yang tidak-tidak tapi kalau nanti Mas sama Eneng Are udahan Ibu punya anak gadis satu. SMA kelas tiga, pinter, cantik juga kayak Ibu. Kalau minat hubungin Ibu ya," Bu Nia merogoh saku apronnya dan meletakkan secarik kertas di hadapan Axelle, "ini nomor anak Ibu."

Arelia yang dihadapi kejadian itu hanya mampu menganga. Tak percaya kalau Bu Nia bisa menjajakkan anaknya pada Axelle ketika jelas-jelas Arelia yang notabennya adalah pacarnya masih ada disini. "Bu, astaga," pekiknya tak percaya.

Bu Nia terkekeh malu. "Ehh, Maaf Neng. Ibu enggak bermaksud jadiin Mas Axelle poligami loh. Ibu cuma udah pusing menghadapi anak Ibu itu. Masa pacaran sama geng motor, alasannya ganteng ceunah. Ihh, Ya Allah. Kelakuannya kalau ketemu orang tua udah kayak ketemu temen sebaya enggak ada sopan-sopannya. Beda sama Mas Axelle. Udah ganteng, kelihatannya juga baik. Makanya Ibu iri sama Eneng."

Ya, tapi tidak seperti itu juga ‘kan? Rasanya tuh kayak Arelia adalah istri pertama yang terdzolimi, persis sinetron super panjang di tivi. Juga bisa-bisanya Bu Nia berpikir out of the box seperti itu ya?

Merasakan situasi yang kurang nyaman, Axelle mengulurkan tangannya, menangkup punggung tangan Arelia dan mengelusnya penuh kelembutan. Membuat si pemilik tangan tersentak kaget. "Maaf Bu, tapi saya sudah memilih Arelia dan saya sudah menjanjikan diri saya kalau gadis yang akan saya nikahi hanyalah Arelia."

Arelia tentu saja tercengang, siapa juga yang tidak terkejut mendengar janji semanis itu hanya berselang dua hari pacaran. Mana bawa-bawa nikah lagi. Terlebih saat Arelia bisa melihat kesungguhan di dalam pendar mata Axelle.

"Oalah. Maafin Ibu ya sekali lagi. Ibu do'ain agar kalian berdua bisa sampai ke jenjang pernikahan, terus bahagia, punya anak yang lucu."

"Amin," Axelle mengangguk lugas yang diam-diam Arelia amini juga.

***

“Kamu tidak keberatan ‘kan dengan apa yang saya katakan tadi?” Arelia yang hendak membuka pintu mobil spontan menoleh, menatap laki-laki yang juga tengah menatapnya.

“Kamu mungkin tidak akan percaya karena hubungan kita bahkan baru berjalan selama beberapa jam saja, tapi Arelia,” Axelle mencondongkan tubuhnya ke arah Arelia kemudian mengulas segurat senyuman yang membuat Arelia terpana. “Saya sudah mencintai kamu dalam taraf yang tidak bisa kamu pikirkan dan sejak saat itu pula saya sudah membuat keputusan bahwa saya tidak akan pernah melepaskan kamu. Sesuai perkataan saya tadi, hanya kamu yang akan saya nikahi kelak.”

Sial!

Arelia benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Seluruh otaknya tiba-tiba saja kehilangan kemampuannya. Arelia tidak bisa memikirkan apapun selain meresapi setiap kata yang mengalir di telinganya, juga yang membuat seluruh aliran darahnya mengalir sangat cepat.

Tapi, bahkan saat jantungnya berdetak dengan cara tak biasa Axelle tidak membiarkannya beristirahat. Laki-laki itu tiba-tiba saja membungkuk kemudian mencium sudut bibir Arelia dengan cepat. Kedua netra gadis itu sontak terbuka lebar, memandang sang pelaku dengan raut terkejut.

Tertawa geli, Axelle mengelus sudut bibir Arelia yang terbuka. "Saya akan jemput kamu besok."

Arelia mengedip-ngedipkan matanya lalu dengan segenap kekuatan bergegas keluar mobil, tak mempedulikan Axelle yang terkekeh pelan di belakangnya. Arelia benar-benar kacau balau saat ini. Axelle menciumnya. MENCIUMNYA!!

Demi Tuhan, sebelumnya Arelia bahkan tidak pernah memeluk lawan jenis selain kakak sepupunya dan jelas jantungnya tidak bisa tenang saja jika dihadapkan dengan kejadian seperti ini. Akan tetapi, Arelia tidak bisa berbohong kalau ciuman laki-laki itu ternyata tidak seburuk itu. Arelia masih bisa merasakan kelembutan di ujung bibirnya, bagaimana aroma Axelle menguar memenuhi seluruh indera penciumannya.

Tunggu!

Arelia yang benar saja, bagaimana bisa dia berpikir sekotor itu!

Oh Tuhan, apa yang terjadi pada otaknya ini?! Sepertinya Arelia sudah gila.

Strawberry Mojito (Open Pre-order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang