Sepuluh : Menikah

40 4 2
                                    

Daun-daun bergoyang tertiup angin,
Burung-burung berkicau dengan merdu,
Bunga berwarna warni seolah mekar dengan serentak, air mengalir dengan jernih, mentari bersinar hangat, semua ciptaan-Nya seolah ikut mendoakan dan berbahagia dengan ucapan yang Laki-laki itu ucapkan baru saja.

***

Zahira diam, ia tidak tahu harus menjawab apa meski ingin sekali menolaknya, tapi apapun yang dikatakan Elisa juga benar, tamu sudah berdatangan, omongan-omongan tetangga tidak terelakkan, baginya sekarang adalah kedua orangtuanya, Zahira tidak sanggup melihat keduanya akan sangat bersedih. Tapi, menerima lamaran Haidar dan menikah dengannya juga bukan solusi terbaik.
Zahira pamit, meminta waktu sebentar untuk melaksanakan sholat istikharah sebelum memberikan keputusan. Dalam doanya, ia menangis, takdir memang kadang lucu, bahkan semenyakitkan ini. Zahira hanya perempuan biasa yang masih banyak alpha, ia tidak sanggup dengan ujian yang datang hari ini.

Sementara di ruang keluarga, semua yang berada di situ hanya saling diam, berharap-harap cemas, Elisa sudah mengatakan semuanya agar Zahira mau menerima Haidar sebagai pengantin pengganti Fadil.

Zahira keluar, dia sudah berada di ruang keluarga dengan wajah yang lebih segar meski masih pucat. Semua orang melihat ke arahnya. Ia menghela nafas, dadanya seolah sesak saat ini.

"Terimakasih atas waktunya untuk saya, dan untuk Elisa, aku sangat berterima kasih, kita memang tidak pernah tahu takdir apa yang akan menyapa kita di depan nanti, yang bisa kita lakukan hanya berusaha sebaik mungkin." Zahira kembali menghela nafasnya.
"Terimakasih untuk Mas Haidar dan keluarga telah datang dan mengatakan niat baik mu, Mas." Jeda lima detik.
"Bismillahirrahmanirrahim, aku terima lamaranmu, Mas. Terimakasih sudah mau membantuku dan keluargaku."

Haru, semua orang yang berada di ruangan itu lega, para wanita menangis tanpa suara. Bu Arum langsung memeluk Elisa, ia tahu kebesaran hati Elisa merelakan kebahagiaan untuk Zahira, Haifa yang di sampingnya juga menangis, ia benar-benar paham sekarang, cinta tidak seindah apa yang dikatakan orang-orang, cinta tidak sebahagia yang ia lihat di sosial media.

***

"Haidar Alif Bin Amir Almarhum."

"Ya, saya."

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Aisyah Nuha Zahira binti Munajat dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai tiga juta rupiah dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah Nuha Zahira binti Munajat dengan mas kawin tersebut untuk saya sendiri dibayar tunai." Lantang Haidar mengucapkan ijab qobul dengan sekali tarikan nafas.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah."

"Sah."

"Alhamdulillah,"

Pak Penghulu kemudian melanjutkan doa dengan diamini semua orang yang hadir dan menyaksikan acara ijab qobul itu. Matahari memancarkan kehangatan seolah ikut berbahagia. Namun, tidak pada sahabat-sahabat Zahira. Mata mereka basah dengan airmata yang langsung lolos tanpa bisa ditahan.
Nurul patah hati, cinta diam-diamnya selama ini sudah berakhir, ia benar-benar sangat patah hati, dari kejauhan ibunya melihat itu, ia paham betul anak perempuannya sedang terluka hatinya. Elisa juga menangis haru, kenangan manis perlakuan Haidar padanya dulu seolah terputar, ia tidak bisa berbohong lagi, separuh hatinya sudah diisi oleh seorang Haidar, kini rasanya hampa bersamaan dengan terucapnya kalimat itu untuk sahabatnya. Sementara Zahira, ia menangis tersedu, ijab qobul yang diucapkan Haidar mengiris hatinya. Ia menangisi dirinya, menangisi takdirnya, menangisi hatinya, menangisi ketidakberdayaannya.

Seikhlas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang