Segala yang sudah terjadi sudah menjadi kehendak-Nya, tidak seharusnya aku masih menyesalinya, bahkan menghambatku untuk melihat ke depan. Oh Allah, ampuni aku, aku akan berusaha menjadi istri yang baik, dengan izin-Mu, aku yakin cinta akan tumbuh dengan mudah. Jangan biarkan aku berpaling dari-Mu, jangan biarkan taatku hilang pada-Mu hanya karena menyesali seseorang. Oh Allah, jaga imanku, jika memang dia yang Kau takdirkan terbaik untukku, berikan aku kelapangan hati untuk menerima cintanya, dia memang laki-laki yang baik, aku saja yang belum bisa melihat kebaikannya. Oh Allah, dekap aku dengan kasih-Mu, jangan biarkan aku hilang arah. Aamiin.
***
Haidar menatap pemandangan indah di pinggir jalan, ia membeli pentol cilok dan es teh yang ada di dekat sana. Ia butuh ketenangan, menjauh sebentar dari orang-orang yang tidak sengaja ia sakiti.
Meski Haidar melihat lalu lalang kendaraan yang lewat di jalan, suara orang-orang sedang berbincang dan suara deru mesin kendaraan yang lewat, hati dan pikirannya terbayang bagaimana wajah orang-orang di sekitarnya. Ibunya yang mengharapkan kunjungan menantu, Zahira yang masih belum mau membuka hatinya, Haifa yang merasa kesal, Elisa dan Nurul yang jarang terlihat, bahkan ibu mertuanya yang ternyata belum sepenuhnya merestui pernikahannya dengan Zahira.
Ia beranjak setelah adzan maghrib berkumandang, ia pergi ke masjid kampungnya, ia rindu dengan anak - anak yang setia menunggunya di masjid samping.
Haidar terlambat, sudah rakaat terakhir saat ia tiba.
Dalam doanya dengan mata terpejam, ia meminta ampun pada Sang Maha Pencipta, ia menangis dalam diam. Setelahnya ia melakukan shalat istikharah, meski dengan berat hati, ia meminta jika keputusannya ini benar, semoga semua kembali berjalan dengan baik."Mas Haidar!" panggil gadis cilik dengan semangat.
"Naya." Haidar kembali memanggil.
Gadis itu mencium tangan Haidar dengan antusias.
"Mas Haidar kenapa sekarang nggak ngajar ngaji lagi?" tanyanya seraya menggandeng Haidar menuju samping masjid.
"Kan sudah ada yang menggantikan, Naya. Mas Haidar sudah pindah," jawabnya mencoba menjelaskan.
Memang setelah acara pernikahannya dengan Zahira, Haidar mendiskusikan dengan takmir masjid agar anak anak tetap mengaji, beruntung ada seorang perempuan yang baru saja lulus kuliah dengan jurusan PAI, sehingga dengan suka rela ia mengajar selepas maghrib sampai isya menggantikan Haidar.
"Assalamualaikum," ucapnya pada anak anak yang sedang bersiap untuk mengaji bersama.
"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak.
"Wah anak anak, kita kedatangan Mas Haidar nih, hari ini kita hafalan surah ad dhuha sampai an nas bersama, selanjutnya kita dengarkan cerita dari Mas Haidar ya, gimana, setuju?" tanya Aidah, guru ngaji baru yang menggantikan Haidar.
"Silakan Mas, saya sudah banyak dengar dari cerita anak-anak, mereka rindu sekali sama sampean." Ramah Aidah, ia segera ikut duduk di meja paling belakang untuk mendengarkan Haidar mengajar ngaji malam ini. Haidar dengan senang hati menemani mereka kembali mengaji malam ini. Ia merasa ada ketenangan bersama anak-anak ini, ia ingin melupakan sejenak tentang Zahira. Melupakan sakit dan lelah hatinya.
Haidar melanjutkan dengan menceritakan kisah Nabi Muhammad yang ditinggalkan kedua orangtuanya saat masih kecil. Dia merasa, ujiannya yang terasa berat tidak seberapa mengingat ujian sang baginda dulu,tapi ia merasa sangat tersiksa.
"Lain waktu kalau longgar, Mas Haidar sering sering kemari, mereka sangat menyukai Mas Haidar yang mengajar," ucap Aidah saat Haidar pamit undur diri.
"InsyaAllah, semoga Allah memberikan saya waktu ke sini lagi, Mbak."
"Lah kok, Mbak. Saya ini jauh lebih muda dari Mas Haidar, panggil nama saja."
"Iya sudah kalau begitu. Terimakasih Aidah, kamu sudah mau memberikan waktumu untuk mengajar anak-anak di sini."
"Saya mau waktu saya bermanfaat Mas, juga ilmu yang sudah saya dapat mau saya amalkan. Alhamdulillah waktunya nggak nabrak."
***
Beberapa hari ini cuaca cerah dan panas, tapi tidak malam ini, hujan turun deras sekali, seolah menambah kesan luka pada hati laki-laki itu. Haidar tiba di rumah mertuanya pukul sembilan malam dengan basah kuyup. Zahira setia menunggu suaminya, saat pintu diketuk, bergegas perempuan itu membukanya. Haidar memberikan senyuman seperti biasa pada istrinya, bapak dan ibu mertuanya tampaknya sudah tidur, hanya ada Zahira yang menyambutnya.
"Baru pulang, Mas?" tanya Zahira. Selama Haidar menjadi suaminya, ia hanya menunggunya pulang dan melayaninya jika di rumah.
"Iya, Ra. Maaf ya nggak ngabarin kamu. Bapak sama ibu sudah tidur?"
"Sudah, Mas. Mereka sudah istirahat sejak habis isya' tadi."
Haidar mengangguk. Ia segera beranjak menuju kamar Zahira. Sebenarnya, ada hati Haidar yang ikut terluka melihat mata teduh istrinya saat ini menjadi merah dan sembab. Harusnya Haidar di sana, memberikan ketenangan untuk Zahira, memberikan pundaknya sebagai sandaran untuk perempuan yang ia cintai itu. Tapi, Haidar tidak bisa melakukan itu, Zahira tidak butuh dirinya, sebab Haidar adalah luka itu, luka untuk Zahira, istrinya sendiri.
Haidar segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus berganti baju. Zahira sudah menyiapakan pakaian gantinya di atas kasur.
"Minum dulu, Mas." Zahira mengasurkan secangkir teh hangat kepada Haidar.
"Terimakasih, Ra." Haidar menyeruput teh hangat buatan Zahira. Laki-laki itu menoleh ke arah istrinya dan tersenyum.
"Manis kayak biasanya, seperti yang buat," ucapnya membuat Zahira segera memalingkan wajah.
Dari dulu, Haidar ingin sekali bercanda dengan istrinya, menggoda istrinya, tapi situasi seolah tidak mengizinkan. Haidar hanya bisa mengagumi istrinya dalam diam. Tapi, malam ini, ia ingin melakukan itu, ia sudah bersiap ikhlas melepas Zahira. Ia tidak yakin bisa membuat perempuan itu bahagia jika terus bersamanya."Maaf ya, Ra. Aku udah bikin kamu nangis lagi," kata Haidar tulus.
Zahira menghela nafas pelan, memejamkan mata sebentar sebelum menjawab. Ia menerbitkan senyuman tulus setelah kedua netranya bertemu dengan netra Haidar.
"Harusnya aku Mas yang minta maaf, aku yang salah, aku bukan istri yang baik, aku sibuk dengan sakit hatiku hingga lupa bahwa sekarang tanggung jawabku berubah. Menjadi seorang istri bukan hanya soal melayani dengan baik. Aku lupa Mas bahwa semua terjadi atas izin Allah, aku terlalu memikirkan apa yang seharusnya terjadi tapi tidak terjadi. Bahkan, aku tidak ikut mendampingi kamu melewati semua ini, kamu sendirian padahal aku ada di dekat kamu. Aku minta maaf, Mas." Air mata Zahira lolos.
"Ra, aku tidak apa-apa, semua yang sudah kamu lakukan itu sudah lebih dari cukup. Aku terlalu menuntut, padahal aku tahu kamu tidak menginginkan semua ini terjadi." Haidar merasa bersalah karena membuat Zahira menangis lagi.
"Mas, sudah. Mari kita lupakan yang lalu, kita jalani yang sudah terjadi. Kita bangun semua dari awal, bimbing aku, Mas. Soal cinta, aku yakin ia akan datang seiring waktu. Bukankah yang halal lebih berkah? Allah akan meridhoinya, bukan?"
"Kamu serius, Ra? Aku tidak mau kamu membohongi hati kamu, Ra. Aku ikhlas kamu bahagia, Ra."
"Aku serius, Mas. Aku mau kita bahagia bersama, kita lewati semua sama-sama. Maafkan aku ya, Mas?"
Haidar terharu, air matanya menetes mendengar penuturan Zahira, ia sangat bersyukur, Allah memberikan kesempatan padanya untuk meyakinkan hati istrinya. Akhirnya istrinya mau membuka hati untuknya.
Haidar menangkup wajah Zahira yang masih basah oleh air mata, ia pandang lekat-lekat kekasih halalnya itu, keduanya menangis bersama. Akhirnya Haidar memberanikan diri mengusap mata teduh yang basah itu dan kemudian memeluknya erat, seolah mereka tak pernah bertemu sekian lama.
Zahira membalas pelukan suaminya, ia tahu Haidar sangat lelah, ia telah lupa bahwa suaminya menghadapi badai sendirian, ia sibuk dengan luka di hatinya sendiri. Ini adalah pelukan pertama mereka, pelukan hangat dan tulus dari seorang Haidar kepada istrinya.***
Happy reading...
Sehat selalu untuk semuanya yang sudah setia mengikuti cerita ini.
Ramaikan kolom komentar dengan kritik saran yang membangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seikhlas Cinta
RomancePerempuan dengan pandangan teduh itu tidak mengira takdirnya akan seperti ini. Laki-laki yang dulu datang bersama keluarganya dengan niat tulus dan membawa bahagia, kini justru membuat luka dan malu saat acara sakral yang akan menjadi awal bahagiany...