Lima Belas : Sakit Yang Manis

27 4 0
                                    

Mungkin benar, hanya setelah kita kehilangan, kita baru akan tahu rasanya hampa saat dia sudah tidak ada. Setelah dia sakit, kita baru tahu perjuangannya selama ini yang hanya ia pendam lelahnya sendiri.

***

Setelah malam itu, hubungan keduanya membaik, mereka tertidur saling berangkulan, sebelumnya, Haidar tidur di kasur lantai agar Zahira tetap merasa aman, dan dirinya juga lebih lega karena menahan gejolak hatinya saat bersama sang istri.

Hari ini Haidar lansung pulang, rindu pada istrinya setelah hubungannya membaik malah semakin menggunung, ingin rasanya selalu berada di dekat perempuan pemilik hatinya itu. Hujan deras kembali datang, Haidar yang sudah ingin bertemu sang istri tidak ikut berhenti menenduh bersama kedua temannya, ia lupa membawa jas hujan yang biasa ia bawa karena cuaca yang panas dan akhir-akhir ini memang jarang hujan.

"Baru pulang, Nak?" tanya Pak Munajat pada menantunya yang sudah basah kuyup.

"Iya, Pak."

"Itu lengan kamu kenapa berdarah? Baju kamu sobek, kamu kenapa, Nak?"

Haidar menutup luka di lengan kirinya, dan tersenyum.

"Cuma luka kecil, Pak. Tadi nggak sengaja kena pisau."

"Cepat masuk sana, biar diobati istrimu."

"Baik, Pak. Haidar pamit ke kamar dulu."
Pak Munajat mengangguk mempersilahkan.

"Kamu kenapa Mas?" tanya Zahira khawatir.

"Nggak papa, Ra. Makasih ya."

"Sudah jadi kewajibanku Mas untuk ngobatin kamu. Jadi, sekarang mau cerita itu kenapa?" Zahira kembali merapikan kotak P3K yang ia simpan di rumah.

Selepas Haidar mandi, Zahira segera mengobati luka di lengan Haidar. Namun, Haidar enggan mengatakan kenapa bisa terkena pisau di lengannya.

"Mas mau makan dulu atau gimana?"

"Mau sama kamu dulu aja, boleh?" Haidar mengerlingkan matanya.

"Mas," panggil Zahira dengan gemas, ia masih suka salah tingkah setiap kali Haidar menggodanya. Zahira juga tidak tahu, kalau Haidar harus mengumpulkan keberanian itu untuk menggodanya, Haidar juga masih seperti remaja yang sedang kasmaran dengan malu-malunya, tapi ia laki-laki, ia harus terlihat biasa saja.

"Tadi sebenarnya Mas mau pulang cepet, nerjang hujan aja biar cepet ketemu sama istriku ini." Haidar mengenggam tangan Zahira, menariknya pelan untuk ikut duduk. "Tapi ternyata, di jalan ada sesuatu. Ada ibu-ibu yang mau dicopet, ya aku nggak tega, aku bantu ibu itu, eh malah perampoknya marah dan pisaunya kena lenganku. Tapi nggak papa kok, Ra. Cuma kecil, Alhamdulillah ada orang lewat, ibu itu langsung cari bantuan, jadi perampoknya kabur deh. Semuanya selamat. Dari situ aku mau cepet-cepet pulang, tapi ibunya maksa buat bawa aku ke klinik, aku udah bilang nggak usah, tapi tetep maksa, aku kasih pengertian akhirnya ibunya nggak maksa lagi, tapi sama orang yang lewat ditanya tanya dulu, mau dilaporkan ke pihak keamanan daerah sana katanya biar nggak meresahkan lagi, jadinya aku pulangnya malah terlambat," jelas Haidar.
Zahira menyimaknya dengan serius.

"Yaudah, Mas Haidar istirahat aja dulu di kamar, biar aku yang ambilin makan bawa ke sini."

"Tidak usah, Ra. Nanti aku ambil sendiri aja, aku cuma mau selimutan dulu, badanku rasanya dingin. Kamu makan dulu sana."

Zahira menurut, ia juga membawa kotak P3K untuk diletakkan di ruang keluarga.
Haidar merasakan hawa malam ini sangat dingin, ia berselimut diri untuk menghangatkan badan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, hawa semakin terasa dingin, Haidar sampai menggigil.

Seikhlas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang