Tiga : Rasa Resah

54 7 0
                                    


Haidar tiba di halaman rumah Pak Anom dan memarkirkan mobilnya disana. Zahira beranjak turun setelah Haidar mematikan mesin mobil.

“Sekali lagi terimakasih ya Mas,” ucap Zahira setelah Haidar juga turun.

“Sama-sama, Ra. Ya sudah, saya langsung mau menemui Pak Anom dulu ya, Ra sambil nunggu Pakde Junet, nanti tentang motor kamu, biar dijelaskan Pakde Junet.”

“Iya, Mas.”
Mereka berpisah saat terdengar suara Pak Anom memanggil Haidar. Zahira segera mengangguk dan pamit pada Pak Anom.


“Lho, kamu sudah sampai rumah, Nduk?” tanya Ibunya saat Zahira sudah sampai di dapur. Sebelum masuk tadi, Zahira sudah beberapakali mengucap salam namun tidak ada jawaban, mungkin Ibunya tidak mendengar karena suara Zahira tidak terlalu keras dan Ibunya sedang menggoreng tempe.

“Sudah, Buk,” jawab Zahira sambil mencium tangan Ibunya.

“Bapakmu tadi dari sawah, tidak bawa hape, makanya tidak tahu kamu telfon, itu lagi mandi karena kotor semua tadi terpleset. Mau jemput kamu nggak mungkin dengan kondisi seperti tadi.”

“Ya Allah Bapak, tapi Bapak nggak papa kan, Bu?” tanya Zahira khawatir.
“Sudah, ndak papa. Alhamdulillah pakaiannya cuma kotor kena tanah.”

Zahira mengembuskan nafas lega.
“Alhamdulillah, ya udah Bu, Zahira ke kamar dulu ya, nanti biar Zahira lanjutin masaknya.”

“Iya, Nduk.”
Zahira berlalu ke kamarnya. Ia segera menata barang barang yang akan ia bawa untuk tugas berangkat ke Jakarta nanti malam setelah isya'.
Setelah selesai ia pergi mandi dan membantu Ibunya memasak untuk makan malam.


“Tadi kamu pulangnya gimana, Nduk? Bapak ndak lihat motormu di depan,” tanya Pak Munajat pada putri tunggalnya setelah selesai makan malam.

“Zahira tadi bareng Mas Haidar, Pak. Dia mau nganter pupuk ke rumah Pak Anom, sedangkan motor Zahira, tadi dibawain temennya Mas Haidar ke bengkel dekat gapura, Pak,” terang Zahira.

Pak Munajat mengangguk. Beliau sudah kenal Haidar karena sering bertemu dan berbincang di rumah Pak Anom, tetangganya.

“Oh iya, Pak, Bu, nanti setelah isya', Zahira mau berangkat ke Jakarta untuk tugas dari kantor. Sama Pak Yuda sama Fifi juga. Zahira pamit ya, Pak, Bu, nanti disana Zahira selama dua hari,” ucap Zahira sebelum membawa piring piring kotor untuk dicuci.

"Kamu ini gimana to, Nduk? Ibu kan sudah bilang, jangan pergi jauh-jauh. Kamu ini mau menikah, suruh yang lain saja ke Jakarta nya,” ungkap Bu Nani keberatan.

“Zahira udah bilang, Bu. Tapi ini juga sudah jadi tanggung jawab Zahira. Setelah selesai urusan di Jakarta, nanti Pak Yuda kasih izin Zahira buat mempersiapkan acara pernikahan nanti, Bu.”

“Bagaimana, Pak?” kini Bu Nani beralih pada suaminya.

“Ya sudah, mau bagaimana, itu juga sudah tanggung jawabnya Zahira, ya biarkan saja, Bu. Kita doakan semuanya lancar dan cepat selesai,” jawab Pak Munajat santai.

Zahira tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada kedua orangtuanya. Adzan isya’sudah mulai berkumandang, Zahira segera menyelesaikan kegiatan mencuci piringnya dan bersiap melaksanakan sholat isya’dan menunggu jemputan dari Pak Yuda.

***


Rapat berlangsung lancar, aku dan Fifi mencatat poin-poin penting yang kali ini cukup banyak.
Sudah dari kemarin Rapat ini diadakan tapi masih membahas masalah yang sama. Selebihnya saran saran yang ada banyak menuai pro dan kontra sehingga menyebabkan jalannya rapat cukup tegang karena perbedaan pendapat. Aku sendiri tidak terlalu ambil pusing, aku ambil dukungan untuk hal yang lebih banyak manfaatnya dan tidak melanggar norma agama yang berlaku.

“Ra, kamu udah sampai mana persiapan acaranya?” tanya Fifi padaku saat kami istirahat untuk makan siang.

“Sampai mana ya, Fi? Sampai sini?” aku bingung dan balik bertanya.

“Gimana sih, Ra? Malah becanda, maksudku kamu udah booking make up belum? Terus nanti dandannya yang gimana? Mau pake dress atau pake kebaya? Mau warna apa? Undangannya mau berapa orang? Dekornya gimana? Ya yang gitu gitulah, Ra pokonya.”

Aku tertawa, Fifi ini memang mendetail sekali kalau bertanya.

“Udah, Fi, tenang aja. Kamu kok ikut ribet sih? Mau nikah juga?” godaku.
Wajah antusias Fifi yang bertanya tentang persiapan pernikahan ku berubah menjadi cemberut dan tangannya bersidekap. Helaan nafas panjang keluar dari Fifi.

“Maunya sih gitu, Ra. Keluargaku udah nyuruh terus, aku juga mau mau aja cepet cepet nikah. Ini masalahnya Mas Hanif katanya belum siap, dia masih punya target yang belum tercapai. Ya mau nggak mau aku harus nunggu,” ucapnya.

Aku hanya mengangguk, aku tidak tahu harus berkomentar apa soal hubungan Fifi dan pacarnya. Aku hanya bisa menasihati kalau pacaran itu tidak baik, tapi ia bilang ini komitmen, dan mereka masih dalam batas aman. Mereka sudah mengenal dan menjalin hubungan sekitar 4 tahun, bagiku bukan waktu yang sebentar, aku tahu Fifi sangat mencintai Mas Hanif.

“Ya sudah, semoga semuanya berjalan baik ya, Fi. Doa terbaik buat kamu sama Mas Hanif.”
Fifi mengangguk dan memelukku. Meski dia wanita mandiri dan jadi tulang punggung keluarga hingga bisa menyekolahkan adik-adiknya hingga lulus dan kini sudah bekerja, ia tetap perempuan yang butuh sandaran untuk mengungkapkan perasaan lelahnya. Aku mengusap pelan punggungnya yang mulai bergetar, Fifi menangis. Dia sedang mencoba menguatkan diri.


**


Pukul delapan malam, rombongan dari kantor Zahira sudah dalam perjalanan pulang, Pak Yuda sengaja mengajak para karyawannya untuk makan malam di salah satu kafè & resto milik kenalannya.
Berkali kali Zahira membuka gawainya, ia berharap ada pesan dari seseorang yang ia nanti kabarnya. Siapa lagi kalau bukan calon suaminya, Fadil. Beberapa hari ini laki laki itu justru seolah menghindar. Zahira sedikit kewalahan mempersiapkan acara pernikahannya, keresahan semakin menjadi saat Fadil juga sengaja beberapa kali menolak membahas acara itu. Acara yang sangat dinanti oleh Zahira.

Pada awalnya, Fadil dan keluarganya yang menginginkan pernikahan mereka secepatnya diadakan, Fadil lah yang awalnya begitu semangat mempersiapkan segalanya, tapi sekarang, Zahira benar – benar dibuat bingung dan resah dengan sikap Fadil yang sulit untuk dihubungi.
Zahira melamun, Fifi menyenggol pelan lengan teman kerjanya itu karena Pak Yuda menanyainya namun tak kunjung ada jawaban.

“Ra!” panggilnya kesekian kali.

“Eh, iya Bang Fadil, gimana?” jawab Zahira yang tersadar.

“Aku Fifi, Ra. Melamun terus ih calon pengantin, nggak baik tahu, Fadilnya di rumah baik-baik aja, nggak perlu dipikirkan sampai segitunya, Ra,” omel Fifi. Zahira menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum malu.

“Maaf, Fi.”

“Tuh, ditanya Pak Yuda.” Fifi melihat ke arah Bos nya.

“Eh iya, maaf Pak Yuda. Bagaimana?” Zahira buru-buru ikut memperhatikan Bos nya.

“Tidak apa-apa, Ra. Saya tadi cuma tanya, sampai mana persiapan acara pernikahan kamu,” ucap Pak Yuda.

“Oh, itu Alhamdulillah sudah 85% Pak, selebihnya tinggal nunggu hari H aja sih Pak, tapi saya tetep harus ijin untuk memastikan semuanya, Pak.”

“Kamu nggak pakai EO aja, Ra biar lebih enak? Kamu juga nggak perlu repot-repot, tinggal nunggu beres aja, kan?”

“Zahira emang sukanya repot Pak, nggak heran saya,” ucap Fifi setelah menyimak obrolan teman dan bosnya.
Pak Yuda hanya tersenyum, ia sudah banyak paham sikap dan sifat kedua pegawainya yang ia rekrut sejak praktik kerja lapangan beberapa tahun lalu.

“Bukannya begitu, Fi. Di tempat saya emang masih umumnya begitu, Pak. Kalau pakai EO atau cathering kesannya nggak rukun sama tetangga dan warga yang lain, Pak,” jelas Zahira.

Pak Yuda mengangguk, “saya paham, Zahira. Memang setiap tempat memiliki tradisi sendiri-sendiri. Yang penting baiknya saja bagaimana.”

Zahira dan Fifi mengangguk, mereka melanjutkan makan malam dan sedikit membahas hasil rapat dari Jakarta tadi siang.

***

Terimakasih teman-teman sudah menyempatkan diri untuk membaca tulisan ini.
Ditunggu kritik dan sarannya 🙏. Vote bintangnya juga boleh, it's mean a lot for me 🤗.
Terimakasih, sehat selalu 🌹.

Seikhlas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang