Sembilan Belas : Terimakasih

24 3 1
                                    

Ada beberapa hal yang tidak boleh terlewatkan setelah aku dan kamu menjadi kita. Salah satunya adalah saling bilang tentang perasaan masing-masing jika dirasa ada yang tidak nyaman. Aku harap kamu mau melakukan ini, jika kamu masih keberatan dengan membuka hatimu untukku, cukup aku saja yang mencintaimu. Izinmu untukku mencintaimu sudah cukup. Senyumanmu adalah pemantik semangat juangku.
Jadilah bahagia dengan cinta dariku tanpa merasa harus membalasnya, istriku.
***

Pukul setengah sebelas malam sepasang kekasih halal itu sampai di rumah. Zahira mempersilakan Haidar untuk bersih bersih lebih dulu di kamar mandi kamarnya. Sedangkan ia sendiri ke kamar mandi dekat dapur sekaligus membuat susu untuk diminum sebelum ia tidur. Zahira juga membuatkan wedang jahe untuk Haidar.

"Sudah selesai, Mas? Ini diminum dulu, aku buatkan wedang jahe, biar badan kamu lebih hangat."

"Terimakasih, istriku," balas Haidar dengan senyum bahagianya.

"Langsung mau tidur, Mas? Atau mau aku siapkan makan dulu?"

"Sudah, Ra. Aku masih kenyang, kamu istirahat aja."

"Iya, Mas."

Zahira menghabiskan susu putihnya dan Haidar menghabiskan wedang jahenya.

Haidar menyibak ranjang sambil membaca ta'awudz dan bersholawat, menata bantal dan guling agar lebih nyaman. Selesai, ia berbaring, melemaskan otot-ototnya.

"Mau tidur sekarang, Ra?" tanya Haidar melihat istrinya yang sudah berada di sampingnya dan hendak berbaring.

"Mas mau apa memang? Biar aku ambilkan," jawab Zahira.

"Kamu nggak minta hadiahmu dulu?" Haidar mengingatkan.

Kedua alis Zahira bertaut, "hadiah?"

"Iya, kan kamu yang menang tadi."

Zahira tersenyum. "Jadi beneran aku boleh minta hadiah dari Mas?" tanyanya meyakinkan.

Haidar mengangguk antusias, "bener dong, kan Mas sudah bilang."

Zahira menatap lurus netra Haidar yang sudah ikut duduk. Merasa Zahira akan mengatakan sesuatu, Haidar memperbaiki posisinya menghadap pada istrinya.

"Terimakasih Mas Haidar untuk semua yang sudah kamu lakukan, terimakasih atas semua kebaikan Mas Haidar selama ini sama aku, sama Bapak, sama Ibu. Dan maaf untuk segala sakit yang Mas terima baik yang aku sengaja maupun yang tidak aku sengaja." Zahira menghela nafas sejenak. Haidar setia menunggu kelanjutan kalimat yang akan dikatakan istrinya.

"Dan hadiah yang aku minta dari kamu adalah, berbahagialah, Mas. Kamu orang baik, kamu pantas bahagia." Zahira mengangguk dengan masih menatap lurus manik hitam milik Haidar.

Haidar membalas tatapan itu, tatapan teduh milik sang istri tercinta, tatapan yang selalu ia rindukan saat mereka berjauhan, tatapan yang membuatnya merasa sangat beruntung menjadi kekasih halalnya. Tangan besarnya menangkup wajah sang istri dengan lembut ia menerbitkan senyuman manis dan tulusnya untuk sang istri.

"Kamu tahu, Ra? Tanpa kamu memintaku untuk bahagia, aku sudah sangat bahagia, karena kamu adalah sumber bahagiaku. Aku sangat bersyukur pada Allah mengizinkan aku berjodoh dengan perempuan sholihah seperti kamu. Terlepas di hatimu ada siapa dan cintamu untuk siapa, dengan kamu berada di sisiku itu sudah cukup, Ra. Aku masih percaya dengan kalimat 'cinta ada karena terbiasa',  dan aku yakin cinta halal yang Allah berikan padaku lebih barokah dan berpahala. Harusnya aku yang mengatakan itu, berbahagialah kamu tanpa harus memikirkan balasan cinta untukku, sebab kamu mengizinkan aku mencintaimu itu sudah menjadi bahagiaku, Ra. Maaf aku sebelumnya terlalu banyak menuntut."

Seikhlas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang