Chapter 10

5 2 0
                                    

Pagi yang cerah kembali menyapa semua orang. Matahari menyingsing terbit dari Timur. Membangunkan seorang laki-laki yang tengah tertidur pulas dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Bunyi alarm di ponselnya terdengar sangat jelas di telinga. Awalnya ia enggan bangun, tapi ia ingat satu hal dan bergegas bangung untuk segera berangkat ke sekolah. Ah, tidak. Tepatnya menjemput seseorang untuk berangkat bersama.

Selesai mandi, ia segera turun ke lantai bawah dan sarapan. Orang tuanya yang melihat putranya bangun sepagi ini merasa sedikit heran. Karena biasanya dia bangun pukul tujuh dan langsung berangkat ke sekolah tanpa pamit dan sarapan karena orang tuanya telah berangkat bekerja.

"Pagi, Ma, Pa!" ia menyapa seraya mencium kening ibunya.

"Varrel, tumben bangun pagi? Ada angin apa?" tanya Mamanya menginterogasi.

"Gak apa-apa. Mau bangun pagi aja, Ma." Jawabnya santai seraya memasukkan sandwich ke dalam mulutnya.

"Pelan-pelan," titah ibunya saat melihat Varrel makan terburu-buru.

Selesai sarapan, ia berpamitan dan bergegas berangkat. Melihat tingkah putranya yang berubah membuat Alexa dan Surya menggelengkan kepala. Benar-benar anak yang tidak bisa ditebak.

"Dasar bocah! Tidak sopan sekali seperti itu!" gerutu Surya.

"Udahlah, namanya juga anak-anak. Dia masih masa pertumbuhan," ucap Alexa mencoba membela.

Surya Bramantio adalah salah satu pengusaha yang sukses di bidang Arsitek. Sudah berpuluh tahun ia bekerja menjadi seorang Arsitektur hingga memiliki perusahaan yang ia bangun sendiri. Sedangkan, Alexa Catherine Alicia adalah keturunan Cina yang di nikahi Surya 20 tahun lalu. Satu tahun pernikahan, mereka di karuniai anak yang diberi nama Raditya Varrel Bramantio. Keduanya adalah blasteran Indonesia dan Cina.

Jadi, tidak heran jika Varrel sendiri memiliki mata yang tipis namun masiu terlihat seperti orang Indonesia. Varrel adalaha satu-satunya pewaris dari ayahnya juga keluarga besarnya, karena baru kali ini mereka memiliki anak laki-laki. Hampir semua keluarganya berjenis kelamin perempuan. Ada yang memiliki anak laki-laki tapi tidak bertahan lama. Hanya bertahan sampai usia lima sampai tujuh tahun. Mereka meninggal secara mendadak tanpa ada sebab yang jelas. Maka dari itu, Varrel sangat disayangi oleh keluarganya.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit. Varrel tiba di sebuah rumah yang tadi malam ia kunjungi. Ya, Varrel akan menjemput Nadine sesuai kesepakatan tadi malam.

"Besok mau berangkat sekolah bareng ga?" Varrel menawarkan.

"Aku takut diliat Gladis. Kamu tahu sendiri dia seperti apa." Keluh Nadine. Ia tidak ingin menambah masalah lagi.

"Kita go publik aja, aku gak mau menyembunyikan hubungan ini," kata Varrel. Ia menatap Nadine serius.

Tanpa ba-bi-bu. Nadine mengangguk setuju. Dengan ini dia merasa terlindungi.

Di sana sudah ada Nadine dan Dinda, mereka tengah menunggu. Pandangan Varrel hanya tertuju pada Nadine, bahkan saat ia menarik tangan Nadine untuk masuk ke mobilnya.

"Eh, tungguin dong! Mentang-mentang pacaran, gue ditinggal!" kesal Dinda seraya melipatkan kedua tangannya di atas perut.

"Kalau mau ikut masuk aja!" titah Varrel tanpa menoleh.

Akhirnya, karena takut ketinggalan, Dinda menurut saja dan masuk ke mobil. Menyaksikan kemesraan sahabatnya dengan Varrel. Kini, Dinda tidak bertanya-tanya mengapa Varrel dan sahabatnya bisa berhubungan. Dinda di beritahu tadi malam saat Varrel sudah pulang. Ia tak menyangka jika Nadine bisa seawet ini menjalani sebuah hubungan. Pantas saja selama ini Nadine selalu menolak beberapa laki-laki yang menyatakan cinta padanya. Ternyata ini jawaban yang Dinda dapat.

Kesetiaan memang mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang berkelas. Dinda tahu Varrel bukan orang sembarangan. Ia bisa saja mencari wanita lain di luar sana untuk dijadikan pacar. Akan tetapi, tidak dengan Varrel yang sama-sama memilih untuk setia terhadap satu wanita yang di cintainya. Yaitu Nadine.

***

Nadine turun lebih dulu dari mobil Varrel, di susul Dinda. Banyak sekali pasang mata yang memperhatikan mereka. Nadine yang merasakan itu pun bergegas untuk ke kelas lebih dulu, tapi di cekat oleh tangan kekar kekasihnya.

"Mau kemana?"

"Banyak orang ngeliatin kita, aku malu," keluh Nadine. Ia merasa risih jika diperhatikan orang banyak.

"Apa kamu juga malu jalan bareng aku?" Varrel menebak.

Nadine menggeleng cepat saat Varrel mengatakan hal itu. "Enggak, bukan gitu maksudnya."

"Jalan bareng aku. Biar aku yang antar kamu kelas." Ucapnya seraya menarik Nadine dari parkiran.

Lagi-lagi Dinda di tinggal sendiri dan menjadi mak comblang diantara keduanya.

Mereka berjalan beriringan. Dari jaug terlihat seorang perempuan yang dengan angkuh berjalan ke arah Varrel dan Nadine. Tidak peduli perempuan itu,Varrel memegang erat tangan Nadine agar tetap dalam genggamannya.

"Hebat banget ya lo, bisa-bisanya jalan sama cowok berkelas kayak Varrel, mau morotin dia?" tuduh Gladis. Ia menatap Nadine muak.

"Jangan ganggu cewek gue atau gue buat lo keluar dari sekolah ini!" gertak Varrel tanpa menoleh.

"Lo lebih belain cewek cupu kayak dia? Secantik apa sih dia!" Gladis kesal. Kemudian mendekat dan menarik ikat rambut Nadine secara paksa.

Di sana terlihat rambut panjang Nadine yang ia sembunyikan. Selama ini Nadine mengikat rambutnya agar terlihat pendek. Akan tetapi, Gladis mengacaukan semuanya.

"Lo apa-apan sih, hah?" kata Varrel. Sementara Gladis tercengang melihat Nadine dalam keadaan rambut terurai. Ia merasa hafal dengan siapa ia berhadapan.

Nadine mengangkat kepalanya. Mengibaskan rambutnya sejenak dan menatap tajam ke arah Gladis yang sedari tadi bengong. Saat ini Nadine terlihat sangat cantik dan memesona. Laki-laki yang melewatinya bahkan tak berhenti berkedip saking cantiknya wajah Nadine.

"Iya, seharusnya kamu udah tahu siapa aku sekarang!" Kata Nadine dengan nada sengit. Ia sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi atas perlakuan Gladis.

"Ss-sorry, g-gue gak tahu kalau lo anaknya Om Lukman," ucap Gladis gugup. Ia mulai kehabisan kata-kata dan mencoba menjauh. Akan tetapi, ditahan oleh Varrel.

"Mau ke mana?" Varrel menatap tajam.

"Gue mohon lepasin gue, Rel. Gue janji gak bakal ganggu Nadine," katanya sedikit takut.

Tidak mau memperpanjang masalah, Nadine membiarkan Gladis pergi begitu saja dan kembali mengikat rambutnya.

"Kenapa lo lepasin, sih, Nad?" tanya Dinda kesal.

"Iya, kenapa dilepasin?" imbuh Varrel yang juga bertanya-tanya.

Nadine hanya menggelengkan kepalanya dan meminta kedua orang di depannya ini untuk tidak membahas persoalan ini.

***

Ada yang bisa nebak gak nih? Sebenarnya ada masalah apa ya Nadine sama Gladis?

The Last Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang