25

139 25 6
                                    



HAPPY READING



Jam 19.30, Rakuzan sampai di pelataran rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Mungkin ini terlalu malam untuk menenteng rantang berisi makan malam. Juga, terlalu sederhana.

Namun begitu, ini bukan tentang apa yang Rakuzan bawa. Mungkin jika dia berstatus pacar Sarada, dia tidak akan ragu untuk datang kemari sejak tadi malam tanpa perduli keluarga itu menolaknya. Karena restu Sasuke telah dia dapatkan.

Aneh rasanya jika Rakuzan datang sebagai anak dan saudara. Dia bahkan harus berkali-kali membuang napas kasar di setiap langkahnya.

Sesuai pesan teks yang diterima dari Shikadai, Rakuzan berdiri mematung di depan pintu kamar rawat VVIP.

Mengetuk pintu sepelan mungkin. Siapa sangka masih ada yang mendengar dan terdengar suara sahutan 'masuk!' dari dalam.

Rakuzan membuka pintu perlahan. Sangat pelan. Bagai adegan slow motion india yang biasa ibunya tonton. Demi Tuhan, dalam film biasanya berlangsung satu jam hingga Rakuzan kadang bosan sendiri, tapi mengapa pintu di depannya sudah terbuka lagi. Semua mata memandangnya bahkan saat kepalanya saja yang baru melongok ke dalam. Semua mata onyx serupa dirinya. Gelap dan terasa mencekam.

"Selamat malam!" Dengan keberanian yang sudah terkumpul kembali, akhirnya Rakuzan melangkahkan kaki hingga pintu di belakangnya bisa kembali ditutup.

"Kau..." Mikoto-lah yang bereaksi paling dulu. Namun semua ucapannya terhenti, ketika Sarada yang sejak semalam murung sulit dibujuk kini berdiri. Menghampiri Rakuzan dengan berlari kecil, dan memeluknya sambil menangis lebih keras. Lagi.

Seolah semua aduan dalam kepala Sarada hanya bisa terbagi dengan pemuda yang kini hanya mematung dalam diam. Saudaranya. Anak lain dari papanya juga. Sekali pun Sarada sadar tidak sadar dengan situasi diantara mereka, Sarada ingin Rakuzan tahu, dia tidak bisa kehilangan sang papa. Dia begitu mengkhawatirkan ayah mereka. Dia ingin Rakuzan tahu, jika papanya tidak bisa dimusuhi. Setidaknya, untuk saat ini. Jika pada akhirnya Rakuzan masih bersikeras tidak bisa menerima ayah mereka di kemudian hari, itu terserah.

Seluruh tubuh Rakuzan seolah kaku membeku. Sarada memanggil sang papa sambil menangis pilu. Berkali-kali. Bodohnya, Rakuzan masih menjadi orang paling linglung. Kemudian, dia hanya bisa mengusap pucuk kepala saudarinya tanpa kata. Dalam jaraknya, dia bisa melihat tubuh yang biasanya menjulang gagah kini hanya terbujur kaku dengan berbagai bantuan alat medis menempel di tubuhnya.

Wanita tua yang Rakuzan yakini sebagai neneknya ikut menangis keras, dan seolah mencari tempat tumpuan. Dia-lah Fugaku, pria tua yang datang mengancam ibunya. Rakuzan bisa melihat, Fugaku hanya membuang muka angkuh. Tidak mengatakan apa pun.

"Kamu, ya, yang katanya adik Sarada?"

Rakuzan mendongak, dia melihat pria serupa ayahnya. Tubuhnya jangkung, lebih kurus dan sedikit gelap dari Sasuke. Rambutnya hitam legam panjang. Tatapannya tidak ada bedanya dari Fugaku, tapi kesan ramah bisa Rakuzan rasakan dari kalimat tanya yang baru saja diucapkan.

Rakuzan memutus tatapan mereka secara sepihak. "Sepertinya begitu." Biarpun kata saudara lebih disukainya daripada adik. Hei, dia itu laki-laki yang akan melindungi Sarada dan ibunya. Masa iya harus berperan sebagai adik.

Pria itu tersenyum ramah dan menghela napas lega. Kemudian mengangguk dan melihat Sarada yang bahunya masih bergetar.

Untuk sesaat suasana menjadi hening. Bahkan dua pemuda muda yang tidak pernah Rakuzan lihat pun hanya peduli pada gawai masing-masing.

"Jadi apa yang membawa kamu datang?" Suara Fugaku rendah, tapi terdengar mencekam. Dia menatap Sasuke cukup lama sebelum menatap lekat-lekat fisik Rakuzan.

TWIN? NO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang