Bukankah semua hal itu berdampingan? Lalu, mengapa kita seakan protes jika mereka datang bersamaan. Ada tawa, ada tangis. Ada bahagia, ada sedih. Ada cinta, ada benci. Ada ikhlas, ada rindu. Pun dengan ada kamu, ada aku.
***
Pukul lima sore Haidar dan Zahira pamit, Haifa belum juga pulang, gadis itu mengabari bahwa ada kegiatan dadakan di sekolah sehingga akan pulang terlambat.
"Ibu sendirian nggak papa?" tanya Zahira sedikit khawatir.
"Nggak papa, Nak. Sudah biasa." Ibu tersenyum tenang, sebenarnya Haidar juga berat hati meninggalkan ibunya seorang diri di rumah tapi sekarang ia sudah punya tanggung jawab lain.
"Zahira bakal sering sering main kemari Bu, Zahira mau belajar masak sama Ibu, mau ngobrol juga sama Haifa."
"Iya Nak, Ibu tunggu, Ibu senang sekali mendengarnya, nanti Ibu sampaikan ke Haifa ya. Ya sudah, kalau mau pulang kalian hati-hati. Usahakan sebelum maghrib sampai di rumah ya," pesan Bu Arum pada pengantin baru itu.
"Iya, Bu. Kami pamit dulu, assalamualaikum," ucap Haidar sambil mencium takzim tangan dan kening ibunya. Zahira mengikuti mencium tangan mertuanya dan memeluknya.
Motor matic yang dikendarai keduanya berlalu, senyum bahagia dari wajah yang sudah nampak keriput itu tak bisa disembunyikan. Hari ini adalah hari yang ia tunggu, hari yang ia minta pada Sang Maha Pemberi agar menantunya datang mengunjunginya.
"Terimakasih Gusti, rencana Panjenengan Sae sanget," ucap Bu Arum lirih dengan mata yang sudah basah karena bahagia.
Saat pintu hendak ditutup karena hari sudah mulai larut, Haifa terlihat sudah memasuki halaman rumah.
"Assalamualaikum, Bu," ucapnya setelah berhasil membuka helmnya.
"Wa'alaikumsalam, Hai. Ayo masuk." Bu Arum tampak sangat bahagia dan menggandeng anak perempuannya untuk segera masuk.
"Ibu kenapa? Kayak habis nangis tapi seneng gitu? Dapat arisan, Bu?" tanya Haifa yang sibuk meletakkan tas sekolahnya.
"Ibu bahagia sekali, Hai. Ibu sampai terharu dan menangis bahagia. Tadi mbakmu kemari, dia nanyain kamu."
Kedua alis gadis itu bertaut, bingung.
"Zahira, Hai. Istrinya Masmu, kamu bagaimana sih?" Bu Arum menjawab kebingungan putrinya.
Berbanding terbalik dengan ibunya yang sangat bahagia, Haifa hanya mendengus pelan.
"Udah mau ke sini akhirnya, telat banget baru nyadar." Haifa nampak masih kecewa dengan sikap Zahira sebelumnya.
"Hai, kok kayak gitu, dulu mungkin Zahira masih butuh waktu, dan sekarang dia baik sekali, Hai. Kamu tidak boleh seperti itu."
"Udahlah Bu, aku tahu kok. Awalnya memang dia perempuan baik-baik, tapi dia tidak sebaik yang selama ini Hai kira. Udah Bu, Hai mau mandi dulu baru makan, jangan bahas lagi ya Bu, Hai males dengernya."
Bu Arum hanya bisa menghela nafas pasrah, untuk Haifa mungkin memang masih merasa kecewa dengan Zahira dulu, ia maklum, tapi ia akan tetap berusaha agar Haifa juga menerima baik Zahira sebagai kakak iparnya.
***
"Mau aku ajak mampir sebentar, Ra?" tanya Haidar.
"Kemana Mas? Sudah hampir maghrib lho Mas tapi, pesen ibu tadi kan kalau bisa sebelum maghrib sudah sampai rumah."
"Sekalian maghriban di Masjid yang deket, Ra. Kan sudah sama penjaga, insyaAllah aman."
"Penjaga?"
"Iya penjaga, aku kan sekarang suami kamu, jadi aku juga penjaga kamu, aku akan menjaga kamu dengan seluruh hatiku agar kamu aman."
Zahira menutup wajahnya, ia merasakan panas di pipinya.
"Ya Allah Mas, kamu apa-apaan sih, makin nggak jelas," jawabnya untuk menutupi rasa malunya.
"Maaf ya istriku, hehe. Tapi, mau kan mampir sebentar, kita pacaran dulu."
"Mas apaan sih? Ya Allah." Zahira hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Sudut bibirnya tidak berhenti tertarik.
"Ya Allah, bukakanlah pintu cinta Mu untukku, berikan aku cinta untuk bisa membalas cintanya, laki-laki ini baik sekali, berikan aku kesempatan untuk membalas cintanya Ya Rabb. Aamiin." Do'a Zahira di dalam hati.
Tepat adzan maghrib berkumandang saat Haidar berhasil memarkirkan motor. Haidar seringkali menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal setelah ketauan diam-diam memandangi istrinya, sedangkan Zahira hanya bisa memandang lantai karena ia tidak mau pipinya yang merah terlihat oleh Haidar.
Mereka berpisah untuk ke tempat masing-masing. Haidar masih setia memandangi istrinya yang berlalu, tak terduga, Zahira menoleh dan kembali membuat Haidar salah tingkah sendiri. Zahira hanya menggeleng pelan dan segera masuk ke tempat wudlu.
Selesai sholat maghrib berjamaah, Zahira lebih dahulu keluar, ia menunggu Haidar di teras masjid sambil memainkan gawainya, mengecek pekerjaannya, dan melihat tugas-tugasnya yang mungkin saja terlupakan.
"Assalamualaikum istriku," salam Haidar pelan, namun membuat Zahira yang sedang fokus sangat terkejut.
"Ya Allah, Mas. Wa'alaikumsalam, aku kaget." Zahira mengelus dadanya yang detak jantungnya sudah tak karuan.
Haidar merasa bersalah, ia tidak berniat mengangetkan Zahira.
"Maaf ya, Ra. Aku nggak niat gitu tadi, cuma mau kesannya biar romantis."Zahira menahan tawanya.
"Kenapa, Ra?"
"Mas, maaf ya, tapi mas itu aneh jatuhnya kalau mau jadi romantis, apa adanya aja ya Mas." Zahira akhirnya mengeluarkan tawanya. Haidar kembali menggaruk belakang kepalanya malu.
"Mau mampir ke mana, Mas?"
"Ke taman, mau?"
"Ngapain?"
"Pacaran."
"Mass!," gemas Zahira.
"Serius, Ra. Walaupun bukan lagi umur anak abege, tapi kan pacaran untuk segala usia, malah diutamakan untuk yang sudah halal."
"Pacaran untuk orang-orang yang lagi jatuh cinta Mas." Zahira mengamati wajah Haidar.
"Meskipun kamu belum jatuh cinta, aku sudah jatuh cinta, Ra. Cinta banget banget malah." Haidar membalas tatapan lembut Zahira.
Dalam hatinya Zahira merasa sangat beruntung ada lelaki baik yang sangat mencintainya, tapi di hatinya juga, masih ada pemilik lain.
"Makasih ya, Mas." Hanya itu yang bisa Zahira ucapkan.
"Aku yang harus berterimakasih, Ra. Kesempatan yang kamu berikan sangat berarti untukku. Ana uhibukka fillah Zaujati."
Tatapan cinta yang tulus dari Haidar membuat Zahira mengalihkan pandangannya. Ia tidak bisa berbohong pada diri sendiri, pada hatinya, perlakuan baik Haidar belum mampu menembus hatinya yang masih diisi oleh Fadil.
Haidar menyadari ketidaknyamanan istrinya, ia terlalu cepat mengungkapkan isi hatinya saking bahagianya. Ia buru-buru meminta maaf.
"Maaf, Ra."
"Aku yang seharusnya meminta maaf, Mas."
"Ra, yuk, biar nggak kemaleman pulangnya. Nanti aku beliin teh anget, oke?" Haidar berusaha mengalihkan topik. Zahira menurut mengikuti Haidar menuju motornya.
Andai kita bisa mengendalikan rasa cinta yang kita miliki, pasti Zahira akan melakukan itu, mencintai kekasih halalnya dan melupakan laki-laki pembuat luka dalam di hatinya. Tapi, cinta menemukan sendiri ke mana ia berkelana. Hati Zahira masih ada nama Fadil, bahkan masih sepenuhnya diisi oleh laki-laki itu meski ia pergi dengan meninggalkan luka itu. Fadil adalah cinta dan luka baginya. Dan kebaikan Haidar adalah bentuk cinta lain untuknya, cinta dan kebaikan adalah dua hal yang berbeda. Dua hal yang tidak bisa dipaksa sama untuk saling membalas, cinta bukan balasan untuk sebuah kebaikan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Seikhlas Cinta
RomancePerempuan dengan pandangan teduh itu tidak mengira takdirnya akan seperti ini. Laki-laki yang dulu datang bersama keluarganya dengan niat tulus dan membawa bahagia, kini justru membuat luka dan malu saat acara sakral yang akan menjadi awal bahagiany...