Tangan kanannya sibuk memulas cat minyak di sebuah canvas yang sudah diberi dasar warna cokelat, menindih satu-persatu garis abstrak mulai dari walnut sebagai polesan di bagian pipi, telinga, hingga leher. Dilanjut hitam di bagian rambut yang menjuntai panjang menutupi bantal, sampai gradasi coffee di bagian tulang hidung, dahi, dan sedikit di area kelopak mata. Kemudian warna abu-abu untuk mengisi sisa ruang di atas warna gelap tersebut sehingga terlihat ekspresi seorang perempuan tengah terlelap dengan bibir sensual disinari cahaya rembulan dari sisi kiri. Dean berhenti sejenak, mengamati sebentar lukisan setengah jadi di ruang pribadinya lalu mengulum senyum tipis.
Mengabadikan wanita yang menghabiskan malam-malam bersamanya dalam sebuah canvas adalah hal yang tidak banyak publik tahu. Bagi lelaki itu, menggambar pose mereka sedang dibuai alam mimpi, mengenakan kemeja miliknya selepas percintaan hebat, sampai terlentang tanpa memakai sehelai benang jauh lebih mengagumkan daripada membidik melalui jepretan kamera. Mungkin terdengar aneh, tapi Dean memiliki sudut pandang sendiri atas apa yang dilakukannya ini. Serasa ada kepuasan sendiri ketika mampu mengetsa dan menyelesaikan lukisan kemudian memajang dalam galeri tanpa ada niatan untuk dijual.
Dia pernah berlama-lama berdiri menilik salah satu lukisan di mana salah satu perempuan yang sudah tidak diingat namanya sedang duduk sambil menyesap sebatang tembakau di balkon hotel. Selanjutnya, pikiran Dean terbuka seperti gerbang masa lalu yang menyuruhnya masuk untuk melihat kembali apa yang telah dilewatkan bersama mereka. Rayuan, cinta satu malam, pelampiasan, hingga perpisahan menyakitkan. Lapisan demi lapisan kenangan tersebut terendap dalam dasar otak mendadak bermunculan dan tersadar bahwa selama ini dia selalu menjadi pihak yang menyakiti perempuan akibat tak mau diajak berkomitmen.
Ah, Dean menggeleng entah harus bersusah hati atau bangga atas pencapaiannya. Apakah hubungan pria dan wanita harus dilandasi sebuah komitmen? Dia selalu bertanya-tanya tentang hal tersebut, namun tak kunjung mendapat jawaban karena selalu berbalikan dengan kenyataan di lapangan. Di luar sana, banyak orang yang memilih menjadi hubungan tanpa status sekadar mencari pelampiasan seksual saat dirundung sepi. Atau paling parah, salah satu dari mereka memberikan cinta sampai tumpah ruah tapi tidak dianggap. Bukankah lebih baik tidak jatuh cinta atau tidak memberikan janji?
Lalu bagaimana denganmu, Dean? batin Dean mengarahkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri.
Dean mengangkat bahu tak mau tahu, memilih melanjutkan kembali untuk mengecat bagian tubuh bawah objek lukisannya yang tertutup selimut kecuali salah satu kaki jenjang yang sengaja tersingkap. Dia membatin bahwa mengukir tubuh mereka sama saja mengenang para mantan tanpa perlu dilupakan. Beberapa saat, Dean menelengkan kepala dan mengerutkan kening menolak alasan yang dulu diagungkan dalam hati. Apakah Louisa adalah pengecualiannya saat ini? Sisi lain hatinya mengolok dan memutar kembali kebersamaan Dean bersama Louisa yang terasa menyenangkan.
Aku tak yakin pada pendirianku sendiri.
"Dean?" panggil Louisa membuat lelaki itu menoleh ke sumber suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirty Scandal (END)
Romance(Bad CEO Series) Terpikat dengan Louisa Bahr sejak menjadi peran utama dalam film 'From The End', Dean Cross menawari hubungan tanpa status untuk membantu Louisa membalaskan dendam atas pengkhianatan Troy. Jalinan asmara berselimutkan hasrat ternyat...