"Iya, Bang. Aku sama Are pulang duluan... biasa lah keram datang bulan... Are sama aku, naik taxi. Abang nanti aja pulangnya bareng Mama sama Papa... iya Bang tenang kita pasti hati-hati kok. Udah ya Bang, bye."
Alexa menghembuskan nafas berat begitu sambungannya dengan Axelle terputus. Gadis itu lalu menyandarkan belakang kepalanya dengan helaan lelah sebelum akhirnya memilih melontarkan pertanyaan yang sejak tadi sudah berada di ujung lidahnya. "Kenapa kamu enggak mau Bang El tahu?"
Arelia yang sedari tadi hanya menutup mata, memilih bergeming. Dia bukannya ingin membohongi Axelle, Arelia hanya merasa takut. Dia takut kalau Axelle akan mengetahui siapa dia sebenarnya dan laki-laki itu tidak bisa menerimanya lagi. Hal yang sama seperti yang orang lain lakukan setelah mengetahui latar belakangnya.
"Kamu takut kalau Bang El akan ninggalin kamu hanya karena masalah ini?" Bongkar Alexa tepat sasaran.
Keterdiaman Arelia membuat Alexa kembali mengerang frustasi. "Kamu lihat aku, Are?! Aku bisa menerima kamu apa adanya, masa kamu enggak yakin kalau Abang akan nerima kamu?"
Arelia menggigit bibir bawahnya. Alexa tidak mengerti. Selama ini Arelia sudah mati-matian bertahan. Dia sudah menerima semua hinaan, cibiran bahkan rasa jijik dari orang-orang. Dan karena itu dia selalu hidup dalam ketakutan. Seolah dia hanya mendapat kegelapan dibanding cahaya temaran yang mati-matian ia genggam.
Dia hanya lelah untuk mengalami kehilangan sekali lagi.
"Kamu tidak salah, Arelia. Mereka yang salah. Kamu tidak pantas mendapat perlakuan seperti ini." Alexa meraih tangan Arelia yang terbaring lunglai, menggenggamnya dan berharap kalau Arelia bisa merasakan kehangatannya.
Perasaan Alexa kacau balau. Di satu sisi dia ingin marah akan ketidakberdayaan Arelia, ingin juga memaki Mahina serta ingin menangis melihat keadaan gadis itu. Seandainya dia bisa melakukan sesuatu, Alexa pasti sudah bergegas menuntut balasan dari orang-orang yang telah menyakiti sahabatnya.
Membiarkan kesedihannya kembali membuncah, Alexa menjatuhkan dirinya dalam pelukan Arelia lalu menangis keras. Membiarkan air matanya mengalir tak terbatas.
Arelia juga sama, gadis itu ikut menangis. Bedanya Arelia mati-matian menahan suaranya, hal yang seolah menjadi kebiasaannya selama ini.
Menyisakan sang supir taxi yang bingung harus melakukan apa.
***
"Ma..." Alexa menghampiri keluarganya yang baru saja pulang dari pesta. Tadi dia sudah mengantar Arelia ke kosannya. Awalnya dia ingin menginap, bagaimana pun tidak baik membiarkan Arelia sendirian dalam keadaan seperti itu tapi Arelia dengan terang-terangan mengusirnya. Arelia memang seperti itu, dia tidak mau membiarkan orang lain melihat sisi rentannya.
Dan Alexa sudah memantapkan diri, dia harus menceritakan semuanya agar Arelia tidak perlu takut lagi kalau dia tidak akan diterima.
"Keramnya udah mendingan sayang?" Tanya Cahaya penuh perhatian.
"Hmm, Ma, Pah, Abang sebenarnya ada yang mau aku bicarakan."
Ketiga orang itu sontak menatapnya penuh tanya, ada juga jejak khawatir. Namun seolah tak membiarkan mereka bertanya Alexa segera menuntun mereka untuk duduk berkeliling di sofa.
"Ada apa, Al. Kamu enggak papa?" Tanya Danesh yang melihat raut wajah anaknya yang tidak baik-baik saja.
"Sebenarnya aku pulang duluan bukan karena keram perut tapi karena sesuatu terjadi sama Are."
Axelle menoleh, ekspresinya kentara penuh kepanikan. "Apa yang terjadi?" Sejak tadi Axelle memang sudah mengirim beragam pesan untuk menanyakan kabar Arelia namun ia tak kunjung mendapat balasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberry Mojito (Open Pre-order)
RomanceApa yang kamu rasakan setelah terbangun di samping seorang laki-laki dengan keadaan hampir tidak memakai apapun? Terlebih saat laki-laki itu adalah kakak dari sahabat mu sendiri! Jelas Arelia hampir gila karenanya. Apalagi semua bermula dari segelas...