2

153 21 4
                                    

Gimana, mau lanjut fic ini?


HAPPY READING


Sasuke sedang membaca data perusahaan di ruang keluarga ketika Sarada datang membawa minuman dan camilan malam. Dia pulang lebih awal tadi karena katanya sang putri ingin bicara.

"Papa!"

Sasuke menoleh dan meletakkan laptopnya di meja. "Kau sudah memilih universitas?"

Sarada menggeleng kecil, "bagaimana jika ke jerman. Aku bisa masuk jurusan IT di sana."

Alis Sasuke mengernyit. "Kenapa harus sejauh itu? Aku tidak mempermasalahkan kau mau mengambil apa. Yang penting kau bertanggung jawab atas pilihanmu."

Sarada melirik sang papa dengan ragu.

Sasuke menghela napas sebelum mengambil kopi yang disediakan putrinya. "Masih banyak universitas bergengsi di Jepang. Jika kamu ingin ke luar negeri, pergi saja untuk liburan."

"Papa tahu aku punya pacar?"

Sasuke mengangguk. Dia tidak membatasi hubungan asmara sang putri sejak mencapai usia lima belas tahun. Masuk ke sebuah sekolah elit, siapa sangka, kabar yang dia dengar kekasih putrinya adalah kalangan menengah. "Apa ada hubungan dengannya?"

Sarada menggeleng, kemudian mengangguk. "Sebenarnya bukan masalah besar. Dia masih memikirkan ulang akan daftar dimana, tapi... Papa, aku tidak mau berjauhan."

Sasuke membuang napas kasar. Menjaga anak perempuan dewasa itu bagai menjaga permata langka. Ketika bertahun-tahun hanya bergantung padanya, kini dia ingin lepas dan mengikuti pria lain. "Sarada, jangan menjadi bodoh! Apa dia memikirkan kamu ketika mengambil keputusan? Lagi pula dia belum tentu diterima tanpa sepeser uang."

Pada dasarnya, Sasuke tidak memandang rendah soal kasta. Namun keluarganya yang lain pasti tidak berpikir begitu. Sekarang mungkin Sarada aman karena mereka belum tahu. Sasuke juga pikir hubungan asmara keduanya masih terlalu dangkal untuk diumbar. Baik Sarada atau pemuda itu masih anak remaja labil. Mereka masih punya harapan masa depan yang tidak tahu akan berakhir seperti apa.

"Rakuzan itu pintar. Untuk memasuki universitas dengan beasiswa penuh itu mudah baginya. Rakuzan juga bilang masih mempertimbangkan dalam negeri jika aku tidak bisa pergi, tapi Papa... Aku tidak ingin menghalangi mimpinya." Sarada menatap Sasuke penuh harap.

Punya percakapan seperti ini tidak terbayang dalam watak Sasuke. Dia pikir hanya akan mengurus Sarada hingga besar dengan kaku. Curhatan putrinya seharusnya menjadi tugas ibu Sarada yang telah pergi jauh, atau Mikoto yang ikut andil merawat Sarada sejak kecil.

"Sarada, kau tahu aku tidak mempermasalahkan kasta dalam hubungan kalian. Namun tidak berarti keluarga besar akan menerima. Jika kamu terbawa arus asmara yang tidak baik, aku bisa melarangmu." Ayolah, Sasuke hanya mengkhawatirkan putrinya. Dia juga tidak mengenal sosok pemuda yang dibicarakan putrinya ini.

Sarada langsung terdiam kaku. Dari sejak pacaran hingga kini, Sasuke tidak pernah melarangnya. Ketika dia izin untuk pergi main, dalam artian kencan, sang papa hanya mewanti-wanti agar dirinya tidak pulang larut malam. Tidak menyangka, papa-nya akan melarangnya berhubungan dengan Rakuzan lagi.

"Belajar itu soal diri kita, bukan ikut orang lain. Atau ikut pacar yang belum terlihat masa depannya. Jika kau masih menyangkal soal hubungan jarak jauh, berarti kau dan pacarmu itu tidak punya dasar kepercayaan." Sasuke tidak mau mendengarkan penjelasan tentang siapa pacar Sarada lagi.

"Pikirkan lagi! Mau dibawa kemana hubungan kalian berdua?" Sasuke melirik sekilas. "Kalian masih bocah SMA. Pacaran bukan tentang mengikat. Kalian masih bebas. Ingat itu!"

TWIN? NO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang